Sabtu, 24 Mei 2008

Melepaskan


Let it go
Let it roll right off your shoulder
Don’t you know
The hardest part is over
Let it in
Let your clarity define you
In the end
We will only just remember how it feels

Sudah sering aku menerima orang yang curhat mengenai kisah cinta mereka. Belajar bersama mereka makna dari cinta, hubungan, kehilangan, dan kekecewaan. Namun baru kali ini aku bisa melihat sebuah potret yang utuh. Sang pria, sahabatku, percaya aku bisa mencerna keluhan-keluhannya menjadi solusi konkrit. Sang wanita, pasangannya, percaya aku sebagai orang psikologi mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya mengenai manusia. Mereka berdua insan yang saling mencintai. Namun mereka saling kehilangan dan sama-sama menderita. Dan mereka datang padaku.

Bagi sang pria, wanita yang disayanginya memberinya kenyamanan dan kedamaian. Bersamanyalah sahabatku itu membayangkan keluarga yang harmonis di masa depan. Istri yang menyambutnya di rumah ketika ia pulang. Tempatnya bermanja-manja dan melepas lelah setelah seharian bekerja di luar sana. Sosok yang menjadi pendampingnya menjalani hidup yang panjang hingga akhir hayat. Namun kemudian perhatian sang wanita membuatnya bosan. Ia pernah mengenal wanita yang justru memberinya tantangan untuk selalu berkarya, dan ia merindukan wanita seperti itu. Wanita yang tak pernah membuatnya bosan, meskipun tidak bisa memberikan kenyamanan. Sahabatku itu merindukan wanita seperti itu, tapi juga menginginkan kenyamanan. Ia menginginkan keduanya. Ia menginginkan wanita yang bisa memberinya kenyamanan sekaligus tantangan. Andai wanita yang bersamanya sekarang bisa memuaskan semua keinginannya itu...

Dan sang wanita. Sosok yang dulu sangat mandiri hingga sahabatku itu mendekatinya, memanjakannya. Ia terlena. Ia mencurahkan seluruh perasaan dan perhatiannya untuk sahabatku itu, tapi kemudian sahabatku itu menjadi bosan. Betapa tidak adil! Saat ia sudah sangat terbiasa dengan perlakuan istimewa, pacarnya mengatakan bosan dan ingin pergi dulu. Betapa tidak adil! Andai pria itu bisa lebih memahaminya. Andai pria itu bisa lebih bertanggung jawab, dan menyayanginya seperti dulu, seperti ia masih menyayanginya hingga sekarang...

Dan aku. Aku menjadi penonton melalui layar laptopku. Menyaksikan mereka yang masih saling menyayangi dan saling membutuhkan. Namun saling kehilangan dan sama-sama terluka.

Tidakkah menakjubkan bagaimana sepasang manusia yang saling menyayangi akhirnya dapat saling mengikat, saling menjajah, dan akhirnya saling melukai? Tidak ada kebahagiaan yang tersisa dalam hubungan mereka sekarang. Dulu mereka adalah pasangan yang berbahagia, yang menikmati setiap waktu yang mereka lalui bersama. Ke manakah kebahagiaan itu pergi? Mereka berharap bisa kembali pada masa-masa indah itu lagi, masa-masa indah yang mereka jalani bersama. Namun tentu saja dunia telah berubah, dan akan selalu berubah. Hingga mereka saling kehilangan. Saling mempertanyakan. Saling berharap, dan saling menuntut. Namun masa lalu takkan pernah kembali. Kenangan hadir hanya untuk dihargai keindahannya, tapi bukan untuk diulang. Kenangan akan selamanya menjadi bagian dari diri mereka; tapi mereka berdua harus menciptakan masa-masa indah yang baru. Karena dunia terus berubah, mereka juga terus berubah, dan masa-masa yang harus mereka lalui bersama pun terus berubah.

