Selasa, 30 Desember 2008

Persembahan untuk Anda


Bagi Anda yang masih suka menyisakan makanan dengan alasan apa pun, mungkin cerita ini bisa dihayati:


Anda tersesat di belantara. Perbekalan makan Anda habis sudah.
Setengah hari, Anda pikir Anda masih kuat.
Malam hari, Anda belum juga mulai menemukan jalan keluar. Dan perut Anda mulai berbunyi.
Syukurlah, Anda masih bisa menemukan air dan masih memiliki bahan bakar.
Anda pun bisa mengenali tumbuhan-tumbuhan hutan yang bisa dimakan.
Hari pertama, Anda bisa menemukan sejenis Umbi yang bisa Anda makan. Rasanya masam. Menyenangkan juga.
Jadi Anda menggali dan membawa beberapa sebagai perbekalan.
Namun, melewati hari pertama, Umbi-umbi tersebut mulai terasa sepat di lidah.
Anda segera kangen nasi.
Anda membuka peralatan masak Anda. Berharap ada sisa-sisa nasi di sana.
Oh, ya, ada beberapa butir yang sudah agak mengeras tertinggal di sana. Anda mengeroknya sekuat tenaga, lalu mengunyah butiran nasi yang keras itu.
Ya, Anda kangen sekali dengan nasi.
Dan Anda tidak kuat makan umbi terus-menerus.
Jadi, hari berikutnya, Anda tidak makan umbi lagi.
Yang ada di tanah pun, banyak yang belum matang.
Jadi, Anda harus bekerja lebih keras.
Anda tahu inti batang pohon pisang bisa dimakan. Jadi Anda mulai mengincar pohon pisang.
Dengan sekuat tenaga, Anda merubuhkan 2 batang pohon pisang yang besar. Sepanjang siang hingga matahari hampir terbenam, Anda merobohkan 2 batang pohon pisang dan membedahnya hingga Anda bisa mengeluarkan inti batang yang bisa dimasak.
Anda sangat kelelahan.
Namun kemudian Anda menyadari, 2 batang pisang hanya menghasilkan inti kurang dari satu mangkuk.
Itu pun rasanya sepat, tidak enak di lidah.
Anda menghabiskan semuanya dengan lahap, tidak peduli betapa tidak enak rasa yang ditinggalkannya pada lidah Anda.
Dan setelah menghabiskan semuanya, perut Anda masih berbunyi.
Bagaimana tidak, Anda hanya makan satu kali hari itu. Padahal Anda harus terus bergerak mencari jalan keluar.
Malam itu, Anda mengorek lagi ransel Anda, berharap ada sisa-sisa remah-remah makanan di sana.
Anda beruntung. Masih ada beberapa butir beras dan sedikit remah biskuit.
Anda makan dengan lahap, tapi tentu saja Anda tidak kenyang.
Anda tidur dengan perut keroncongan.
Hari ketiga, Anda sudah tidak mau lagi makan tumbuhan.
Lidah Anda terasa mati rasa. Anda ingin sesuatu yang gurih, protein hewani.
Anda mendatangi sumber air terdekat.
Ikan sepertinya ide yang bagus.
Anda pun mulai nencari ikan.
Namun, tak seekor ikan pun hidup di sana.
Tidak ada ikan di sana. Tidak ada katak. Tidak ada kadal, ular, apalagi burung, ayam, apalagi hewan berkaki empat yang layak dimakan.
Selama setengah hari Anda menunggu, siap membunuh.
Tapi tak satu binatang pun datang.
Akhirnya Anda bergerak.
Anda mulai merasa teramat lemas, karena harus terus bergerak. Anda harus mencari jalan keluar dari belantara.
Mulut Anda begitu tawar dan sepat, sementara perut Anda mulai terasa sakit.
Kemudian, tidak sengaja, Anda menghancurkan sebuah kayu lapuk di hutan. Tiga ekor ulat kayu jatuh ke tanah.
Anda mulai berkaca-kaca. Lalu menangis.
Demi Tuhan.
Anda menangis penuh syukur.
Siang itu, Anda masak tiga ekor ulat yang malang itu. Ulat yang menyerahkan nyawanya untuk memuaskan kelaparan Anda, meskipun tidak seberapa.
Biasanya, Anda akan muntah saat menemukan ulat itu dalam makan siang Anda.
Namun siang ini, Anda makan ulat-ulat itu dengan lahap. Dan Anda menangis.
Tuhan masih sangat berbaik hati pada Anda. Betapa ulat-ulat itu teramat lezat! Tiada duanya!
Namun apalah arti tiga ekor ulat; mereka hanya memuaskan lidah Anda. Tapi tidak perut Anda.
Jadi Anda mulai mencari gundukan tanah yang gembur.
Di sana, Anda mulai menggali.
Menggali, menggali, dan menggali.
Saat matahari mulai terbenam, Anda berhasil mengumpulkan beberapa ekor cacing tanah.
Anda menangis lagi, penuh syukur.
Malam itu Anda pesta pora. Anda merebus cacing-cacing itu.
Anda memakan cacing-cacing itu dengan lahap. Rasanya seperti tanah dengan sedikit rasa anyir.
Biasanya Anda ingin muntah saat lihat orang harus makan cacing di Fear Factor.
Tapi malam ini, bahkan dengan rasa tanah dan anyir,
Anda makan dengan lahap dan penuh syukur.
Tapi tentu saja, beberapa ekor cacing hanya sedikit memanjakan lidah Anda. Tidak perut Anda.
Anda semakin kelaparan.
Anda mengorek-ngorek ransel Anda. Berharap ada sebungkus coklat atau biskuit yang terselip entah di kantung mana.
Tapi tentu saja, tidak ada yang terselip;
bahkan remah-remahnya sudah Anda habiskan kemarin.
Anda terus mencari meskipun tahu itu semua sia-sia; dan persis, tidak ada apa pun yang Anda temukan.
Anda hanya menghabiskan tenaga untuk harapan kosong.
Dengan perut yang teramat kelaparan, Anda tidak bisa tidur.
Anda mulai mengingat-ingat makanan yang biasa Anda makan.
Bubur atau roti yang biasa Anda makan di pagi hari.
Makan siang nasi lengkap dengan lauk-pauk yang rasanya beraneka rupa.
Makan malam sederhana dengan gorengan.
Anda kangen itu semua, dan Anda mulai mengkhayal.
Anda mulai membuat rencana-rencana.
Saat kembali nanti, Anda akan mencoba ini dan itu.
Anda akan memesan makan siang dengan porsi tiga kali lipat biasanya.
Anda akan mendatangi supermarket dan belanja makanan sebanyak-banyaknya.
Tapi hey, semua itu hanya ilusi.
Anda masih di tengah belantara. Seorang diri, gelap dan dingin.
Dengan perut yang teramat kelaparan, Anda tidak bisa benar-benar tidur. Anda hanya berhalusinasi terus-menerus.
Hari keempat, Anda tidak bisa berjalan jauh-jauh.
Anda mulai sering limbung.
Dengan tenaga yang tersisa, Anda mencari di antara kayu lapuk dan gundukan tanah gembur.
Sambil terus mencari jalan keluar.
Tengah hari, Anda berhasil mengumpulkan beberapa ekor ulat kayu,
dan beberapa ekor cacing tanah.
Anda juga berhasil mendapatkan lagi 2 lagi umbi yang rasanya Anda anggap membosankan.
Anda harus makan, atau Anda tidak akan bisa keluar dari belantara.
Dengan tenaga yang sedikit, Anda hanya bisa mengambil makanan yang mudah.
Anda tidak sanggup lagi merubuhkan batang pisang.
Namun siang itu, Anda kehabisan bahan bakar.
Anda tidak bisa masak.
Anda tidak bisa menjadikan makanan Anda matang dan siap saji.
Jadi siang itu, di bawah rindangnya hutan, Anda hanya menatap peralatan masak Anda.
Di situ, potongan umbi menjadi satu dengan ulat dan cacing.
Mereka semua kotor, bertanah, dan menggeliat-geliat.
Sekali lagi, Anda mulai berkaca-kaca.
Anda mulai menangis.
Kali ini, bukan karena bersyukur. Kali ini, karena Anda kangen makanan.
Anda kangen sarapan Anda, Anda kangen makan siang Anda, Anda kangen makan malam Anda,
Anda kangen semua kudapan yang Anda makan.
Anda kangen remah-remah yang Anda buang,
makanan yang Anda sisakan. Nasi, sedikit sayur, dan sedikit bumbu yang Anda buang ke tong sampah dulu.
Ah, andai Anda bisa mengambilnya lagi sekarang.
Anda rela makan semua sampah itu.
Bahkan, Anda rela menukarkan semua yang Anda miliki sekarang, dengan sampah-sampah yang dulu Anda buang.
Demi Tuhan, Anda ingin sampah-sampah makanan itu kembali.
Tapi Tuhan tidak menurunkan hidangan dari langit.
Jadi dengan mata basah, Anda menatap makhluk-makhluk yang menggeliat-geliat dalam peralatan masak Anda.
Dan Anda mulai mengangkat makhluk-makhluk itu dengan tangan Anda...

...


Pesan tambahan: ambillah makanan secukupnya. Kalau Anda tidak kuat menghabiskan porsi yang dihidangkan pada Anda, berikan pada orang lain yang membutuhkan. Jangan buang makanan Anda--sebelum Anda menyesalinya.

