Sabtu, 23 Februari 2008

Rumah Tanggaku Nanti


Bagaimanakah rumah tanggamu nanti?

Tema itu yang sempat terbetik dalam obrolanku dengan Nares pagi ini. Dimulai dengan obrolan mengenai skripsi, yang diikuti dengan obrolan bahwa skripsi blumlah apa-apa jika dibandingkan pekerjaan seorang istri di rumah tangga nanti. Pekerjaan rumah tangga? Ah, aku berpikir, sepertinya aku juga akan terlibat banyak dalam pekerjaan rumah tangga nanti. Aku membayangkan istriku nanti seorang wanita karir, dan aku... sesuai dengan rencana masa depanku sekarang: seorang dosen. Sekaligus seorang psikolog. Sekaligus seorang penulis lepas. Nares memprotes, katanya lelaki lebih baik bekerja dengan benar, sementara urusan domestik, serahkan saja pada wanita...

Really?

Saat itu aku mulai berimajinasi tentang kehidupanku di masa yang akan datang. Bahkan setelah obrolan dengan Nares selesai. Me, and my dearest wife. Aku seorang pengajar dan staff konseling, dengan kerja tambahan sebagai penulis. Istriku seorang pengejar karir kantoran. Hmm...

...

Di pagi hari, aku terbangun dan mendapati dirinya masih terlelap di sampingku. Kubiarkan beberapa menit berlalu hanya dengan memandangi wajahnya. Tak henti-hentinya kuucap syukur. Ketika akhirnya waktu tak mau lagi berkompromi, aku membangunkannya dengan lembut. Kadang istriku masak sarapan yang enak. Tapi mungkin, kadang juga, aku yang memasakkannya sarapan. Mungkin sekadar roti selai yang lantas dipanggang hingga kering. Atau sup krim ayam dengan roti kering? Tentu saja, sebagai pasangan muda yang baru saja merintis rumah tangga, kami harus berhemat. Tak ada ruang untuk sarapan yang mewah, tapi selalu ada sarapan yang hangat. Berdua di meja makan, ditemani teh hangat dan obrolan yang hangat.

Ketika langit mulai terang, kami berangkat bersama-sama. Boncengan dengan motor yang dikredit bersama. Aku mengantarnya sampai ke kantor, baru aku pergi ke kampus. Jika jadwal mengajarku siang dan aku tak punya kegiatan lain, aku hanya mengantar istriku ke kantor lalu pulang lagi ke rumah kami yang kecil, tapi nyaman. Sambil menunggu jam kerja, aku melewatkan waktuku di rumah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Mencuci piring dan perabotan masak akan menyenangkan. Menyapu. Mungkin mengepel sekalian. Tapi jangan suruh aku mencuci pakaian--aku paling bodoh dalam hal itu. Istriku pasti dapat melakukannya dengan lebih baik dariku. Ketika semua beres dan aku masih punya waktu luang, aku bisa mulai menulis lagi. Menulis novel, paling tidak satu bab satu hari.

Ketika hari mulai petang, aku kembali membawa motor kredit itu untuk menjemput istriku di kantornya. Kami bersama-sama menembus jalanan malam. Mungkin, kalau kami sedang sama-sama lelah, kami mampir di warung kaki lima, membeli makan malam dibungkus, lalu memboyongnya ke rumah dan makan sambil nonton TV. Kalau sedang niat dan ingin lebih murah, kami bisa langsung pulang. Masak berdua di dapur. Atau bisa kubiarkan istriku beristirahat, dan aku jadi koki yang menyiapkan makan malam. Ketika malam melarut, kami menghabiskan waktu berdua di depan TV. Mungkin menonton tayangan TV swasta, mungkin juga menonton DVD-DVD bajakan yang kami beli secara massal di hari libur, sambil berbaring melepas lelah. Atau, di akhir bulan, kami mulai menghitung-hitung pengeluaran serta tabungan, serta menyusun rencana keuangan untuk bulan berikutnya.

Dan inilah yang kami lakukan di hari libur: aku masak sarapan, sementara istriku mencuci pakaian. Ketika hari agak siang, kami bermotor ke supermarket. Belanja barang-barang yang murah. Maklum, pasangan muda, mungkin dengan penghasilan yang harus disiasati penggunaannya agar bisa menabung untuk masa depan. Selesai dari supermarket, kami mampir ke tempat penjualan DVD-DVD bajakan, lalu membeli beberapa keping yang mungkin bisa dijadikan sumber hiburan berdua. Kalau sedang royal, sedang ada rezeki tambahan atau momen-momen tertentu, kami memanjakan diri kami dengan menonton langsung di bioskop. Berdua di malam minggu. Disambung dengan makan enak di tempat yang agak mewah. Lalu pulang agak larut, menikmati lampu-lampu kota di malam hari. Menikmati masa-masa pacaran setelah menikah.