Sang wanita berkata padaku, ia sudah tidak bisa mengenali dirinya sendiri lagi. Ia tak tahu lagi apa yang diinginkannya. Namun aku tahu, jauh dalam hatinya, ia berharap semuanya bisa menjadi seperti sediakala. Sementara sahabatku, terdera rasa bersalah, memutuskan untuk berusaha lebih keras mempertahankan hubungan. Selama ini keadaannya memang tidak adil. Sang wanita sudah berusaha sangat keras, dan sahabatku itu terlalu cepat menyerah. Sudah saatnya ia berkorban lebih banyak. Namun, cinta tidak datang dari pengorbanan. Saat mereka saling jatuh cinta dulu, mereka tidak saling berkorban; mereka saling berkelimpahan dan mereka saling berbagi.

Aku berkata, “Lepasin aja, Bro.”

Sahabatku itu membalas. “Lepasin?”

“Lepasin. Nggak usah berusaha apa-apa. Karena dulu saat pertama kali jatuh cinta, lu nggak berusaha jatuh cinta sama dia. Saat dulu lu berbahagia dengan dia pun, lu nggak berusaha untuk berbahagia, atau berusaha mengulang masa indah apa-apa. Semuanya dateng gitu aja.”

“Tapi bukannya kita harus berusaha?”

“Dulu kalian berbahagia karena saling menemukan dan menjalani semuanya dengan alami. Tanpa rencana dan tanpa harapan apa-apa. Sekarang kalian terpaku pada kebahagiaan yang sudah berlalu. Sekarang kalian saling tergantung, saling mengikat, dan saling menyakiti. Kalian berencana dan berharap bisa mendapatkan lagi kebahagiaan. Tapi untuk bisa berbahagia seperti dulu, kalian harus saling menemukan lagi. Dan untuk saling menemukan lagi, kalian harus saling melepaskan dulu. Kalian harus bebas lagi, sebebas dulu saat kalian saling jatuh cinta pertama kali. Kalian harus berusaha, tapi bukan berusaha untuk menjaga hubungan; kalian harus berusaha untuk saling melepaskan dan saling membebaskan diri.”

“Tapi gua gak mau kehilangan dia.”

“Jangan khawatir. Kalau dia emang yang terbaik buat lu, kalian pasti akan saling menemukan lagi. Dan kalian pasti bisa berbahagia bersama-sama lagi, dan lu pasti bersyukur. Tapi kalo kalian nggak saling menemukan lagi, lu bakal saling menemukan dengan yang terbaik. Dan saat itu, lu juga pasti bersyukur.”

Agak lama sahabatku itu terdiam. “Ah, itu bikin lega. Thanks a lot, Bro.”

Entah apa dia benar-benar mengerti maksudku atau tidak. Aku tersenyum menatap pesannya di layar laptop. Tersenyum getir.


***


Tersenyum getir, karena saat aku menceramahinya, aku menampar diriku sendiri. Melalui mereka aku bercermin dan melihat bayangan buruk rupa: bayanganku sendiri. Entah apa yang orang-orang lihat dariku hingga mereka percaya padaku. Tapi aku sendiri bukan orang yang terbilang berhasil dalam percintaan. Bukan hanya karena sampai sekarang aku masih menjomblo. Satu setengah tahun, aku selalu membela diri dengan kedok “kesetiaan”. Namun aku tahu, jauh di baliknya, aku hanyalah orang yang belum sanggup melepaskan.

Satu setengah tahun yang lalu, aku mengalami masa-masa yang amat menyenangkan dengan Sang Puteri. Aku terlena. Lalu aku pergi diklat... dan mendapati dirinya sudah menghilang saat aku pulang. Aku merindukan masa-masa itu, masa-masa indah bersamanya sebelum aku pergi diklat. Kerinduan tumbuh menjadi harapan, harapan tumbuh, mengembang, membesar, dan menghimpitku. Menyesakkan. Dan kemudian ia mengatakan padaku, aku tidak pernah kehilangan apa-apa, karena sejak awal aku tidak memiliki apa-apa. Cintanya hanyalah bayangan semu; cintaku padanya bertepuk sebelah tangan.

Apakah yang harus kulakukan agar aku bisa kaucintai, Puteri?