Salam,



Rizal

Selasa, 02 Desember 2008

A Little Promotion

.


OK. Gambar ini dibuat oleh Sigit si Bayi Gurita. Personally, I don't really like the picture, but hey, he can capture the essence of my face very well. Dan yang mengagumkan, dia mengerjakannya langsung di komputer dengan mouse, hanya dalam waktu kurang dari 3 jam! Neat huh? Demikianlah orang yang bercita-cita jadi komikus dan ilustrator.

Demikian pasfoto saya sebagai perbandingan:



Ada yang tertarik untuk dilukis secara digital juga? Kebetulan juga Sigit juga sangat tertarik untuk menggambar wajah orang. Kata saya sih bagus buat dia latihan dan melengkapi portfolio. Kata dia, karena dia suka mencuri wajah =p menakutkan memang. Eniwei, buat yang tertarik untuk digambar wajahnya, silakan kontak Sigit di http://citcid.blogspot.com ato citcid@yahoo.com. Mungkin Bayi Gurita itu akan mengharapkan balas jasa untuk gambar yang dia buat, katanya buat dia nabung buat beli electronic pen untuk menunjang pekerjaan di bidang ilustrasi.

Tertarik? Mungkin detailnya, nego-nego aja ama dia okay?

Rabu, 19 November 2008

Love at First Sight


... kamu percaya itu ada?

Ingatanku kembali pada Sabtu malam itu. Linggarjati, kaki Gunung Ciremai. 17 November 2007. Aku, Windu, dan Mimim. Dalam Blu yang menapaki jalanan menanjak, menembus gelap dan hujan rintik-rintik.

"Gua gak percaya love at first sight itu ada." Kata Mimim. "Kayak gituan mah tahayul."

Tahayul. Aku membatin. Ya. Kata orang Jawa, witing trisno jalaran suko kulino. Cinta muncul dari kedekatan karena sering bertemu. Itulah dogma yang melekat pada keyakinan banyak orang awam. Dogma yang memberikan penjelasan rasional mengapa cinta bisa tumbuh. Dan aku, aku sempat menjadi salah satu penganut dogma itu. Aku pernah menjadi ateis love at first sight.

Hingga sebuah sore yang cerah mengubah semuanya...

"Dulu aku juga kayak kamu Mim." Aku angkat bicara. "Tapi terus, aku ngalamin sendiri. Love at first sight itu."

Suara mesin Blu meraung. Suara wiper menyingkirkan tetesan hujan dari kaca.

"Kayak gimana?"

Ingatanku mengembara lebih jauh lagi. Pada sore itu. Ya, sore itu. Langitnya cerah dan sinar matahari berwarna oranye. Aku kembali ke sekolah untuk menemui Miftah, sahabatku. Ia memimpin sebuah rapat kecil. Dalam rapat itu seorang gadis tertawa pada gurauanku. Saat itulah pandangan kami bertemu. Wajah itu. Senyum itu. Sorot mata itu. Cerah tertimpa cahaya matahari sore. Menggetarkan hati, membangkitkan kerinduan. Seperti sosok kekasih yang kutemukan kembali setelah lama menghilang...

Sore itu. Sore pertama aku bertemu dan berkenalan dengannya. Sore itu juga aku mengantarkannya pulang.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk saling menemukan. Tidak butuh waktu lama untuk saling merasa nyaman. Sejumlah keajaiban mempertemukan kami tanpa alasan yang jelas. Dan seiring bergulirnya waktu, pertemuan kami bukan lagi hanya keajaiban--karena kami mulai meniatkan diri untuk saling mencari, saling menemani, dan saling berbagi. Ah, masa itu. Masa di mana kami juga, perlahan-lahan, mulai menyadari, bahwa kami--entah bagaimana--saling terhubung. Aku selalu tahu jika ia memang berencana keluar kota, atau jatuh sakit, atau mengalami musibah. Aku selalu tahu. Karena sebelum itu terjadi, ia akan hadir dalam mimpiku. Sama juga dengannya. Saat ia memimpikanku, ia bertanya padaku di sekolah, atau meneleponku di hari libur--dan bertepatan dengan itu, aku memang berencana ke luar kota, atau sedang jatuh sakit, atau mengalami suatu musibah. Aku teringat suatu kejadian, suatu Senin pagi di sekolah, ketika ia marah-marah padaku karena aku tidak menghubunginya pada malam minggu. Malam di mana ia mendadak merasa sangat gelisah hingga tidak bisa tidur. Malam yang sama, ketika aku terjebak kabut tebal selepas Maghrib di Ciwidey hingga tidak bisa pulang...

Bahkan setelah kami berpisah, hubungan ajaib itu masih saja ada. Dua kali aku bermimpi tentangnya--dan saat menghubunginya, aku mendapatinya baru saja sakit. Ia pernah meng-SMS-ku saat aku sakit typhus--karena malam sebelumnya ia melihatku dalam mimpinya.

"Mungkin kalian memang pasangan di kehidupan yang lalu." Komentar Windu. "Makanya kalian terhubung sekuat itu."

Aku hanya angkat bahu.
Suara mesin Blu meraung. Dan langit gelap di kaki Gunung Ciremai masih mencurahkan hujan rintik-rintik.


***


Sebuah Selasa siang yang berawan. Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. 18 November 2008.

Aku melangkah cepat menuruni tangga lantai 2, menuju koridor rumah sakit. Menyambut kebebasan setelah menangani pasien demensia vaskuler yang melelahkan. Sekelompok gadis berjas dokter berjalan di depanku. Perhatianku tertumbuk pada salah satu dari mereka dan pada saat yang sama gadis itu menoleh. Saat itulah pandangan kami bertemu. Wajah itu. Senyum itu. Sorot mata itu. Cerah dengan jas dokter yang berwarna putih bersih. Membangkitkan perasaan kuat yang menjadikan pikiran dan perasaan lainnya begitu tidak berarti.

"Kakak?"

Barulah aku menyadari siapa gadis itu. "Ya ampun! Kamu?!"

"Ngapain Kak?"

"Aku di Klinik Memori, di atas. Sama dr. Anam. Kamu lagi koas di bagian mana?"

"Baru dari poli bedah."

"Tadi aku nggak ngenalin kamu lho. Kamu berubah banget."

"Kenapa? Gendutan ya?"

"Nggak. Berubah aja. Umm... beda, aja."

"Kakak juga. Kurusan."

Aku tertawa. "Aku nggak tahu harus diapain lagi nih. Nggak bisa gemuk-gemuk."

"Makannya yang banyak dong, Kak."

"Udah. Nggak berhasil. Mungkin kamu punya usulan diet buatku?"

Dan akhirnya. Persimpangan koridor itu memisahkan kami. Ia dan teman-temannya ke kanan. Aku menuju pintu keluar ke kiri.

Kurang dari satu menit. Pertemuan dan perbincangan itu hanya kurang dari satu menit. Namun dalam waktu kurang dari satu menit itu, semua pikiran dan perasaan lebur menjadi satu kesadaran. Di sini, saat ini. Dan ketika akhirnya aku berjalan pulang, ketika akhirnya aku duduk di bangku di sudut angkot, pikiran dan perasaanku masih menetap di sana. Di koridor rumah sakit yang ramai. Di dalam waktu kurang dari satu menit yang telah membeku, menjadi selamanya.

Mungkin kalian memang pasangan di kehidupan yang lalu. Makanya kalian terhubung sekuat itu.

Ya, mungkin. Aku merenung sendiri. Mungkin kami memang pasangan dari kehidupan-kehidupan yang lalu. Mungkin itu sebabnya, sorot mata itu selalu menggetarkan hati. Merasuk sampai ke relung batin. Bahkan sebelum aku mengenali, dan menyadari, siapa dia.

Love at first sight. Betapa aneh fenomena itu. Orang rasionalis bisa mengatakan, semua itu kebetulan. Tapi aku tidak akan mengatakan demikian. Karena, setelah aku mengalaminya--aku tahu itu bukan kebetulan belaka. Love at first sight memungkinkan pasangan untuk saling mencintai pada detik pertama pandangan mereka saling bertemu--karena mereka memang pernah menjadi kekasih di kehidupan sebelumnya, dan first sight hanyalah pertemuan mereka kembali.

Love at first sight...
...kamu percaya itu ada?

Ya, aku percaya itu ada.

Kamu?



Bandung, 19 November 2008

Minggu, 09 November 2008

Menjelang Malam Minggu...

.
... aku mendapat tamparan yang cepat dan keras.

Hujan deras mengguyur Jatinangor sore itu. Langit menangis, kami menatap bulir-bulir air jatuh ke bumi melalui jendela lantai 3 gedung 3 kampus Psikologi Unpad.

Pembawa acara baru saja menutup acara Temu Ilmiah. Sebagian orang segera keluar dari ruangan. Sebagian lagi mengobrol dan foto-foto di dalam ruangan. Namun hujan deras masih turun; tidak seorangpun meninggalkan gedung. Termasuk aku.

Dan di lorong lantai 3 itu, aku bertemu lagi dengan dosen yang pernah cukup dekat denganku. Kami saling melempar senyum.

Di bawah lampu neon yang pucat, ia bertanya:

"Kapan kau akan S2? Kapan kau jadi dosen?"

Tamparan pertama.

"Aku sudah makin kesulitan berdiri sendiri. Aku butuh bantuan. Kalau kau masuk, kau pasti bisa berdiri, menghadapi mereka."