Ahh... dan ketika malam semakin larut, aku menyaksikan istriku tertidur di sampingku. Matanya terpejam. Kusempatkan memandangi wajahnya beberapa menit, mensyukuri kehadirannya di sisiku. Lalu aku akan berbaring dan tertidur juga, sambil tak henti-hentinya mengucap syukur pada Tuhan. Atas kehidupan yang sederhana, namun bahagia.

...

Ahh... membayangkan hal semacam itu membuatku ingin segera menikah!
Tapi hal itu belum mungkin.
Sekarang.
Tapi aku bisa mempercepat kedatangannya.
Sebelum menikah, aku harus kerja, minimal kerja. Sebelum kerja, aku harus lulus. Sebelum lulus, aku harus sidang. Sebelum sidang, aku harus forum. Sebelum forum... aku harus menyelesaikan pembahasan skripsi. And I'm doing it.
Ah, ternyata cita-cita itu tak begitu jauh! Aku tidak bisa tidak merasa bahagia karenanya. Dan aku tidak bisa tidak memikirkan orang yang sesuai dengan gambaran ideal istri idamanku itu. Dan bisa kubayangkan wajahnya di situ.


Puteri... maukah kau menikah denganku?


Mungkin pertanyaannya belum bisa kusampaikan dengan sungguh-sungguh sekarang. Masih ada beberapa langkah yang harus kutempuh.

Dan imajinasi mengenai kehidupan rumah tangga itu sendiri mampu membuatku lebih bersemangat untuk menjalankan rencana-rencana hidupku. Selesaikan skripsi, and it'll be one step closer! YYYOOOSSSHHH!!!


FUTURE, HERE I COME!


Kamis, 21 Februari 2008

... Hanya Melakukan yang Terbaik


Pagi ini aku terbangun oleh bunyi alarm ponselku: Turn Over a New Leaf. Panji masih terlelap nyenyak. Windu masih duduk di depan komputer Panji sejak aku terlelap jam dua—membuka-buka komik bokep. Aku merenggangkan tubuh. Masih jam lima lebih sedikit; masih satu jam lebih perjanjianku dengan Sang Puteri. Tak lama setelahnya ponsel Esiaku berbunyi. Sang Puteri menelepon untuk membangunkanku, seperti yang kuminta. Tapi aku sudah bangun.

Jadi pagi ini, aku menjemputnya di depan rumah. Seperti biasa. Hanya kali ini, tujuannya bukan Jatinangor. Hari ini kami menuju Bandung. Aku pulang dan dia ada acara organisasi. Kebetulan sekali waktunya tak jauh terpaut. Dalam perjalanan, ia bercerita tentang banyak hal. Mendengarkannya bercerita di pagi hari bisa menjadikan hariku cerah hingga aku terlelap lagi nanti malam. Ia selalu melihat lurus ke depan, ke jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tak pernah melihatku. Tapi biar sajalah; kehadirannya di sampingku saja sudah cukup. Semua ceritanya yang ceria jauh lebih dari cukup.

Aku mengantarnya sampai ke tempat tujuan. Aku mengantarnya dekat sekali, niatku sambil mencari-cari seorang sahabat SMA-ku. Namun kemudian ia menjadi resah dan berkata,
”Di sini aja, jangan deket-deket! Malu nih gua.”
Aku menurunkannya tak jauh dari teman-temannya. Aku membantunya menurunkan barang-barang yang dibawanya dari rumah.
Lalu kupacu Blu pulang...

Kamu dengar tadi??? Kudengar sebuah suara, jauh dari dalam sana. Dari dalam diriku sendiri. Kamu dengar tadi, dia bilang dia malu???
Aku menghela nafas dalam. Iya, aku mendengarnya. Tentu saja.
Bagaimana bisa??? Bagaimana bisa, setelah semua yang kita lakukan, kita dianggap sebagai sesuatu yang memalukan? Kenapa, apa pun yang kita lakukan, salah, atau tidak cukup, di matanya??? Kenapa Pangeran yang menyakitinya itu tak pernah salah, tapi kita selalu salah? Bagaimana bisa?
Aku menghela nafas. Aku mendengarkanmu.
Sesaat suara itu terdiam. Tidakkah kita merasa sedih? Tidakkah kita menyesal?
Betul. Kita merasa sangat sedih.
Suara itu terdiam. Lama sekali.
Hey?
Kita merasa sangat sedih
, ia berkata.
Ya, kita merasa sangat sedih. Kita layak merasa sedih. Tapi... bukankah kita hanya melakukan yang terbaik? Bukankah kita hanya melakukan yang kita bisa—hanya memberikan yang bisa kita berikan?
Suara itu terdiam lagi.
Haruskah kita menyesal setelah memberikan yang terbaik?
Suara itu tidak bersuara lagi.
Anyway we’ve got our own agenda to do now. Shall we go?

Kupacu Blu melewati jalanan Dago yang ramai di pagi hari.