Satu setengah tahun. Naik dan turun. Masa-masa menyenangkan bercampur-baur dengan kekecewaan yang mendalam serta perselisihan yang keras. Aku ingin memenangkan hatinya. Aku ingin membuatnya juga menginginkanku sebanyak aku menginginkannya. Namun semua itu tak pernah menjadi lebih dari sekadar angan-angan. Aku tak pernah bergerak ke mana-mana. Satu setengah tahun aku berlari di tempat. Aku tak bisa meraihnya, mendapatkannya, dan menjadi lebih dekat dengannya. Namun aku juga tak bisa melupakannya, karena ia juga tak pernah benar-benar pergi jauh.

Satu setengah tahun aku terjebak dalam lingkaran setan, berputar-putar tanpa arah. Tidak pernah ada kebahagiaan yang nyata, karena setiap rasa senang hampir pasti akan diikuti oleh kekecewaan, dan kekecewaan menyebabkan tuntutan, dan tuntutan menyebabkan perselisihan, dan dalam perselisihan kami saling melukai, kami saling menyakiti. Ke manakah kebahagiaan yang dulu pernah kurasakan itu? Aku masih menyayanginya, aku tak ingin menyakitinya. Aku ingin berhenti. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, sebelum aku pergi diklat. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya membebaskan diri dari lingkaran setan itu. Aku tak tahu bagaimana caranya meraih kembali kebahagiaan itu.


***


Beberapa hari belakangan ini, aku sedang sangat menikmati masa-masaku dengan Sang Puteri. Menjalani momen-momen bersama dengan penuh sukacita. Berputar-putar di kota mencari bioskop yang masih memutar Iron Man, atau menyelesaikan berbagai macam urusan di banyak tempat. Menunggunya lama di tempat janjian, lalu melihatnya datang dengan pakaian berwarna mentereng. Memilih dan mengomentari barang-barang mewah yang terpajang di etalase-etalase mall. Lepas kendali di taman bermain, mengumpulkan sebanyak mungkin poin untuk ditukarkan dengan cinderamata. Makan malam dan saling mencoba menu yang dipesan. Melihatnya berdiri menunggu di tepi jalan. Mengantarnya pulang meskipun hanya sampai ke depan gang. Menghabiskan waktu bersama mengantri BBM jam tujuh malam... sungguh bukan hal-hal besar, hanya hal-hal kecil biasa. Namun setiap detiknya, setiap detiknya penuh oleh kebahagiaan.

Sebesar kebahagiaanku satu setengah tahun yang lalu, sebelum aku pergi diklat.

Aku tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Apakah akhirnya ia kembali menjadi seperti dulu, sebelum aku menghilang dua minggu dalam diklat? Apakah akhirnya ia mencintaiku juga? Semuanya masih menjadi misteri. Tapi satu hal yang pasti: semuanya terjadi begitu saja. Spontan. Tanpa perencanaan apa-apa, tanpa pengharapan apa-apa, tanpa usaha apa-apa.

Aku menemukan kembali kebahagiaan itu, kebahagiaan yang telah lama kucari-cari.

Justru ketika akhinya aku mulai menyerah, ketika aku mulai melepaskan segala upaya, segala sesuatunya berubah menjadi alamiah, menjadi luwes, mengalir, senantiasa berubah, dan karenanya senantiasa menjadi baru. Tiba-tiba saja, cintaku menjadi semurni saat aku jatuh cinta padanya pertama kali, satu setengah tahun yang silam. Demikian pula momen-momen yang kulalui bersamanya; semua terasa begitu menyegarkan, seolah aku baru saja mengalami semuanya untuk yang pertama kali.

Sesungguhnya kebahagiaan selalu hadir bersama sesuatu yang baru. Dan karena dunia senantiasa berubah, segala sesuatunya selalu menjadi baru, dan kebahagiaan pun tak pernah ke mana-mana. Ia selalu hadir dalam setiap detik yang aku lalui. Namun untuk meraihnya, aku harus membebaskan diriku dulu. Melepaskan semua ikatan, seindah apa pun itu. Hanya dengan meninggalkan sangkar emas aku dapat terbang bebas, merasakan kebahagiaan hidup bersama alam raya.