Ya, aku ingat. Suatu malam ketika ia mengeluh ingin keluar dari kampus, karena lingkungan akademis yang kurang kondusif. Satu dari sekian keluhan yang ia utarakan padaku mengenai kampus. Ia merasa seperti Daud yang menghadapi Goliath--seorang diri menghadapi sistem korup yang menggurita. Yang membuat aspek akademis di kampus mati suri, tidak berkembang. Ia lelah berjuang sendiri--ia memutuskan untuk berhenti. Tapi aku, sang mahasiswa yang penuh semangat, menentang ide itu. "Ngapain keluar???" Tanyaku keras. "Kalau Abang keluar, siapa yang akan memperjuangkan idealisme itu?" Ia terdiam, dan saat itu aku meyakinkan. "Jangan keluar dulu. Aku akan menyusul jadi dosen di sini. Aku akan sekolah ke luar, dan aku akan kembali sebagai pengajar. Sebobrok-bobroknya kampus ini. Karena kalau kita keluar, nggak akan ada perbaikan apa-apa... justru kita harus masuk ke dalam dan berjuang membuat perubahan. Aku akan jadi dosen... aku akan menemanimu." Dan sejak itu aku mulai membuat rencana untuk segera melanjutkan studi dan menjadi dosen, hingga...

"Ada perubahan rencana, karena situasi yang rumit..." Aku berusaha memberikan penjelasan sesederhana mungkin.

"Aku dengar sekarang kau kerja, bagus... cari duit..."

Tamparan kedua.

Ya, sekarang di sinilah aku. Sudah setengah tahun lulus, ternyata rencana studi itu telah berubah. Berubah drastis. Sejak lulus aku mulai terlibat dalam sejumlah proyek, dan aku mulai belajar bahwa segera melanjutkan studi bukan ide yang benar-benar baik; bahwa ternyata, studi hanya memberikan pengalaman teoritis. Aku tergoda untuk mendapatkan pengalaman lebih. Aku tergoda untuk kerja dulu. Aku tetap ingin menjadi dosen, tapi aku tak mau jadi seorang pendidik yang melulu teoritis. Aku haus pengalaman praktis.

Lalu terbit pula alasan lain yang bahkan lebih kuat: aku ingin berkeluarga. Situasi keluarga yang rumit membuatku sulit mengharapkan dukungan finansial ke depan. Dan dari situ keinginan kerja tumbuh lebih liar. Aku tidak hanya ingin mencari pengalaman yang kaya. Jujur saja, aku juga ingin menumpuk harta. Aku ingin bekerja beberapa tahun, menenggak semua pengalaman dan menumpuk harta, membangun keluarga dan semua penunjang untuk memastikan kemapanan. Setelah itulah aku baru kembali ke kampus, dengan bekal pengalaman praktis, dengan kemapanan yang membuatku mampu untuk memberikan seluruh perhatianku pada para mahasiswa. Sehingga tidak ada cerita aku mengabaikan mahasiswa demi proyek-proyek, seperti yang kerap dilakukan dosen-dosen sekarang...

"Bang..."

"Ya?"

"... nanti aku ke tempatmu saja. Kuceritakan semuanya. Sekalian aku minta saran."

Ia membalas dengan senyum. Sesaat perhatianku teralih, dan saat aku kembali melihatnya, aku melihat punggung berbalut kemeja kotak-kotak itu menjauh...

Aku ingin bekerja. Aku ingin meraih banyak pengalaman dan menumpuk harta. Aku ingin berkeluarga dan meraih kemapanan. Namun aku lupa, ada seorang teman yang aku tinggalkan untuk berjuang seorang diri di kampus. Aku pernah berjanji akan mendampingi perjuangannya, namun sampai sekarang ia masih berjuang sendiri. Dan aku mengambil jalan lain. Andai aku tidak perlu memilih... andai aku tidak perlu mengorbankan apa pun. Dosenku beserta janji lamaku itu, maupun keinginan-keinginanku sendiri.

Kutatap langit yang masih mencurahkan tetes-tetes air.

Aku harus memilih, bukan begitu? Bantu aku membuat keputusan yang terbaik.

Sampai aku meninggalkan gedung itu. Sampai aku meninggalkan kampus. Hujan belum juga berhenti mengguyur Jatinangor. Dan langit masih terus menangis...



Bandung, 9 November 2008

Minggu, 02 November 2008

Perjalanan ke Ujung Genteng

0

Ujung Genteng tercatat sebagai salah satu pantai terbaik yang pernah kukunjungi. Terletak di selatan Sukabumi, sekitar kurang lebih 80 km dari Pelabuhan Ratu, pantai ini menyuguhkan keunikan yang sulit ditandingi pantai mana pun di Pulau Jawa. Selain masih bersih, pantai ini memiliki pantai akuarium yang menakjubkan, serta kesempatan melihat penyu bertelur di pantai. Pantai mana di Jawa yang dapat menyuguhkan hal yang sama? Karena itu, kami berangkat ke Ujung Genteng.

***

PERJALANAN


Perjalanan dimulai dari rumah Panji. Hari Sabtu, pukul 5 shubuh. Ketika penghuni Jakarta masih bersantai sebelum weekend, kami sudah menapaki jalanan saat matahari terbit. Melesat di tol Jagorawi. Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango yang menjulang megah di kejauhan menyemangati kami. Melewati Parungkuda, kami mengambil jalur alternatif melalui Cikidang. Melewati hamparan perkebunan sawit dan karet yang menakjubkan, melihat pohon-pohon menjulang saat melewati hutan. Melewati medan yang berkelok-kelok dan naik-turun tajam, kami tiba di Pelabuhan Ratu. Di sini, di dekat jembatan Bagbagan, kami mengunjungi Indomaret untuk membeli perbekalan.

Perjalanan masih 3 jam dari jembatan Bagbagan; pertama-tama, melewati pegunungan yang berkelok-kelok. Kami bisa melihat pantai Pelabuhan Ratu dari atas sana. Dilanjutkan dengan hutan, kecamatan, dan pasar-pasar. Setelah beberapa jam disuguhi pemandangan dan medan jalan yang serupa, siapa yang tidak bosan dan lelah? Kami juga mulai khawatir tentang bensin yang mulai berkurang, sehingga saat kami menemui pombensin, kami langsung mengisi Xenia Panji sampai full. Belakangan kami baru tahu bahwa pombensin dan minimarket terakhir masih bisa kami jumpai di Surade.

Semangat kami kembali saat pemandangan di sekitar kami berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa. Pohon kelapa berjejer di bukit-bukit, sejauh mata memandang.
Dan ketika kami tengah berspekulasi bahwa kami sudah dekat pantai, kami pun melihat pemandangan yang sudah lama kami nanti. Pantai. Lengkap dengan horizon biru, dan buih-buih ombak yang mungil di kejauhan. Rasa bosan dan lelah yang menjangkiti kami lenyap seketika.

Kami tiba di Ujung Genteng pukul 11 siang. Air laut yang tenang terlihat berkilauan. Bukan main! Seperti bocah yang menemukan mainan paling canggih sedunia, kami segera parkir di atas pasir putih. Siapa yang ingat sun block? Siapa yang peduli dengan mentari siang yang bersinar garang? Kami berlari di atas pasir putih dan melompat ke dalam air.


PANTAI AKUARIUM

Salah satu hal teristimewa dari pantai Ujung Genteng ini adalah pantai akuariumnya. Disebut pantai akuarium karena pertama, pantai ini tidak berombak. Bukan berarti tidak ada ombak dari laut--karena pantai selatan terkenal atas ombaknya yang besar--namun ombak-ombak itu sudah pecah di kejauhan. Pantai akuarium ini sebenarnya adalah gugus terumbu karang yang membentang dari garis pantai sampai sekitar 100 meter ke arah laut. Dan gugus terumbu karang inilah yang memecah ombak di kejauhan. Gugus terumbu karang ini yang dinamai pantai akuarium.

Selain tidak berombak, pant
ai ini disebut akuarium karena airnya jernih dan relatif dangkal. Dan layaknya terumbu karang pada umumnya, pantai ini juga dinamakan akuarium karena dihuni oleh berbagai binatang laut aneka rupa.

Saat kami kembali ke pantai pukul 2 siang, laut sedang surut, dan saat itulah ombak tak mampu mencapai tepi pantai; ia habis di ujung gugusan karang. Saat itu pula pantai akuarium dalamnya hanya sekitar sebetis, dan binatang-binatang laut keluar dari persembunyiannya mencari makan. Dangkal, jernih, tenang, dan penuh binatang laut--pantai ini mirip Kolam Sahabat di Sea World, tapi tentu dengan ukuran yang jauh lebih besar, hingga kami tidak mungkin menjelajahi semuanya.

Yang pertama menarik perhatian kami sore itu adalah: cacing laut. Dengan warna dan ukuran yang bervariasi, dari 30 cm sampai satu setengah meter. Bergerak lamban di atas pasir. Keenam lidah mereka terjulur, bergerak-gerak menangkap plankton dari air. Dan segera kami melihat banyak binatang lainnya. Ikan gobi. Berbagai macam keong dan kelomang. Bulu babi aneka rupa dan warna. Udang mantis. Lidah laut. Teripang, bahkan salah satunya menjulurkan sulur-sulur berwarna biru menyala. Bintang ular. Belut laut. Unagi alias sidat. Dan masih banyak lagi.