***


Malam hari itu juga, aku kembali bertemu dengannya. Lepas dari kenyataan bahwa aku hanya sosok bayangan baginya, aku merasa senang. Kami bersantap malam di sebuah tempat makan di Jalan Jawa. Berlima. Bisa kulihat jelas aktifitasnya seharian telah menguras tenaganya. Apalagi malam sebelumnya ia juga bekerja keras. Kini bisa kulihat dirinya mulai layu; ia tampak begitu kuyu, lemas, dan rapuh. Ia mulai sakit.
”Aku antar pulang, ya?”
Kami menapaki jalanan malam dengan Blu.
Di tengah perjalanan itu, ia berkomentar, ”Padahal rumah lo udah deket, ya. Tapi lo bakal muter jauh dulu.”
Aku tersenyum mendengarnya. Banyak hal di dunia ini tidaklah rasional, Puteri...


Aku hanya ingin memanfaatkan kesempatan bertemu denganmu, sebaik-baiknya.
Karena setiap detiknya begitu tak ternilai;
I’d go miles and hours,
Just for extra chance to spend my time with you...


“Tidur aja.” Kupandangi wajahnya yang sayu. “Kayaknya kamu butuh istirahat.”
”Iya.”
Tapi ia menemaniku menatap jalanan malam dan lampu-lampu kota. Ia menemaniku berbincang-bincang ringan. Ah, aku menyukai kata-katanya. Suaranya. Sesekali kupandangi arloji. Berkali-kali. Melewati separuh perjalanan menuju rumahnya, arlojiku menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Ia memperhatikan gerak-gerikku. "Ada janji, ya?" Tanyanya.
"Ah... iya." Aku tersenyum. "Ada janji. Di atas jam sembilan malam."
Kubiarkan Blu meluncur.
Ya... 9 pm onwards. Ada janji di atas jam sembilan malam.
Sebuah janji untuk memenuhi janjiku untukmu. Ingat perbincangan kita malam itu?
Kau akan mendapatkan jawabannya.
Segera... aku janji. Segera...

Pukul setengah sepuluh malam. Aku tiba di rumah dan langsung kuserbu laptop di atas meja. Kutatap layar itu nanar. Ayo... di mana kau? Jangan tinggalkan aku dulu. Koneksi internet telah tersambung, jendela YM telah terbuka. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Lalu kulihat dirinya di antara nama-nama lain. Sang Pangeran. Masih bersinar di ujung sana. Menunggu.
"Maaf. Aku baru pulang." Aku menyapanya.
"Iya." Kami hanya berbasa-basi pendek. ”Ada apa?”


Ya, ini tentang Sang Puteri. Tentang ia yang dulu kau tinggalkan sendiri. Tentang ia yang kutemukan penuh luka... dan masih saja terus mencarimu.
Aku mohon bantuanmu.
Katakan padanya, kenapa kau meninggalkannya. Katakan yang sebenarnya.
Pertanyaan itu telah menjebaknya diam di tempat.
Berikan dia jawabannya, dan lepaskan ia dari masa lalunya.
Aku mohon padamu... aku ingin melihatnya terbebas.
Dan tersenyum cerah.


Aku menyalin pembicaraan itu dan mengirimkannya pada Sang Puteri. Sesuai janjiku padamu, Puteri. This is the very least I can do for you.


Karena aku mencintaimu.


Dan kurasakan sakit mendentam-dentam. Seperti genderang perang yang ditabuh dari dalam dada. Kudengar lagi suara itu, suara yang datang jauh dari sana... dari kedalaman.

Kenapakah Sang Pangeran itu bisa begitu berarti di matanya? Kenapa kita tidak bisa?
Kupejamkan mata dan kuhela nafas dalam. Aku mendengarkanmu.
Bagaimana bisa, apa pun yang telah kita lakukan tidak pernah cukup? Bagaimana bisa Pangeran yang memyakiti dan mengabaikannya itu selalu mendapatkan hatinya, sementara kita... kita... kita selalu diabaikan?

Aku mengerti. Aku mendengarkanmu.
Sesaat suara itu terdiam. Layakkah kita merasa sedih? Bolehkah kita menyesal?
Ya... kita layak merasa sedih.
Aku berhenti.
Suara itu diam.
Kita layak merasa sedih. Tapi kita melakukan yang terbaik, bukan begitu?
Suara itu masih diam.
Kita hanya melakukan yang terbaik, meskipun itu menyakitkan, bukan begitu? Kita layak bersedih, tapi kita tidak layak menyesal; kita layak bangga. Karena bahkan sehancur ini pun, kita masih bisa bertahan dan memberikan yang terbaik dari diri kita.
Kita tidak lari. Ya, kita layak bersedih, dan kita layak merasa bangga.
Suara itu tidak bersuara lagi.