Aku tersenyum. Bahkan pengalaman beberapa hari belakangan ini pun telah berlalu. Ia menjadi kenangan yang hadir untuk dihargai keindahannya. Namun tak ada yang perlu diulangi. Karena dunia terus berubah, kami juga senantiasa berubah, dan masa-masa yang harus kami lalui bersama pun selamanya berubah. Tidak ada gunanya mengikatkan diri pada kenangan, atau pada harapan, atau pada status dan perjanjian apa pun... karena hanya dengan membebaskan dirinya manusia dapat merasakan kebahagiaan hidup, dan mensyukurinya.

Ditemani lagu Little Wonders dari Rob Thomas, aku berbaring di kasur. Memandangi langit-langit kamar yang remang-remang. Sudah kupegang salah satu kunci kebahagiaan hakiki. Semoga aku tak lupa lagi cara menggunakannya. Lepaskan segala keterikatan, bebaskan diri sendiri, dan aku akan menemukannya, menemukan kebahagiaan itu, dalam banyak hal yang aku alami. Aku tersenyum lebar.

Our lives are made
In these small hours
These little wonders
These twists and turns of fate
Time falls away
But these small hours
These small hours
Still remain

Kamis, 22 Mei 2008

Curhatan Seorang Calon Enumerator


Enumerator. Itu posisi kedua yang ditawarkan IMPACT padaku. Sebelumnya lembaga itu pernah menawariku posisi untuk data entry. Aku tidak suka bekerja semata-mata menginput data, jadi akhirnya aku menolak. Lain dengan enumerator. Tugasnya adalah turun ke lapangan mewawancarai para pengguna narkoba. Aku sangat tertarik. Aku ingin menjajal kemampuanku melakukan interview. Aku ingin menempa kemampuanku menghadapi orang-orang yang bermasalah. Tanpa pikir panjang aku segera menelepon koneksiku di IMPACT, "gwa daftar jadi enumerator!"

Dan terdaftarlah namaku dalam daftar calon enumerator.



***

Hari Rabu. Para calon enumerator berkumpul di markas IMPACT di Hasan Sadikin. Kami mendapatkan pelatihan selama dua hari berturut-turut. Hari pertama itu aku mengetahui bahwa kepala proyeknya adalah seorang dokter, dan calon-calon kolegaku adalah orang-orang dari Psikologi UNPAD dan Kedokteran UNPAD. Setelah penjelasan singkat mengenai penelitian dan pembekalan mengenai jenis-jenis narkotika, Dr. Shelly--sang kepala proyek--membagikan kami sebuah dokumen tipis. Aku melihat halaman demi halaman. Semacam kuesioner survey. Pada bagian depannya aku melihat judulnya. ASI-X. Dan di sampingnya... aku membelalak.

"Jadi ini ya panduan wawancaranya. Semua pertanyaannya harus ditanyakan..."

Formulir Wawancara. Aku tidak percaya ada panduan wawancara setebal itu. Aku teringat kuesioner-kuesioner rekan-rekanku yang sedang mengerjakan skripsi. Aku ingat protes karena kuesioner yang mereka buat tidak bersahabat dengan responden. Bahasanya kerap terlalu rumit untuk dipahami manusia normal. Atau yang lebih bikin senewen, kuesioner yang jumlah itemnya sampai ratusan, dengan beberapa item diulang-ulang, untuk mendapatkan validitas yang mengagumkan. Aku mengomel. Mahasiswa psikologi yang katanya mempelajari manusia, ternyata lebih tertarik dengan validitas alat ukur ketimbang dengan manusianya itu sendiri. Mahasiswa psikologi terlalu sibuk menentukan presisi hingga lupa untuk berempati.

Sulit dipercaya, aku menemukan masalah yang sama di lembaga multinasional sekelas IMPACT.

Dr. Shelly menjelaskan pada kami caranya menggunakan panduan tersebut. Jawaban hasil wawancara diskor secara numerik. Aku teringat panduan observasi seorang rekanku di Psikologi. Aku ingat rekanku itu menjelaskan, data hasil observasi dicantumkan dalam bentuk turus. Panduan tersebut mengundang banyak pertanyaan dari para calon observer. Aku ingat aku menyarankan, lebih baik pengisian diganti dengan kalimat deskriptif, alias data kualitatif. Data kualitatif bisa mencakup banyak hal situasional. Data kualitatif bisa dikonversi ke dalam bentuk numerik belakangan. Data kuantitatif alias numerik, di sisi lain, akan menghilangkan banyak data situasional. Ia pun tidak betul-betul bisa dikonversi kembali ke data kualitatif...