Dan di pagi harinya, kami melihat banyak teritip. Aneka rupa kepiting. Aneka jenis ikan, termasuk kawanan Sarden yang melompat ke atas air menghindari tangkapan pemangsa. Dan beberapa jenis hewan lain yang tidak kutahu namanya. Masih ada lagi yang belum kusebutkan???

Ada baiknya datang sendiri ke Ujung Genteng dan lihat sendiri apa yang bisa kautemukan di sana. Pantai akuarium ini adalah tempat yang tepat bagi mereka yang gemar melihat binatang laut langsung di habitatnya :)


FOOD VAGANZA!

Tentu saja, makanan yang istimewa di tepi laut manapun adalah: seafood. Dan karena Panji adalah penggemar wisata kuliner tulen, maka tujuan kedua kami di Ujung Genteng, tentu saja: menjajal seafood setempat.

Setelah memesan kamar di losmen, kami melanjutkan perbincangan dengan Kang Yudi, penjaga losmen yang kami kunjungi. Kang Yudi menawarkan lobster dengan harga Rp30.000 per kilo. Ya, kau membacanya dengan benar: Rp30.000 per kilo! Kang Yudi juga menawarkan ikan lokal yang konon tidak jadi panganan umum di negeri ini, tapi diekspor ke Hongkong dan Korea: ikan layur. Penasaran dengan hasil-hasil laut lain di pantai ini, kami pun meluncur menuju tempat pelelangan ikan. Tempat pelelangan ikan memang punya lebih banyak variasi jenis ikan, tapi harganya lebih mahal. Di sini lobster dihargai Rp120.000 per kilonya. Namun karena penasaran dengan ukurannya, kami membeli 3 ekor lobster @ 2 ons di sini (dan total hanya dihitung 5 ons - diskon). Kami juga membeli ikan kakap dan sejenis ikan kerapu.

Kembali ke losmen, kami kembali menemui Kang Yudi dan menyerahkan hasil belanjaan kami padanya agar dibakarkan untuk makan malam. Kami juga memesan 2 kg lobster dan dua ekor ikan layur. Sayangnya, belakangan kami tahu, karena sedang musim sulit, harga lobsternya jadi Rp45.000 per kilo, sehingga uang yang kami bekalkan pada Kang Yudi hanya cukup untuk membeli lobster. Kami tidak dapat ikan layur. Kang Yudi menunjukkan lobster yang ia beli, dan kami terkesiap; ternyata 2 kilo itu banyak sekali!

Malam itu kami pesta makan. Saat melihat makanan yang datang, kami malah bingung sendiri karena terlalu banyak. Bahkan belakangan Kang Yudi juga mengaku bingung karena kami hanya berdua tapi memesan lobster teramat banyak. Malam itu adalah pertama kalinya aku menjajal lobster seumur hidup. Aku tidak pernah berani membelinya karena harganya sangat mahal di kota; dan di Ujung Genteng, kami makan lobster sampai kekenyangan, sampai tersisa. Kakap dan kerapu yang kami pesan nyaris tak tersentuh karena kami tergila-gila dengan lobster. OHHH LOBSTER!!! Sayang kami tidak sempat menjajal ikan layur.

Lain kali kami ke sini, kami berjanji hanya akan pesan lobster dan ikan layur. Kakap, kerapu, hiu, tenggiri, tongkol, dan bany
ak lagi di sini, memang segar--tapi kita bisa mendapatkan mereka semua di kota. Pesan hanya lobster dan ikan layur--karena memang dua hasil laut itu yang jadi kekhasan di Ujung Genteng. Lebih baik kebanyakan lobster dan ikan layur daripada kenyang oleh ikan lain.


WISATA PENYU

Sebenarnya, di atas banyak hal lainnya, pantai Ujung Genteng terkenal atas wisata penyunya. Pantai inilah yang menjadi satu-satunya tempat penyu bertelur di Pulau Jawa. Sejak dulu orang berdatangan ke pantai ini untuk menjajal telur penyu, yang konon berprotein tinggi. Karena itu populasi penyu yang bertelur di pantai ini menurun drastis, dari puluhan ekor semalamnya di tahun 80-an menjadi hanya beberapa ekor pada puncak musim bertelur. Namun saat ini, sebuah pusat penangkaran penyu sudah dibangun di tempat itu. Menyaksikan penyu bertelur pun dijadikan paket wisata yang menarik. Tempat penangkaran ini bahkan memiliki agenda pelepasan tukik (anak penyu) di sore hari. Mari berharap, semoga program penangkaran tersebut berhasil, agar anak-cucu kita masih bisa melihat penyu hijau bertelur di pantai Ujung Genteng :)

Untuk melihat penyu bertelur, selepas makan malam kami menyewa ojek menuju pantai Pangumbahan, sekitar 5 km dari losmen. Memang hanya 5 km, tapi medannya offroad. Aku sendiri sport jantung selama perjalanan karena tukang ojeknya melakukan manuver-manuver motorcross kecepatan tinggi. Mereka memang sudah kenal baik medannya, tapi tetap saja, rasa ngeri itu ada.

Ketika kami tiba di pantai, seekor penyu hijau (Chelonia mydas) betina sudah naik dari laut dan tengah menggali. Petugas penangkaran mengendalikan para wisatawan; melarang mereka memotret penyu dari depan selama penyu itu bertelur, karena penyu bisa panik dan akhirnya meninggalkan pantai sebelum tuntas bertelur. Entah berapa lama kami semua hanya bisa menyaksikan penyu itu dari belakang sementara ia mengeluarkan ratusan telur ke dalam lubang. Setelah akhirnya penyu itu menutup lubang dengan pasir, para wisatawan boleh memotret penyu itu dari depan. Penyu itu lebih banyak diam, lalu mendesis menarik nafas panjang sebelum mulai menyibakkan sirip-siripnya, melemparkan pasir untuk mengubur telur-telurnya.

Malam itu, dari kurun waktu pukul 20:00 hingga pukul 22:30, tercatat empat ekor penyu hijau bertelur di sana.

Sebelum pulang, aku dan Panji memergoki beberapa ekor tukik berlari ke arah pantai. Kami sempat membantunya mendekat ke bibir pantai, menunggu mereka tersapu ombak dan terbawa ke lautan. Belakangan kami baru tahu bahwa tukik-tukik tersebut berasal dari tempat penetasan dan penangkaran. Mereka lolos dari sana dan kehilangan arah. Senang rasanya bisa membantu mereka sampai ke tepi pantai--tapi entah nasib mereka selanjutnya...

Malam itu, kami kembali ke losmen dengan perasaan puas, dan lega. Bukan hanya karena sudah melihat langsung proses penyu bertelur. Tapi juga karena melihat bagaimana telur-telur mereka segera diamankan oleh para petugas penangkaran. Dan melihat bagaimana telur-telur itu menetas menjadi tukik sebelum dilepas ke lautan...

Semoga mereka tidak punah. Semoga...


EPILOG: REKOMENDASI

Secara umum, perjalanan dari Jakarta menuju Ujung Genteng membutuhkan waktu 5-6 jam, tergantung kondisi lalu lintas. Kami menyarankan, agar puas, kunjungan ke Ujung Genteng dijadikan tiga hari. Tiba di Ujung Genteng hari pertama siang, memesan losmen lalu memesan ikan-ikan segar untuk makan siang dan makan malam. Malam pertama sebaiknya istirahat. Pada hari kedua, kunjungi semua lokasi wisata yang ada di sekitar sana. Selain pantai akuarium di depan losmen, kami hanya sempat mengunjungi pantai Pangumbahan untuk wisata penyu. Padahal ada banyak obyek wisata menarik di sekitar sana. Ada pantai Cibuaya bagi mereka yang gemar bermain ombak atau bahkan selancar (tapi selancarnya harus bawa sendiri). Ada pantai Cibatu yang konon menyuguhkan terumbu karang yang lebih kaya. Ada pula paket menuju Ombak Tujuh yang memiliki pemandangan indah. Malah kalau kurang puas, ke arah Surade ada gua walet dan air terjun yang mungkin bisa dikunjungi dalam perjalanan pulang.

Selain itu, kami menyarankan agar wisatawan membawa sendiri bumbu-bumbu makanan favorit. Kami senang makan lobster di sana, tapi rasanya agak kurang tanpa soyu dan mayonnaise. Jangan lupa pula bawa celana renang, bahkan kacamata selam untuk snorkeling saat pasang pagi. Mungkin lebih puas kalau snorkeling di Cibatu. Selain itu, untuk wisata penyu, jangan lupa bawa lampu senter. Tidak ada penerangan di pantai Pangumbahan karena bisa menakuti penyu-penyu. Penerangan penting supaya kita tahu arah. Selain itu, ikutilah petunjuk petugas penangkarang agar tidak menganggu penyu-penyu yang akan bertelur.

Dan terakhir, yang terpenting: bawalah kawan-kawan sebanyak mungkin, hehehehehe... :D

Ada yang minat berkunjung ke Ujung Genteng? Ada yang membutuhkan informasi lebih detail? Silakan hubungi saya ya hehehehehe... semoga saya bisa memberikan informasi yang cukup supaya Anda bisa menikmati Ujung Genteng dengan lebih baik. Cheers!

Rabu, 15 Oktober 2008

Citra Diri?