***


Ketika malam melarut dan suara-suara menghilang dari dunia, kubaringkan diri di atas ranjang. Kutatap langit-langit kamar yang remang-remang.
Suara itu tidak muncul lagi.
Aku tersenyum.
Aku merasa sedih, itu betul.
Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku.
Namun selama aku masih bisa melakukan yang terbaik, aku tak perlu menyesali apa-apa. Aku layak merasa bangga.
Aku tersenyum lagi. Dan kuteringat masa-masa yang telah kulalui bersamanya dalam satu hari. Ketika ia bercerita banyak, penuh semangat, dalam perjalanan ke Bandung di pagi hari. Ketika akhirnya ia meminta maaf mengenai kata-katanya sebelum turun—pun aku sudah bisa menerimanya. Ketika aku melihatnya duduk beristirahat di jok Blu, sementara kami berbincang-bincang ringan berdua. Ketika ia menguasai ponselku dan berkata, aku boleh memilih lagu. Dan teriakan senangnya saat sebuah lagu bagus dari Fall Out Boy terdengar dari speaker butut Blu. Ada begitu banyak fakta menyakitkan yang melayang-layang, fakta bahwa aku tak bermakna banyak untuknya; namun ada ribuan detik pengalaman indah yang kuserap, dan mengkristal menjadi kenangan manis. Ah, andai ia bisa merasakan detik-detik itu semanis aku merasakannya...

Aku menarik selimutku sampai ke leher. Akan ada lebih banyak lagi kenangan manis, kalau aku bersabar... dan tetap memberikan yang terbaik. Kupejamkan kedua mata dan tersenyum. Aku siap tertidur nyenyak.


Selamat malam, Puteri.


Jumat, 15 Februari 2008

14 Februari 2008


14 Februari, Hari Kasih Sayang. Begitukah? Tanggal 14 Februari ini, aku malah memulai hari dengan dada sesak dan kepala penat. Malam sebelumnya, aku baru saja dihajar muntahan emosi--kekesalan yang selama ini terpendam akhirnya menyembur keluar ketika keran itu kubuka. Aliran derasnya membuatku tercabik-cabik. 14 Februari, Hari Kasih Sayang. Aku tersenyum getir. Lamat-lamat aku mulai bisa mengingat penyebabnya. Kerinduan yang mulai menyiksa. Kerinduan yang bertepuk sebelah tangan. Aku mulai mencari lagi, apa yang salah. Muntahan itu keluar. Bagus, tapi ternyata aku tak cukup kuat. Aku mulai seperti orang yang mengasihani diri sendiri. Aku menjadi terlalu sensitif. Lalu semuanya tak menjadi seperti yang diharapkan... dan apatisme mulai berubah menjadi amarah. Sebuah kesalahan bodoh, selalu merupakan kesalahan bodoh. Aku tersenyum getir. Kukumpulkan nyawa sambil duduk di depan meja kerja dan ingatanku--akhirnya--terbanjiri hal lain. Panji. Aku meneleponnya dengan pulsa Esia yang tersisa--sedikit yang tersisa dari badai emosional tadi malam.


Selamat Ulang Tahun Panjita...


Dan pulsaku habis di tengah pembicaraan.

Aku meng-SMS Panji dengan IM3-ku. Pulsa gw pas abis. Tidak lama kemudian HP Esiaku berdering. Ah, nelepon balik dia. Tapi nama yang tertera di layarnya membingungkanku. Rizky???


Zal, ikutan ngasih surprise ke Panji gak???
Kita udah di Sayang.
Ditungguin secepetnya.


What the hell??? Pagi yang muram itu mendadak rusuh. Aku berlari-lari menyambar handuk, aku bergerak cepat di bawah pancuran, busa-busa sampo terciprat ke mana-mana, ke dinding dan ke bak air, dan aku memperlakukan gigi-gigiku seperti lantai kamar mandi. What the hell??? Ternyata Blu masih kotor sekali. Sambil kupanaskan mesinnya, kukemoceng tubuhnya sekenanya. Debu-debu beterbangan, seperti aku sedang membongkar sebuah gudang tua. Ah, syukurlah bensinnya masih banyak! The only good thing that morning. Dengan Nadia di sampingku, aku memacu Blu menuruni gang, menaiki tanjakan, dan... what the hell??? Lalulintas macetnya minta ampun. Aku sedang buru-buru... aku sedang buru-buru... jelas Dewi Fortuna tidak sedang berpihak padaku. Kepalaku terasa penat. Lagi. Aku mengambil keputusan: tol Pasteur! Lebih mahal di dompet tapi jauh lebih murah untuk kejiwaan. Aku mulai menyelip-nyelip di jalanan dengan gila (hingga Nadia harus mengumpat, "Setan!"). Kami melewati fly over Surapati, dan... wah, jalannya jauh lebih lancar dan lega. Begitu juga aku. Tiba-tiba dunia terasa indah. Kubiarkan persneling di gigi 5 dan kubiarkan Blu meluncur seadanya. Kulihat jam, tak mungkin juga mengejar acara surprise, jadi kubiarkan diriku bersantai dan berbincang banyak dengan Nadia sepanjang perjalanan. Kuturunkan ia di Pangdam Jatinangor dan kulanjutkan perjalananku ke kosan Panji. Wow, kamar itu penuh. Sosok hitam manis menggodaku dari kursi. Perutku berbunyi: aku baru ingat, aku belum sarapan. Sementara yang lain asyik mendengarkan rekaman siaran Gabriela Valentino dari komputer Panji, aku melahap sosok tart hitam itu seperti orang yang kelaparan setelah tersesat di hutan selama 3 hari. Aku mengeluarkan permainan pamungkasku: kartu. Kami bermain Poker Jawa sambil tertawa-tawa.