Sayangnya aku hanya bisa teringat. ASI-X adalah alat ukur yang dikembangkan oleh sejumlah orang jenius di Amerika. Validitas dan reliabilitasnya sangat bagus. Alat ini sudah diadaptasi dan digunakan di puluhan negara. Tidak ada bagian yang boleh diubah atau dimodifikasi karena bisa merusak validitas dan reliabilitasnya.

Secara keseluruhan, pengisian ASI-X membutuhkan waktu sekitar satu jam.

Aku menghela nafas. Ternyata bagi masyarakat ilmiah umum, yang terpenting adalah validitas dan reliabilitas alat ukur. Masalah beban bagi responden, atau keberadaan data-data situasional... semua harus tunduk di bawah validitas dan reliabilitas alat ukur. Inilah pola pikir masyarakat yang disebut ilmiah dan profesional. Pola pikir yang sangat bertentangan denganku, yang jauh mengagungkan manusia, dan segala keunikannya, jauh di atas validitas dan reliabilitas alat ukur. Ingin rasanya aku berontak dan mempermak formulir ASI-X itu. Seperti aku mempermak kuesioner-kuesioner rekan-rekanku di fakultas. Aku ingin menjadikannya jauh lebih manusiawi. Sayang, hal itu tidak dimungkinkan karena validitas dan reliabilitasnya bisa rusak. Validitas dan reliabilitasnya bisa rusak. Ya, karena validitas dan reliabilitas itu yang paling penting... aku jadi sinis.

Ah, mungkin aku saja yang cara berpikirnya tidak normal. Mungkin aku saja yang terlalu banyak terpengaruh oleh aliran kualitatif dan paham eksistensial.

Aku hanya menghela nafas, pasrah.



***



Hari Kamis. Para calon enumerator kembali berkumpul di markas IMPACT di Hasan Sadikin. Pada pelatihan hari dua, kami mewawancara pecandu narkoba secara berpasangan. Tujuh orang junkie datang menjelang coffee break. Aku dan rekanku Andi memilih junkie yang tampaknya paling parah. Wawancara itu bermula dengan obrolan-obrolan santai. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ASI-X mulai menampakkan kekuatannya. Aku dan Andi kelelahan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang begitu banyak, dan seolah berulang-ulang. Junkie yang kami wawancarai pun mulai tampak tertekan oleh pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan. Semua terasa kaku dan serba terkendali. Untunglah wawancara itu segera berakhir. Satu jam lebih beberapa menit. Aku mencairkan suasana dengan kembali mengajaknya mengobrol secara santai. Dan kami berhasil.

Ternyata aku justru yang paling beruntung. Dalam sesi sharing, junkie yang kuwawancara memuji aku dan Andi karena aktif dan punya rasa ingin tahu yang besar. Katanya, kami calon psikolog yang baik. Sayangnya tidak demikian dengan yang lain. Hampir semua junkie mengeluh. Ada yang mengeluh, pewawancaranya tidak siap, masih canggung. Ada yang mengeluh, pewawancaranya belum menguasai materi. Ada yang mengeluh, pewawancaranya bersikap seperti polisi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan pendek dan meminta jawaban-jawaban pendek. Para junkie bosan dengan pertanyaan yang melulu mengenai kondisi mereka 30 hari terakhir. Mereka mengeluh pertanyaan-pertanyaannya hanya mengenai apa yang sudah berlalu; padahal mereka menginginkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berkaitan dengan rencana mereka ke depannya.

Untuk beberapa keluhan, Dr. Shelly menyalahkan kami para calon enumerator. Manurutnya, kami belum sepenuhnya menguasai materi. Kami juga lupa mengungkapkan tujuan penelitian di bagian awal. Jelas itu memang salah kami. Namun untuk keluhan-keluhan lainnya, terutama yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pertanyaannya, Dr. Shelly tidak lantas menyalahkan ASI-X-nya. Dr. Shelly justru membelanya. Beliau menyatakan bahwa panduan tersebut dikembangkan di Amerika dan sudah digunakan di puluhan negara; dan panduan tersebut tidak boleh diubah. Pertanyaan-pertanyaannya, dengan demikian, adalah harga mati.