Sebuah SMS masuk ke ponselku kemarin. Tolong bantuin bikin pertanyaan tentang citra diri dong, begitu kira-kira bunyinya. Minimal 3 deh. Buat pemilihan ketua angkatan. Saat itu juga otakku bekerja--sudah lama ia hanya diam--dan demikian hasilnya:

1. Elemen apa yang paling menggambarkan dirimu: api, udara, air, atau tanah? Kenapa?
2. Binatang apa yang paling menggambarkan dirimu? Kenapa?
3. Kenapa kamu layak dipilih jadi Ketua Angkatan? Apa saja kelebihanmu dan apa saja kekuranganmu?
4. Kalau kamu jadi salah satu bagian pohon, kamu jadi apa? Kenapa?
5. Kamu ingin jadi apa? Kenapa?

Pertanyaan itu kukirimkan segera. Tapi bayang-bayangnya masih membekas di pikiranku. Kira-kira, kalau diberi pertanyaan yang sama, aku akan menjawab apa?

1. Elemen apa yang paling menggambarkan dirimu: api, udara, air, atau tanah? Kenapa?
Api. Karena kata orang, sifat saya berapi-api. Tidak seberapi-api itu sih sebenarnya. Saya api, karena saya cenderung agresif, kasar, dan dalam keadaan lepas kendali, sangat merusak. Menghanguskan. Mampu bergerak cepat, sigap, tanggap pada stimulus dan perubahan, cekatan, tapi ya itu, celakanya: berarti juga impulsif dan kadang bertindak terlalu cepat. Oh, ya, saya api.

2. Binatang apa yang paling menggambarkan dirimu? Kenapa?
Saya nggak tahu pasti jawabannya, tapi kayaknya Elang deh. Elang seekor predator, seekor pemangsa, tanggap, cepat, cekatan. Matanya tajam, ia mengamati dari ketinggian, dari langit, sabar melakukan observasi. Ia fokus; saat ia menemukan mangsa, ia melakukan gerakan cepat dan menyergap mangsa tanpa ampun. Seperti itu juga saya; sabar melakukan observasi, namun begitu mendapatkan kesempatan, saya cepat melakukan tindakan agresif--meskipun, seperti elang, tindakan saya juga bisa luput. Oh, ya, satu lagi; elang mungkin bisa membuat banyak binatang lain iri karena ia yang mampu mengarungi langit yang paling tinggi. Tapi ia selalu sendiri, dan kesepian.

3. Kenapa kamu layak dipilih jadi Ketua Angkatan? Apa saja kelebihanmu dan apa saja kekuranganmu?
Ya entah! Saya nggak mau jadi Ketua Angkatan ;p tapi kalau kelebihan, saya yakin, adalah orientasi saya pada kesempurnaan... meskipun itu kadang jadi bumerang. Kelebihan, karena saya berorientasi pada hasil; dan hasil kerja saya boleh dibilang memiliki kualitas di atas rata-rata hasil kerja orang lain. Saya punya dedikasi atas kesempurnaan yang lebih dibandingkan orang lain. Tapi orientasi pada kesempurnaan ini juga bisa jadi kekurangan; pertama, saya perlu kerja ekstra keras dan hal tersebut bisa menyebabkan terbengkalainya hal lain, dan dua, saya bisa menuntut terlalu banyak pada orang lain, karena tidak semua orang mampu mengikuti tuntutan kesempurnaan saya. Kelebihan lainnya, saya cepat belajar dan mampu melakukan analisa yang tidak sembarangan; kekurangan lainnya, saya cukup labil secara emosional, dan, seperti api, cenderung merusak saat lepas kendali :p

4. Kalau kamu jadi salah satu bagian pohon, kamu jadi apa? Kenapa?
Jadi batang? Batang yang menjadi alasan pohon berdiri tegak, bahkan saat dihembus angin. Batang juga yang menjadi penghubung antara akar-akar yang mengumpulkan mineral dari bumi, dengan dedaunan yang memproduksi makanan. Batang menjadi penegak sekaligus penghubung antarbagian. Dan tidak seperti daun, batang tidak gugur dan berganti dengan yang baru; ia hanya bertumbuh semakin besar, konsisten, menumbuhkan semakin banyak cabang. Oh, ya, satu lagi: batang juga sendirian. Tidak seperti akar atau daun yang bergerombol, satu pohon hanya punya satu batang. Banyak cabang dan ranting, mungkin, tapi tetap satu batang. Satu batang mampu menegakkan satu pohon.

5. Kamu ingin jadi apa? Kenapa?
Ingin jadi seorang pendidik. Dosen, mungkin. Tapi kesannya, dosen terlalu sempit; seorang pengajar formal di universitas. Aku ingin jadi seorang pendidik, bukan sebatas dosen. Menjadi pendidik berarti tidak hanya menjadi pengajar formal di ruang-ruang kelas. Tapi juga menjadi teman yang menunjukkan jalan bagi anak didik, mendampingi mereka meniti jalan, dan mendorong anak didik untuk terus mencapai kemajuan. Menginspirasi mereka, mengembangkan mereka untuk menjadi individu yang lebih baik, bukan sekadar lebih cerdas atau lebih bisa menghafal materi kuliah. Menularkan nilai-nilai kehidupan pada mereka, agar mereka menularkannya pada lebih banyak lagi orang. Wow, menjadi pendidik berarti menjadi biang virus ;p

Jadi, kesimpulannya, bagaimana citra diri saya?

Saya fokus dan berorientasi pada kesempurnaan. Untuk itu, saya bisa bersabar diam melakukan pengamatan, lalu fokus pada satu hal dan mengambil tindakan yang cepat, cekatan, bahkan cenderung agresif. Namun sifat agresif itu bisa menjadi bumerang. Kadang sifat agresif membuat saya terlalu cepat mengambil tindakan bahkan cenderung merusak. Sifat agresif dan emosional yang lepas kendali bisa membuat saya justru merusak banyak hal.

Terlalu berorientasi pada kesempurnaan juga membuat saya kesepian. Tuntutan kesempurnaan membuat saya berjarak dari kebanyakan orang. Apalagi saya bisa bersikap agresif untuk mencapai kesempurnaan, dan saya makin berjarak dari orang saat saya malah lepas kendali dan justru bukan meraih kesempurnaan, melainkan kerusakan. Dan karenanya mungkin saya lebih cocok disebut penyendiri.

Sebenarnya, saya ingin membuat perubahan. Saya ingin cukup kuat membuat perubahan untuk banyak orang, banyak pihak, secara konsisten. Seperti batang pohon seorang diri mendukung banyak akar, cabang, ranting, dan daun. Dan karenanya saya ingin jadi pendidik.

Kalau kamu gimana???

Rabu, 08 Oktober 2008

Laskar Pelangi: Sebuah Review


Catatan: review i
ni saya tulis untuk memenuhi usulan/permintaan dari sahabat saya Sigit

Saat saya mendengar bahwa Laskar Pelangi digarap oleh Riri Riza, saya memang sempat mengerutkan alis. Yakin, Riri Riza? Kenapa Riri Riza? Mau tidak mau saya langsung teringat Gie, salah satu film favorit saya sepanjang zaman. Tapi film itu cenderung suram dan sunyi. Apakah Laskar Pelangi yang memuat dunia anak-anak yang ceria ini akan dibuat semuram dan sesunyi Gie? Atau ini akan jadi proyek gagal seperti 3 Hari Untuk Selamanya?

Ternyata fil
m ini tidak sebooming Ayat-Ayat Cinta. Dan saya segera memahami alasannya saat saya menontonnya: film ini, dalam beberapa aspek, sangat mirip dengan Gie, yang dipuji banyak kritikus film dan meraih beberapa penghargaan di Eropa tapi kurang laku di sini. Terutama penekanannya pada "potret" ketimbang "alur". Bertolak belakang dari film-film mainstream yang membangun alur baku dengan drama 3 babak (pengenalan tokoh-konflik-penyelesaian), film ini lebih berfokus untuk membangun atmosfir atau suasana dengan scene-scene pendek. Riri Riza masih dengan gaya penceritaan yang "sunyi"--banyak menggunakan simbol-simbol sinematografik, gestur-gestur nonverbal para tokoh, sampai adegan-adegan serupa yang diulang-ulang ketimbang menyampaikan secara gamblang melalui mulut para tokoh. Untuk itu saya menggolongkannya sebagai film yang "cerdas".

Sayangnya (lagi-lagi saya membandingkannya dengan Gie), film ini lemah dalam dialog. Terutama pada separuh bagian awal. Akibatnya, pembangunan karakter tokoh dengan gaya potret pun terseok-seok. Simak misalnya dialog antara Pak Harfan dengan Pak Zul yang terkesan tidak nyata dan sangat kaku. Dan kelemahan dialog ini bukan hanya satu atau dua, tapi cukup banyak hingga cukup mengganggu penghayatan saya atas potret yang dihadirkan melalui film. Paling tidak selama separuh awal film saya merasa *SANGAT* bosan, karena film ini tidak punya alur dan, celakanya, karakter tokoh-tokohnya tidak terbangun gara-gara dialog yang kaku. Untunglah hal ini terkompensasi dengan separuh lainnya yang sangat memikat. Adegan-adegan lucu, menegangkan, sedih, norak, dan banyak lagi, terangkai membentuk satu potret kehidupan yang utuh. Melalui adegan pendek Riri Riza mampu membangkitkan emosi yang biasanya dilakukan oleh sutradara lain melalui alur yang panjang. Dan karena tidak membutuhkan waktu lama untuk membangkitkan emosi penontonnya, Riri Riza dapat membangkitkan bermacam emosi, mulai dari lucu sampai sangat sedih, bahkan secara berganti-ganti. Saya bisa tertawa di film ini; tapi yang terhebat, saya bisa menangis dan merinding hanya oleh satu adegan pendek. Bravo untuk Laskar Pelangi--dan Riri Riza--untuk keahliannya yang satu itu: membangkitkan emosi hanya melalui adegan pendek.