Lalu HP Esiaku berbunyi. Dua kali. Aku menatap layarnya dan menatap nama yang tertera di sana. The Princess. Dua pesan yang setajam mata panah. Aku kembali teringat bagaimana aku memulai hari ini. 14 Februari, Hari Kasih Sayang. Haha. Bagiku, 14 Februari 2008, hari di mana aku dan orang yang paling kucintai, justru saling menyakiti.

What an irony.

Aku memandangi kartu-kartu yang kupegang. Tapi 14 Februari 2008 adalah ulangtahun Panjita yang ke-23. Semua orang bersukacita dan berbahagia.

Terngiang kata-kata Iwan saat memungut biskuatnya yang jatuh ke tanah di sebuah pos pendakian di Gunung Ciremai: What the fuck.

Aku melanjutkan permainan itu dengan bersemangat. I'm sorry I bothered you again, dear Princess. I'm sorry.

Dan ia kembali membalas. Ia meminta maaf karena telah berbuat kasar padaku.

Sementara menunggu Panji mandi, kutatap pemandangan di luar sana. Gunung Geulis, yang tersembunyi di balik kabut kelabu. Dan hujan mulai turun rintik-rintik. 14 Februari, Hari Kasih Sayang. Sudah berapa kalikah aku melaluinya? Aku teringat saat SMP, aku melaluinya dengan remuk-redam karena Mira melewatkannya bersama pria lain yang dipilihnya sendiri--aku hanya sosok yang ditinggalkannya di belakang, menyepi sendiri di kamar yang terkunci. Masa-masa awal SMA, aku memimpin pria-pria jomblo di kelas untuk bergantian berlari berkeliling sekolah sambil mengacungkan syal ungu--jomblo against Valentine's Day! Lalu, ketika akhirnya aku kembali melewatkan 14 Februari seorang diri pada pertengahan masa-masa kuliah, aku menjadi sinis. Hari Kasih Sayang. Omong-kosong. Aku melihat orang-orang merayakan saling keterikatan dan saling ketergantungan, bukan merayakan kasih sayang. Apa yang mereka tahu tentang kasih sayang jika mereka masih saling menjajah? Lagipula, menurutku, hari kasih sayang itu setiap hari. Bodoh benar hanya merayakannya satu hari setahun?

14 Februari 2008. Aku tersenyum getir. Lihat aku sekarang. Aku menjajah dan menyakiti orang yang sangat kucintai. Bahkan tak ada apa pun yang kurayakan: tak ada hubungan istimewa apa pun antara aku dengannya, tak ada perayaan, hanya ada saling menyesal dan saling meminta maaf. Haha, kasih sayang setiap hari??? Omong-kosong. Aku lebih kerap jadi penjajah. Lihat betapa spektakuler perkembangan diriku. Aku bahkan lebih bodoh dari orang-orang yang dulu kusebut bodoh. Hebat. Hebat.

Hujan di luar sana mulai berhenti, tapi muramnya tak juga pergi. Aku tahu, aku juga harus segera berhenti. Berhenti saling menyakiti. Berhenti saling menyakiti lagi, lalu saling minta maaf lagi, lalu saling menyakiti lagi, lalu saling minta maaf lagi, dan begitu seterusnya, seperti orang yang tak pernah belajar. I have to make it stop. I have to.

Ketika aku mengambil duit seorang diri, seusai nonton, aku meneleponnya.


Kamu di Jatinangor?
Kita pulang bareng ya? Aku juga di Jatinangor.


Dalam perjalanan kembali ke kosan Panji, aku menyempatkan diri mampir di Alfamart. Membeli satu batang coklat. Sebuah kebiasaan lama. Di kosan Panji aku minta selembar kertas dan meminjam sebuah balpoin. Aku menulis. Menuangkan semua yang tersisa dalam hati 14 Februari itu. Kurapikan surat itu bersama coklat yang kubeli. Dan aku menunggu. Waktu di tempat Panji selalu seringan kapas; aku selalu lega karenanya.