Bisa kulihat wajah-wajah para junkie yang tidak puas dengan hal itu.

Aku juga tidak puas. Aku bisa memahami ketidakpuasan mereka. Aku memahami keinginan mereka. Mereka ingin didengarkan. Mereka menginginkan obrolan yang santai dan mengalir tanpa beban. Mereka menginginkan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam, yang memungkinkan mereka bercerita banyak mengenai pengalaman-pengalaman mereka. Atau cerita mengenai rencana-rencana mereka ke depannya. Jelas mereka kecewa ketika ternyata mereka lebih banyak diperlakukan sebagai mesin penjawab pertanyaan. Ketika mereka malah mendapatkan sesi yang mirip sesi interogasi. Ketika mereka mendapatkan begitu banyak pertanyaan yang berulang-ulang dan memaksa mereka hanya menjawab singkat. Yang hanya mengungkit-ungkit kejadian 30 hari terakhir.

Dr. Shelly juga memahami kekecewaan itu. Tapi baginya, ASI-X adalah harga mati.

Ingin rasanya aku angkat bicara. Ingin pula aku berkata lantang, mari kita buang saja ASI-X itu! Mari kita gunakan teknik wawancara terbuka. Atau mari kita ringkas menjadi panduan mini yang lebih tepat guna. Mari kita catat informasi dari pasien secara deskriptif berdasarkan pengalaman-pengalaman konkrit mereka. Baru mari kita konversi menjadi skor numerik belakangan. Tapi aku tahu, mungkin hanya aku yang berpikir seperti itu. Mungkin aku satu-satunya orang yang berpikir seperti itu.

Memang mungkin hanya aku saja yang cara berpikirnya tidak normal. Mungkin aku saja yang terlalu banyak terpengaruh oleh aliran kualitatif dan paham eksistensial.

Aku hanya menghela nafas, pasrah.



***

Mengapakah banyak orang mengagungkan validitas dan reliabilitas di atas segala-galanya--di atas manusia itu sendiri?

Dr. Shelly bilang, tujuan penelitian yang aku ikuti ini adalah untuk mendapatkan gambaran umum pengguna narkoba suntik dari berbagai aspek. Aspek kesehatan. Aspek keuangan. Aspek alkohol/narkoba. Aspek hukum. Aspek lingkungan sosial. Dan aspek psikologis. Dr. Shelly berharap nantinya IMPACT bisa mendapatkan data mengenai aspek mana yang menjadi masalah utama bagi para pengguna narkoba suntik. Data tersebut akan dijadikan acuan untuk merancang program terapi yang lebih baik untuk mereka.

Namun apa yang sesungguhnya kita butuhkan untuk merancang program terapi yang lebih baik? Alat ukur yang sangat termasyhurkah? Atau pemahaman atas diri mereka secara alamiah dan mendalam? Bagaimana mungkin kita bisa memahami mereka dengan baik apabila kita hanya memperlakukan mereka sebagai obyek, sebagai "karung informasi"? Bagaimana mungkin kita bisa memahami mereka jika kita menomorsekiankan empati, jika kita lebih mengagungkan kemasyhuran alat ukur? Bagaimana kita bisa memahami mereka lebih baik jika kita lebih percaya pada alat ukur ketimbang pada para junkie itu sendiri? Bagaimana mungkin kita bisa memahami masalah-masalah utama mereka jika kita hanya peduli pada jawaban normatif, jika kita hanya peduli pada angka-angka 0-9? Yang paling sederhana saja: bagaimana bisa kita memahami mereka jika kita tidak peduli dengan keinginan mereka untuk didengarkan; jika kita lebih peduli dengan terisinya panduan wawancara hingga penuh?