Overall, untuk saya, film ini bagus dan menginspirasi, tapi mungkin masih terlalu idealis untuk orang awam. Para penikmat film mainstream yang sangat menyukai alur, mungkin tidak akan menyukai film ini. Terlebih orang-orang yang menginginkan semuanya gamblang dalam dialog maupun adegan. Film ini juga bukan film yang cocok untuk mencari hiburan ringan atau seru-seruan belaka, karena justru menuntut penontonnya melakukan penghayatan mendalam atas simbol-simbol yang ditampilkan. Namun untuk orang-orang yang menyukai film "cerdas", mereka yang suka menyelami karakter tokoh, film ini bagus, meskipun tidak luar biasa, karena punya cacat dalam dialog. Bagus, asalkan Anda bisa melewati dulu separuh awal yang membosankan. Percayalah, Anda *HARUS* melihat keseluruhan film untuk mengatakannya bagus; Anda hanya melihat bagian terburuk kalau hanya bertahan setengahnya :)

Jumat, 19 September 2008

Reboot


Akhirnya...

Setelah lebih dari dua bulan vakum, aku kembali. Seperti perantau yang pergi melaut, menerjang badai, kemudian kembali pulang ke rumah. Seperti mineral yang terbawa naik sampai ke pucuk daun, hingga daun itu gugur dan kembali ke tanah. Seperti udara yang sesaat merantau dan berputar dalam tubuh manusia, sebelum nafas kembali menghembuskannya keluar.

Ada banyak pelajaran dalam dua bulan perantauanku di dunia pengangguran. Dunia orang bebas. Tidak ada lagi sistem yang mengungkung, hanya ada pilihan bebas ke mana pun aku mau. Namun kebebasan juga berarti tanggung jawab; tanpa ada tuntutan untuk melakukan sesuatu, aku harus menentukan sendiri tindakan-tindakanku. Menjadi tuan atas hidupku sendiri.


Ada banyak hal yang ingin kubagi denganmu, wahai orang-orang yang kucintai,


Namun ternyata, bahkan setelah aku selesai dengan sebuah proyek di luar Pulau Jawa, aku kesulitan untuk kembali pada pola lama. Salah satunya, pada kebiasaan menulis blog. Ada banyak yang ingin kubagi dengan kalian semua. Cerita pengalaman bekerja profesional ke sebuah tempat terpencil bernama Tanjung Enim. Cerita pengalaman memimpin tim asesmen ke Palembang dan menjalin relasi dengan orang-orang perusahaan, baik formal maupun informal. Cerita drama pernikahan Tita, dan bagaimana aku merasa begitu kehilangan. Cerita mengenai pasien-pasienku di Klinik Memori, termasuk yang menyenangkan hingga yang akut dan melelahkan. Juga banyak lagi cerita-cerita kecil. Semuanya seperti buah yang matang di pohon, namun tak kupetik tepat pada waktunya—kini semuanya telah membusuk di atas tanah, bahkan sudah lenyap dimakan roda waktu. Sulit kembali menulis cerita-cerita yang sudah lama berlalu, karena aku harus terus bergerak ke depan. Masih banyak buah yang siap dipetik—kini aku akan menulis pengalaman-pengalaman yang masih segar. Bukan yang sudah membusuk di atas tanah.


Reboot. Saatnya memulai lagi proyek menulis untuk blog.


Terima kasih tetap mau membaca blogku. Semoga banyak hal yang bisa Anda dapatkan ke depannya—setelah terlalu lama Black Box ini vakum.


Salam,




Rizal

Rabu, 09 Juli 2008

Bahasa Cinta


Bahasa Cinta,
Bahasa manusia terjujur, tersuci, dan terindah.
Bahasa itulah yang telah kita dengarkan bahkan sejak sebelum kita dilahirkan.
Sementara anggota tubuh kita terbentuk, kita mendengar bahasa Cinta,
dari Ibu yang mengandung kita, sembilan bulan lamanya.

Saat akhirnya kita dilahirkan pun,
kita masih bisa mendengar sayup-sayup suaranya.
Ada pelukan Ibu, ada suara Ayah.
Ada sepasang payudara yang selalu memberikan susu,
dan ada wajah-wajah cerah yang menyambut kehadiran kita di dunia.
Tapi,
sejak saat itu pula, kita mengenal bahasa lain.
Bahasa yang lebih kasar, lebih keras, dan lebih dingin.
Bahasa yang kemudian mengambil alih perhatian kita.
Kita tidak lagi mendengarkan bahasa Cinta, karena ia terlalu halus;
sementara bahasa Pasar mengepung kita dari segala penjuru.
Kita mendengar bahasa Pasar dan kita berbicara dengan bahasa Pasar,
sementara bahasa Cinta sendiri, terlupakan sama sekali.


***


Kita semua telah melupakan bahasa Cinta;
kalaupun mengingatnya, kita sangat jauh dari fasih.
Lihat apa yang dunia ini ajarkan pada kita: memiliki atau kehilangan.
Segalanya diukur dengan nominal untung dan rugi.
Kita masih mendengar istilah cinta, tapi bukan dalam bahasa Cinta,
melainkan dengan bahasa Pasar.
Kebahagiaan dalam bahasa Pasar identik dengan memiliki banyak hal.
Dan cinta dianggap sebagai memiliki pasangan dan saling menuntut.
Cinta tidak lagi dipahami sebagai cinta itu sendiri,
melainkan dikenal melalui kompromi dan untung-rugi.
Kita tidak mengenal cinta karena kita besar dengan bahasa Pasar,
hingga cinta dibakukan dengan istilah-istilah HTS, teman-tapi-mesra, pacar, tunangan,
bahkan dilembagakan secara hukum dengan nama pernikahan.
Namun cinta bukanlah HTS, teman-tapi-mesra, pacar, tunangan, atau pernikahan.
Cinta hanyalah cinta.
Kita perlu mempelajari lagi bahasanya untuk mengerti hakikatnya.

Sayangnya, tidak ada kursus bahasa Cinta.
Kita bisa menemukan dengan mudah kursus bahasa asing di mana-mana.
Tapi tanyakan padaku, di mana kita bisa belajar bahasa Cinta.
Dan Aku akan menjawab,
Kau harus mendengarkan suara hatimu yang paling murni, yang paling dalam,
karena hati adalah satu-satunya guru bahasa Cinta.


***


Namun bahkan aku sendiri belumlah fasih.
Maafkan Aku, Puteriku.
Maafkan Aku yang belum bisa juga mencintaimu dengan tulus,
Maafkan Aku yang belum sepenuhnya fasih dengan bahasa Cinta.
Kadang kupikir, Aku telah belajar banyak,
Namun ketika Kau terlepas, aku tahu bicaraku masih tergagap-gagap.
Bantu Aku belajar lebih banyak lagi,
hingga Aku bisa mencintaimu,
dan tidak merasa kehilangan saat Kau pergi;
hingga Aku fasih berbahasa, dengan bahasa Cinta.

Kelak kalau sudah lebih mahir kelak,
Aku akan membuka sekolah pelajaran bahasa Cinta.
Sekolah yang mengajarkan manusia untuk berhenti berpikir,
untuk mulai menggunakan hati.
Agar manusia mengerti bahwa kebahagiaan tidak sama dengan memiliki.

Sabtu, 21 Juni 2008

Sore Bersama ******


Lagi-lagi, postingan dihapus atas permintaan yang bersangkutan.

Doh. Tampak saya sering melanggar privasi orang. Tampaknya kebebasan menulis di blog memang tidak terjamin, karena sangat mungkin bersinggungan dengan kebebasan orang lain =D

Mungkin suatu kali saya perlu menulis betapa orang takut pada kejujuran. Ingatkan saya untuk menulisnya nanti =D

Sabtu, 07 Juni 2008

Jika Aku Mati Malam Ini


Jika kamu terbangun pagi ini dan kemudian mendapat kabar, kamu akan mati malam ini.
Apa yang akan kamu lakukan?

Aku akan memutuskan,
hari ini adalah hari yang teramat indah.

Dan hari yang teramat indah tidaklah semestinya disia-siakan.
Maka Aku pun tidak akan berleha-leha.
Aku akan segera bangun dan duduk di halaman, menanti sang mentari datang.
Menyapa ketika sinarnya datang,
dan meresapi semua kehangatan yang dipancarkannya pada dunia,
pada awal kehidupanku yang singkat.

Lalu Aku akan berolahraga, barang sedikit.
Menggerakkan otot-otot tubuh, memacu jantung,
Menghayati gerakan setiap sel yang terkoordinasi dengan rapi.
Betapa menakjubkannya tubuh ini;
dan betapa Aku bersyukur atas semua kemampuan tubuh yang kumiliki,
atas semua yang bisa kulakukan dengannya.
Lalu kumanjakan ia dengan air dan wewangian.
Membasuh seluruh permukaannya dengan rasa sayang.
Betapa Aku teramat menghormatinya;
Dan Aku berterima kasih padanya karena memungkinkanku melakukan banyak hal,
dalam satu hari terakhirku hidup di dunia.