Malam itu, kami menapaki jalanan bersama Blu. Seperti biasa, ia duduk di sampingku. Namun kesan yang kudapatkan berbeda dari yang pernah kuharapkan. Aku tersenyum getir, kerinduan yang sempat membuncah telah berganti dengan penyesalan dan rasa bersalah. 14 Februari 2008 dan malam sebelumnya, aku telah merusak semuanya. Kami makan malam di sebuah tempat makan tak jauh dari rumahnya. Aku memandanginya. Aku memandangi wajahnya. Aku mengamati gerak-geriknya. Aku menyimak suara dan kata-katanya. Ia balas menatap padaku dan tersenyum.

Aku mengepalkan tangan dan menghela nafas. Aku masih ingin sekali memilikinya. Ingin sekali. Dan keinginan seperti itu terus-menerus membuatku menyakitinya, dan menyakiti diriku sendiri karena seolah tak mungkin menjadi nyata.

Sebelum ia turun, aku menyerahkan coklat dan surat itu. Aku menyaksikannya menghilang di kegelapan malam.

Tengah malam, ketika semua penghuni Arcamanik 53 tumbang, aku sendiri di depan laptop, di ruang tengah, mengerjakan pembahasan skripsi. Aku tidak bisa tidak berpikir. 14 Februari, hari kasih sayangkah? Seharusnya, hari kasih sayang itu setiap hari, jadi kenapa kita hanya merayakannya pada tanggal 14 Februari--bagi yang merayakannya? Bagiku sendiri, 14 Februari 2008 adalah campuran ironi dan tragedi. Ia adalah puncak rasa sakit. 14 Februari 2008 aku menyadari, aku lebih banyak menyakiti ketimbang mencintai, dan aku masih saja ingin memilikinya, ingin sekali, hingga aku telah mengikatkan diriku padanya. Tapi 14 Februari 2008 aku juga semakin menyadari, semua proses saling-menyakiti dan saling-minta-maaf itu harus berhenti. Jadi, bagiku, 14 Februari 2008 bukan hari kasih sayang; ia adalah masa yang cukup menyakitkan, namun ia juga tonggak bagiku untuk belajar mencintai--kalau bukan belajar untuk saling mencintai.

Ah, mungkin saja, rasa sakit ini, siklus saling-menyakiti dan saling-minta-maaf ini, adalah jalan yang harus kutempuh untuk bisa mencintai dengan betul? Aku mulai tersenyum lagi. Ya, itu mungkin satu-satunya jalan menuju kemampuan untuk mencintai. Ah, selalu ada makna di balik setiap peristiwa kehidupan: selalu ada makna besar di balik semua penderitaan.


Everyday
With every worthless word we get more far away
The distance between us makes it so hard to stay
But nothing lasts forever, but be honest babe
It hurts but it may be the only way

Nothing Lasts Forever
Maroon 5

Selasa, 12 Februari 2008

Berdamai dengan Hati


"Katanya, kalau kita tidak menyibukkan diri dengan hal-hal besar, kita akan disibukkan dengan hal-hal kecil.
"


Itu penggalan pesan yang kuterima pagi ini, saat aku menyelesaikan jogging rutinku di Sabuga. Sebuah pesan balasan atas pesan yang kukirimkan pagi sekali, sebelum aku pergi ke lapangan. Aku bilang, aku kangen dia. Aku kangen melewatkan waktu bersamanya.

Dan itulah jawabannya.

Aku tidak bisa tidak mengernyitkan dahi. Salahkah merasa kangen? Berdosakah memiliki perasaan yang jujur? Hingga ia dianggap sebagai "hal kecil" yang harus disingkirkan dengan "hal-hal besar"?

Ya, memang jika kita tidak menyibukkan diri dengan hal-hal besar, kita akan disibukkan dengan hal-hal kecil. Namun haruskah kita menyibukkan diri? Mengapakah kita harus menyibukkan diri? Mengapa kita harus selalu mengisi pikiran kita dengan kesibukan-kesibukan dari luar sana, hingga kita tak punya waktu lagi untuk mendengarkan perasaan kita--mendengarkan kejujuran yang diungkapkan oleh hati kita? Salahkah memiliki perasaan, salahkah mendengarkan hati? Apakah perasaan akan kaugolongkan menjadi "hal kecil"?

Namun hati adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita. Ia yang menjadikan kita seorang manusia. Tapi entah kenapa, seolah kita memusuhinya dengan sebutan "hal kecil". Padahal ia tak pernah berbohong, ia selalu jujur; dan kita hanya menipu diri kita sendiri!