Dengan tubuh itu, Aku akan bersantap pagi bersama keluarga.
Kami menikmati roti bakar selai coklat dan secangkir kopi panas.
Kami mengobrol akrab, bercanda ria,
Meresapi setiap detik kebersamaan yang mengagumkan,
Sebelum malam nanti, semuanya menjadi tiada.

Aku juga akan mengumpulkan sahabat-sahabatku.
Aku akan menghubungi mereka satu persatu, menanyakan kabar mereka hari itu,
dan mengundang mereka bersantap siang denganku.
Aku akan memasakkan mereka, hidangan terbaik yang bisa kubuat.
Dan kami akan duduk melingkar,
Berbincang panjang lebar, bercanda ria dan tertawa terbahak-bahak,
hingga sore menjelang.
Aku akan mengantar mereka sampai ke pintu pagar,
lalu berterima kasih, sebesar-besarnya,
karena telah hadir menghias waktu hidupku yang singkat.

Aku akan menyempatkan diri mengunjungi taman terdekat,
Untuk menikmati sore yang hangat dan akrab.
Aku akan mengamati pohon-pohon yang menjulang,
Serta binatang-binatang yang bermain riang.
Meresapi seluruh keindahan alam, seolah-olah untuk yang pertama kalinya,
dan yang terakhir kalinya, sebelum mati meniadakan segalanya.
Aku akan melihat matahari terbenam, dan Aku akan berterima kasih padanya,
terima kasih yang begitu besar,
karena telah menyinari separuh hari akhirku yang indah.

Dan ketika malam tiba,
Aku akan mengajak orang yang paling kusayangi bersantap malam denganku.
Kami akan makan di restoran, kami akan memesan makanan yang lezat.
Lalu kami akan mengobrol akrab,
dan berkali-kali Aku menikmatinya tersenyum hangat.
Demikian menit demi menit waktuku yang tersisa di dunia berlalu.
Malam semakin larut dan Aku semakin dekat dengan maut;
Maka Aku akan mengantarkannya pulang,
sampai ke depan pintu pagar rumahnya.
Betapa Aku teramat mencintainya,
Betapa Aku berterima kasih atas hadirnya,
dan betapa Aku bersyukur, atas semua yang telah diberikannya.

Ketika akhirnya Aku berbaring di atas ranjang,
Aku tahu waktuku tiba sudah.
Saatnya bagiku mengucapkan selamat tinggal pada dunia,
Saatnya bagiku pasrah, melepaskan segalanya.
Karena pada akhirnya, segala sesuatunya akan berlalu dan menjadi tiada.
Tidak ada sesal yang kubawa, hanya syukur yang tak terperi indahnya.
Hari ini memang hari yang teramat indah.
Dan dalam akhir hari yang teramat indah itu, kupejamkan kedua mata,
dan Aku jatuh dalam kegelapan, dalam ketiadaan.
Dalam ketiadaan kutemukan kenyamanan, kutemukan kedamaian,
seperti dalam rahim ibu.
Dalam kedamaian itu, Aku Abadi.



***

.

Tapi kita memang akan mati malam ini.
Malam ini kita akan memejamkan mata, meninggalkan hari ini,
Dan hari ini pun menjadi tiada;
Ia usang menjadi hari kemarin, yang hanya ada dalam kenangan.
Ya, kita akan mati malam ini.
Jadi putuskanlah;
apa yang harus kita lakukan hari ini?
Akankah kita membiarkannya berlalu sia-sia?
Akankah kita menjadikannya momok yang menyedihkan?
Ingatlah, kita akan mati malam ini,
Jadi Aku tak akan menodai hari ini dengan keluhan dan penyesalan;
Aku akan menikmatilah hari ini sebaik-baiknya,
dan Aku akan bersyukur atas semua yang terjadi.
Sudahkah kita berterima kasih pada tubuh yang mengagumkan,
yang memungkinkan kita menjalani hari penuh aktifitas?
Sudahkah kita berterima kasih pada alam yang menakjubkan,
Yang memberi warna pada kehidupan?
Sudahkah kita berterima kasih pada orang-orang yang kita cintai,
Atas hadirnya mereka, atas kebersamaan yang mereka bagi?
Sudahkah kita bersyukur atas hidup, dan atas setiap detik di dalamnya?
Semua yang tak terperi indahnya, dan aku bersyukur atas mereka semua;
karena malam nanti, semuanya akan menjadi tiada.

Kelak mungkin,
kita akan dilahirkan kembali besok pagi, bereinkarnasi di hari yang baru,
meskipun mungkin juga tidak.
Jadi kita tidak perlu berharap.
Namun bila memang hari baru datang, nikmatilah,
Seperti kita pertama kali mengalaminya, hadir di dalamnya.
Nikmatilah kebebasan tubuh,
Nikmatilah alam raya,
Nikmatilah kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai,
Seperti kita mengalaminya untuk pertama kali.
Nikmatilah setiap detik dalam satu harinya, dan bersyukurlah,
karena satu hari kehidupan sangatlah mengagumkan;
karena malam harinya, kita akan mati lagi,
dan hari itu pun menjadi tiada lagi.

Ain't She Lovely?

.

[FOTO TELAH DIHAPUS*]

.

Ain’t she lovely,

With smile like a fancy candy,

Like sugar on my morning coffee,

Like colors on my little diary?

.

... I do love her so.

.

*Dihapus atas permintaan yang bersangkutan. Awalnya uda boleh, tapi tiba-tiba ngerasa malu dan berubah pikiran. Bgitulah #p

Sabtu, 24 Mei 2008

Melepaskan


Let it go
Let it roll right off your shoulder
Don’t you know
The hardest part is over
Let it in
Let your clarity define you
In the end
We will only just remember how it feels

Sudah sering aku menerima orang yang curhat mengenai kisah cinta mereka. Belajar bersama mereka makna dari cinta, hubungan, kehilangan, dan kekecewaan. Namun baru kali ini aku bisa melihat sebuah potret yang utuh. Sang pria, sahabatku, percaya aku bisa mencerna keluhan-keluhannya menjadi solusi konkrit. Sang wanita, pasangannya, percaya aku sebagai orang psikologi mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya mengenai manusia. Mereka berdua insan yang saling mencintai. Namun mereka saling kehilangan dan sama-sama menderita. Dan mereka datang padaku.

Bagi sang pria, wanita yang disayanginya memberinya kenyamanan dan kedamaian. Bersamanyalah sahabatku itu membayangkan keluarga yang harmonis di masa depan. Istri yang menyambutnya di rumah ketika ia pulang. Tempatnya bermanja-manja dan melepas lelah setelah seharian bekerja di luar sana. Sosok yang menjadi pendampingnya menjalani hidup yang panjang hingga akhir hayat. Namun kemudian perhatian sang wanita membuatnya bosan. Ia pernah mengenal wanita yang justru memberinya tantangan untuk selalu berkarya, dan ia merindukan wanita seperti itu. Wanita yang tak pernah membuatnya bosan, meskipun tidak bisa memberikan kenyamanan. Sahabatku itu merindukan wanita seperti itu, tapi juga menginginkan kenyamanan. Ia menginginkan keduanya. Ia menginginkan wanita yang bisa memberinya kenyamanan sekaligus tantangan. Andai wanita yang bersamanya sekarang bisa memuaskan semua keinginannya itu...

Dan sang wanita. Sosok yang dulu sangat mandiri hingga sahabatku itu mendekatinya, memanjakannya. Ia terlena. Ia mencurahkan seluruh perasaan dan perhatiannya untuk sahabatku itu, tapi kemudian sahabatku itu menjadi bosan. Betapa tidak adil! Saat ia sudah sangat terbiasa dengan perlakuan istimewa, pacarnya mengatakan bosan dan ingin pergi dulu. Betapa tidak adil! Andai pria itu bisa lebih memahaminya. Andai pria itu bisa lebih bertanggung jawab, dan menyayanginya seperti dulu, seperti ia masih menyayanginya hingga sekarang...

Dan aku. Aku menjadi penonton melalui layar laptopku. Menyaksikan mereka yang masih saling menyayangi dan saling membutuhkan. Namun saling kehilangan dan sama-sama terluka.

Tidakkah menakjubkan bagaimana sepasang manusia yang saling menyayangi akhirnya dapat saling mengikat, saling menjajah, dan akhirnya saling melukai? Tidak ada kebahagiaan yang tersisa dalam hubungan mereka sekarang. Dulu mereka adalah pasangan yang berbahagia, yang menikmati setiap waktu yang mereka lalui bersama. Ke manakah kebahagiaan itu pergi? Mereka berharap bisa kembali pada masa-masa indah itu lagi, masa-masa indah yang mereka jalani bersama. Namun tentu saja dunia telah berubah, dan akan selalu berubah. Hingga mereka saling kehilangan. Saling mempertanyakan. Saling berharap, dan saling menuntut. Namun masa lalu takkan pernah kembali. Kenangan hadir hanya untuk dihargai keindahannya, tapi bukan untuk diulang. Kenangan akan selamanya menjadi bagian dari diri mereka; tapi mereka berdua harus menciptakan masa-masa indah yang baru. Karena dunia terus berubah, mereka juga terus berubah, dan masa-masa yang harus mereka lalui bersama pun terus berubah.

Sang wanita berkata padaku, ia sudah tidak bisa mengenali dirinya sendiri lagi. Ia tak tahu lagi apa yang diinginkannya. Namun aku tahu, jauh dalam hatinya, ia berharap semuanya bisa menjadi seperti sediakala. Sementara sahabatku, terdera rasa bersalah, memutuskan untuk berusaha lebih keras mempertahankan hubungan. Selama ini keadaannya memang tidak adil. Sang wanita sudah berusaha sangat keras, dan sahabatku itu terlalu cepat menyerah. Sudah saatnya ia berkorban lebih banyak. Namun, cinta tidak datang dari pengorbanan. Saat mereka saling jatuh cinta dulu, mereka tidak saling berkorban; mereka saling berkelimpahan dan mereka saling berbagi.

Aku berkata, “Lepasin aja, Bro.”

Sahabatku itu membalas. “Lepasin?”

“Lepasin. Nggak usah berusaha apa-apa. Karena dulu saat pertama kali jatuh cinta, lu nggak berusaha jatuh cinta sama dia. Saat dulu lu berbahagia dengan dia pun, lu nggak berusaha untuk berbahagia, atau berusaha mengulang masa indah apa-apa. Semuanya dateng gitu aja.”

“Tapi bukannya kita harus berusaha?”

“Dulu kalian berbahagia karena saling menemukan dan menjalani semuanya dengan alami. Tanpa rencana dan tanpa harapan apa-apa. Sekarang kalian terpaku pada kebahagiaan yang sudah berlalu. Sekarang kalian saling tergantung, saling mengikat, dan saling menyakiti. Kalian berencana dan berharap bisa mendapatkan lagi kebahagiaan. Tapi untuk bisa berbahagia seperti dulu, kalian harus saling menemukan lagi. Dan untuk saling menemukan lagi, kalian harus saling melepaskan dulu. Kalian harus bebas lagi, sebebas dulu saat kalian saling jatuh cinta pertama kali. Kalian harus berusaha, tapi bukan berusaha untuk menjaga hubungan; kalian harus berusaha untuk saling melepaskan dan saling membebaskan diri.”

“Tapi gua gak mau kehilangan dia.”

“Jangan khawatir. Kalau dia emang yang terbaik buat lu, kalian pasti akan saling menemukan lagi. Dan kalian pasti bisa berbahagia bersama-sama lagi, dan lu pasti bersyukur. Tapi kalo kalian nggak saling menemukan lagi, lu bakal saling menemukan dengan yang terbaik. Dan saat itu, lu juga pasti bersyukur.”

Agak lama sahabatku itu terdiam. “Ah, itu bikin lega. Thanks a lot, Bro.”

Entah apa dia benar-benar mengerti maksudku atau tidak. Aku tersenyum menatap pesannya di layar laptop. Tersenyum getir.


***


Tersenyum getir, karena saat aku menceramahinya, aku menampar diriku sendiri. Melalui mereka aku bercermin dan melihat bayangan buruk rupa: bayanganku sendiri. Entah apa yang orang-orang lihat dariku hingga mereka percaya padaku. Tapi aku sendiri bukan orang yang terbilang berhasil dalam percintaan. Bukan hanya karena sampai sekarang aku masih menjomblo. Satu setengah tahun, aku selalu membela diri dengan kedok “kesetiaan”. Namun aku tahu, jauh di baliknya, aku hanyalah orang yang belum sanggup melepaskan.

Satu setengah tahun yang lalu, aku mengalami masa-masa yang amat menyenangkan dengan Sang Puteri. Aku terlena. Lalu aku pergi diklat... dan mendapati dirinya sudah menghilang saat aku pulang. Aku merindukan masa-masa itu, masa-masa indah bersamanya sebelum aku pergi diklat. Kerinduan tumbuh menjadi harapan, harapan tumbuh, mengembang, membesar, dan menghimpitku. Menyesakkan. Dan kemudian ia mengatakan padaku, aku tidak pernah kehilangan apa-apa, karena sejak awal aku tidak memiliki apa-apa. Cintanya hanyalah bayangan semu; cintaku padanya bertepuk sebelah tangan.

Apakah yang harus kulakukan agar aku bisa kaucintai, Puteri?

Satu setengah tahun. Naik dan turun. Masa-masa menyenangkan bercampur-baur dengan kekecewaan yang mendalam serta perselisihan yang keras. Aku ingin memenangkan hatinya. Aku ingin membuatnya juga menginginkanku sebanyak aku menginginkannya. Namun semua itu tak pernah menjadi lebih dari sekadar angan-angan. Aku tak pernah bergerak ke mana-mana. Satu setengah tahun aku berlari di tempat. Aku tak bisa meraihnya, mendapatkannya, dan menjadi lebih dekat dengannya. Namun aku juga tak bisa melupakannya, karena ia juga tak pernah benar-benar pergi jauh.

Satu setengah tahun aku terjebak dalam lingkaran setan, berputar-putar tanpa arah. Tidak pernah ada kebahagiaan yang nyata, karena setiap rasa senang hampir pasti akan diikuti oleh kekecewaan, dan kekecewaan menyebabkan tuntutan, dan tuntutan menyebabkan perselisihan, dan dalam perselisihan kami saling melukai, kami saling menyakiti. Ke manakah kebahagiaan yang dulu pernah kurasakan itu? Aku masih menyayanginya, aku tak ingin menyakitinya. Aku ingin berhenti. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, sebelum aku pergi diklat. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya membebaskan diri dari lingkaran setan itu. Aku tak tahu bagaimana caranya meraih kembali kebahagiaan itu.


***


Beberapa hari belakangan ini, aku sedang sangat menikmati masa-masaku dengan Sang Puteri. Menjalani momen-momen bersama dengan penuh sukacita. Berputar-putar di kota mencari bioskop yang masih memutar Iron Man, atau menyelesaikan berbagai macam urusan di banyak tempat. Menunggunya lama di tempat janjian, lalu melihatnya datang dengan pakaian berwarna mentereng. Memilih dan mengomentari barang-barang mewah yang terpajang di etalase-etalase mall. Lepas kendali di taman bermain, mengumpulkan sebanyak mungkin poin untuk ditukarkan dengan cinderamata. Makan malam dan saling mencoba menu yang dipesan. Melihatnya berdiri menunggu di tepi jalan. Mengantarnya pulang meskipun hanya sampai ke depan gang. Menghabiskan waktu bersama mengantri BBM jam tujuh malam... sungguh bukan hal-hal besar, hanya hal-hal kecil biasa. Namun setiap detiknya, setiap detiknya penuh oleh kebahagiaan.

Sebesar kebahagiaanku satu setengah tahun yang lalu, sebelum aku pergi diklat.

Aku tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Apakah akhirnya ia kembali menjadi seperti dulu, sebelum aku menghilang dua minggu dalam diklat? Apakah akhirnya ia mencintaiku juga? Semuanya masih menjadi misteri. Tapi satu hal yang pasti: semuanya terjadi begitu saja. Spontan. Tanpa perencanaan apa-apa, tanpa pengharapan apa-apa, tanpa usaha apa-apa.

Aku menemukan kembali kebahagiaan itu, kebahagiaan yang telah lama kucari-cari.

Justru ketika akhinya aku mulai menyerah, ketika aku mulai melepaskan segala upaya, segala sesuatunya berubah menjadi alamiah, menjadi luwes, mengalir, senantiasa berubah, dan karenanya senantiasa menjadi baru. Tiba-tiba saja, cintaku menjadi semurni saat aku jatuh cinta padanya pertama kali, satu setengah tahun yang silam. Demikian pula momen-momen yang kulalui bersamanya; semua terasa begitu menyegarkan, seolah aku baru saja mengalami semuanya untuk yang pertama kali.

Sesungguhnya kebahagiaan selalu hadir bersama sesuatu yang baru. Dan karena dunia senantiasa berubah, segala sesuatunya selalu menjadi baru, dan kebahagiaan pun tak pernah ke mana-mana. Ia selalu hadir dalam setiap detik yang aku lalui. Namun untuk meraihnya, aku harus membebaskan diriku dulu. Melepaskan semua ikatan, seindah apa pun itu. Hanya dengan meninggalkan sangkar emas aku dapat terbang bebas, merasakan kebahagiaan hidup bersama alam raya.

Aku tersenyum. Bahkan pengalaman beberapa hari belakangan ini pun telah berlalu. Ia menjadi kenangan yang hadir untuk dihargai keindahannya. Namun tak ada yang perlu diulangi. Karena dunia terus berubah, kami juga senantiasa berubah, dan masa-masa yang harus kami lalui bersama pun selamanya berubah. Tidak ada gunanya mengikatkan diri pada kenangan, atau pada harapan, atau pada status dan perjanjian apa pun... karena hanya dengan membebaskan dirinya manusia dapat merasakan kebahagiaan hidup, dan mensyukurinya.

Ditemani lagu Little Wonders dari Rob Thomas, aku berbaring di kasur. Memandangi langit-langit kamar yang remang-remang. Sudah kupegang salah satu kunci kebahagiaan hakiki. Semoga aku tak lupa lagi cara menggunakannya. Lepaskan segala keterikatan, bebaskan diri sendiri, dan aku akan menemukannya, menemukan kebahagiaan itu, dalam banyak hal yang aku alami. Aku tersenyum lebar.

Our lives are made
In these small hours
These little wonders
These twists and turns of fate
Time falls away
But these small hours
These small hours
Still remain