Kita sadar, karena hati-lah kita masih menjadi seorang manusia.
Namun kita terlalu angkuh, atau takut, mendengarkan suaranya. Kita mengharapkan kebaikan, dan tak sepenuhnya siap menghadapi kejujuran. Oh, ya, kita berusaha mendengarkannya dengan seksama saat ia menyanyikan kebahagiaan dan sukacita. Namun ketika ia menceritakan rasa sakit, dukacita, atau penderitaan, kita menutup telinga kita. Ah, tapi suaranya masih juga terdengar! Jadi kita pun menenggelamkan diri kita dalam riuh kesibukan-kesibukan--pendengaran kita pun sesak oleh kegaduhan hal-hal besar! Kita pun tak lagi mendengarkan cerita duka dari hati. Betapa hal-hal besar merupakan candu yang menyenangkan. Seperti morfin yang menghilangkan rasa sakit, kesibukan-kesibukan besar membuat kita tak perlu lagi mendengar kesedihan yang diucapkan oleh hati. Namun morfin tidaklah menyembuhkan, dan hati hanya membicarakan kejujuran. Kita kemudian mendapati bahwa kita tidak hanya kehilangan kesedihan dan dukacita, kita juga kehilangan kebahagiaan dan sukacita. Kita tak lagi dapat mendengarkan sabda hati, karena candu membuat kita mati rasa. Kita menjadi hampa. Seperti robot. Kita berusaha terus meningkatkan dosis candunya untuk menyingkirkan kehampaan itu, tapi seiring dengan hal itu, semakin tumpul pula perasaan kita.

Aku sadar, karena hati-lah aku masih menjadi seorang manusia.
Maka, alih-alih membungkam suaranya, aku mencoba berdamai dengannya. Aku tahu jalanku masih panjang, tapi inilah keputusanku: aku takkan lagi membodohi diriku sendiri. Hati selalu jujur, dan aku akan menjadi pendengar setianya. Aku akan menerima semua yang dikatakannya: sakit, dukacita, derita, bosan, marah, sedih, berharap, cinta, bahagia, sukacita, dan banyak lagi. Bahkan ketika aku berjalan melalui kesibukan, aku masih akan setia mendengarkan suaranya. Sesekali. Aku akan berdamai dengannya. Karena ia adalah bagian hidup yang tak terpisahkan.

Maka Puteriku,
Aku mempunyai kesibukan, aku memiliki sejumlah aktifitas. Aku mengejar kehendak dan cita-citaku sendiri.
Namun bahkan melalui semua itu, aku akan tetap menyayangimu--dan merindukanmu selalu.
Selama itulah yang dikatakan oleh hatiku, ia yang menjadikanku seorang manusia.

Bandung, 12 Februari 2008,



- Rizal

Rabu, 06 Februari 2008

Cintaku Bicara dengan Hati


Oh Puteriku,
sudah berapa lamakah kita tak saling bertemu?
Sesaat kusendirian menapaki jalanan malam, hanya dengan musik dan Blu.
Dan aku ingat kamu.
Kamu yang biasa duduk di sampingku, kamu yang kerap tersenyum padaku,
kamu yang bersamaku, melewati kilometer demi kilometer jalanan di kota Bandung.

Hei hei,
Aku merindukanmu.

Dan kubayangkan saat pulang nanti, aku 'kan menghubungimu.
Sambil berbaring di atas kasur busa, ditemani bantal guling berwarna biru.
Dan kita 'kan berbincang panjang, banyak, dan hangat; karena begitu banyak hari t'lah kulalui tanpamu.
Dan kubiarkan kata-kata mengalir deras hingga rindu menyusut sekecil dadu.
Tapi, ah... kenyataannya tidak seperti itu, bukan begitu?
Lebih banyak waktu yang kita lalui dalam bisu.
Dan telepon pun tak kuasa obati rindu.

Kini,
Sementara kulintasi jalanan malam seorang diri,
Aku mulai mengerti, apa yang sebenarnya, tengah kucari.
Aku hanya ingin melewatkan waktu bersama engkau yang aku cintai.
Berada di dekatmu, meski harus saling terdiam sepi.
Meski kau terlelap nyenyak sendiri, dan aku hanya bisa memandangi.
Karena bahkan dalam kesunyian, cinta mengalir deras tiada henti.
hingga kata-kata yang terucap tak lagi menjadi penting.
Maka berhentilah mencari-cari, dan simaklah keheningan ini:
Dan akan kaudengar, cintaku bicara dengan hati.

Bandung, 6 Februari 2008,



- Rizal

Jumat, 01 Februari 2008

Seperti Aku Mencintai Kehidupan


Hari ini aku jadi juga datang ke pameran itu. Bahkan tanpamu, bahkan tanpa pria yang beruntung itu. Langit mencurahkan rintik-rintik air saat aku meninggalkan rumah. Kami hanya bertiga. Aku jadi pelengkap. Mereka kerap berbicara banyak dan aku berdiri di luar lingkaran. Pengabaian. Entah kenapa tema utamaku itu bukan lagi masalah. Apa pun yang mereka bicarakan, dan mereka lakukan, berdua; aku tak bisa terluka. Semuanya terasa hangat dan nyaman, bahkan di bawah rintik-rintik dari langit kelabu. Kami berkeliling menembus keramaian, menyisir tumpukan-tumpukan buku dengan jeli. Menertawakan poster bergambar lucu. Membicarakan judul-judul buku yang menggelitik. Saling kehilangan dan saling mencari. Tak ada satu hal pun yang bisa menjadi salah. Setiap detik yang kulalui dalam kebersamaan itu, adalah anugerah...

Semua itu terasa menyenangkan... tanpamu.

Aku tertegun.

Bahkan jika pria yang beruntung itu tetap hadir bersama kami sore tadi, aku akan tetap merasa nyaman dan senang. Aku mungkin akan memanggilnya dengan nama yang lucu. Atau menunjukkan padanya buku-buku yang bagus. Mungkin senang juga ada pria lain bersama kami. Menambah jumlah orang. Dan setiap detik yang kami lalui bersama akan tetap menjadi kenangan yang kecil dan sepele, tapi indah--one of the so many little wonders in my lifetime.

Namun, ketika kubayangkan kehadiranmu, detik-detik itu mulai berubah. Semua yang mengalir dengan riang mendadak bergerak pelan dan menyakitkan. Seperti longsoran salju. Kehadiranmu seperti lubang hitam yang menghisap semuanya--menghisap nyamannya kebersamaan dan hanya menyisakan ketakutan. Membayangkanmu berada di tengah kami saja membuatku enggan. Aku merasa sakit. Aku tak sanggup jika harus menyaksikan kau akrab dengannya--dan meninggalkanku di luar lingkaran. Sebuah pengabaian yang sanggup mengubah butir-butir gula dalam setiap detik berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk-nusuk--kala kau hadir dalam ruang dan waktu yang sama denganku.

Inikah cinta?
Aku tersenyum getir.
Bukan, inilah kebodohan.

Cinta adalah ketika aku mendampingimu menapaki jalanan malam dan membuatmu tersenyum oleh pemandangan. Cinta adalah ketika aku menjadi besar--begitu besar untuk menampung semua curahanmu, dan menjadi semakin kuat untuk menularkan semangat padamu. Cinta adalah ketika aku mempercayakan semua lika-liku kehidupanku padamu, dan bahagia melihatmu tersenyum membaca semua itu. Cinta adalah ketika aku melihatmu terpejam dalam damai, dan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sampingmu, tetap ada meski kau tak tahu. Cinta adalah kebahagiaan, cinta adalah kehidupan.

Tapi lihat aku sekarang--aku merana, aku menderita! Aku sakit!

Pernah aku begitu mencintaimu. Adakalanya pula, di sela-sela waktu tertentu, aku begitu mencintaimu, hingga aku begitu kuat, aku tak bisa tersakiti, bahkan oleh kematian. Namun kerap pula cahayanya meredup ketika bayangan hitam menghantui--bayangan bahwa aku tidak dicintai. Bayangan bahwa pria lainlah yang kau cintai, sementara aku hanyalah sosok yang tak pernah ada dalam hatimu. Aku selalu berdiri di luar lingkaran hatimu. Dan rasioku mulai bertanya: mengapa semua yang kuberi tidak berbalas? Mengapa semua yang kuberikan, tak bisa membuatnya melihatku? Mengapa aku begitu tidak berarti, mengapa aku begitu tidak bernilai? Dan masa-masaku denganmu pun berubah menjadi ketakutan: akankah aku diabaikan lagi? Haruskah aku melihatmu menyanding pria lain--dan aku tetap berada di lingkaran luar, hanya bisa menyaksikan dengan cemburu yang menusuk-nusuk? Haruskah aku melihatmu tidak melihatku? Bayangan-bayangan itu menaungiku, menjadikanku enggan dan ketakutan. Aku takut kau abaikan.

Lihat, lihat aku sekarang. Aku bukan seorang pencinta, yang menjadi utuh dengan memberi dan menjadi.
Aku seorang pedagang, yang menghitung untung dan rugi, dan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Malam itu, setelah membantu temanku yang lain dengan proyek buku-buku, aku menapaki jalanan malam seorang diri. Aku bertanya dalam hati. Ke manakah jalan untuk kembali menjadi seorang pencinta? Di manakah aku harus berbelok untuk mencapai ketulusan itu? Aku seorang pengembara yang tersesat, dan tengah mencari jalan pulang.

Puteriku, aku ingin mencintaimu. Kau pernah menjadi Surgaku, dan kadang kau masih demikian bagiku. Takkan kubiarkan kau menjadi Neraka. Kan kutemukan jalan itu--jalan untuk menyingkapkan bayangan-bayangan hitam, untuk seterusnya kembali pada cahaya. Cahaya yang tiada berbatas, cahaya yang takkan pernah habis kuberi dan kucurahkan padamu, dan pada dunia. Cahaya yang kunamakan cinta.

Aku ingin mencintaimu dengan utuh. Seperti aku mencintai kehidupan.

Bandung, 1 Februari 2008,



- Rizal