Aku ingin berkata lantang, mari kita buang saja ASI-X itu! Mari kita gunakan teknik wawancara terbuka. Mari kita himpun data yang jauh lebih kaya dan mendalam daripada data dari ASI-X yang arogan itu, yang masyhur karena buatan Amerika dan digunakan di puluhan negara! Mari kita membuat sesuatu yang lebih baik! Mari kita biarkan cemoohan dunia ilmiah. Mari kita berfokus pada upaya untuk merancang program terapi yang jauh lebih tepat sasaran meskipun dicemooh para otoritas ilmiah!



***

Lalu aku melihat. Aku duduk di bangku belakang, bukan di depan sana.
Dr. Shelly yang duduk di depan, karena ia pimpinan penelitiannya.
Aku, aku hanya seorang enumerator.
Salah, aku malah baru calon enumerator.
Karena katanya, setelah ini, kami akan diseleksi lagi.
Entah itu hanya rumor atau memang benar, karena yang kutahu bahkan Dr. Shelly menarik beberapa orang staff IMPACT untuk menjadi enumerator juga.
Meskipun Dr. Shelly juga pernah menolak pendaftar yang telat, karena katanya kursi untuk enumerator sudah lebih dari cukup.
Ah, masa bodoh lah.
Mungkin memang aku harus mulai dari sini. Dari posisi di mana aku tidak bisa komplain apa-apa. Dari posisi yang hanya melaksanakan perintah atasan.
Mungkin cara berpikirku memang tidak normal.
Mungkin aku terlalu banyak terpengaruh oleh aliran kualitatif dan paham eksistensial.
Dan aku berharap, itu sebuah penyakit. Sebuah PENYAKIT MENULAR.
Dan aku mengutuk dunia ilmiah ilmu medis dan sosial: semoga mereka semua tertular olehku kelak.
Agar mereka lebih menjunjung tinggi kemanusiaan di atas kekakuan validitas dan reliabilitas alat ukur...



***

Sekali lagi aku melihat.
Aku hanya seorang calon enumerator.
Jadi saat ini, aku hanya bisa curhat ;p

Selasa, 20 Mei 2008

Saat Mantan Direktur Naik Angkot...


Ini adalah pengalaman adik saya, Ardhi, dengan Bapak yang sudah setengah tahun pensiun.

Siang itu, Bapak sudah menjadwalkan akan membawa Chevrolet Zafira Ibu ke bengkel karena ada masalah. Sayangnya, hari yang sama, saya merencanakan bawa Blu* ke kampus. Alhasil, setelah mengantar mobil ke bengkel, Bapak harus pulang naik angkot. Bapak malas pergi sendirian, Ibu ada acara pengajian... untung saja Ardhi sedang libur. Maka pergilah mereka berdua ke bengkel, dan setelah mobil Ibu masuk bengkel, mereka berdua pulang naik angkot Riung Bandung-Dago yang agak penuh.

Di bawah fly over Surapati, Bapak melihat rumah makan ABUBA STEAK.

"Apa itu, nama restoran steak kok Abuba???" Kata Bapak keras-keras.

Ardhi segera menoleh dan melihat rumah makan yang dimaksud.

Masih dengan suara yang sama sekali tidak dikontrol, Bapak melanjutkan, "Namanya kok kampungan. Nggak komersil. Nggak menjual."

Seisi angkot melihatnya, tapi Bapak mana sadar. Ardhi yang merasa tidak enak setengah mati.

"Nama restoran steak itu ya New York Steak, misalnya. Namanya kok Abuba. Kayak jualan martabak."

Ardhi sudah berharap bisa bersembunyi di kolong bangku angkot. Tapi begitulah Bapak; masih tidak sadar seisi angkot melihatnya, dan menyimak celetukan spontannya.


***


Mungkin karena Bapak memang jarang naik angkot. Dari saya kecil, Bapak setiap hari ke kantor naik mobil pribadi. Dan di mobil pribadi, tentu saja, Bapak bisa seenak perut mengomentari semua hal yang dilihatnya di jalan. Paling-paling yang mendengar, keluarga, atau kolega. Nah di angkot? Mungkin Bapak kurang sadar kalau angkot itu ya angkutan umum, hehehehehe :D

Tapi saya bangga punya Bapak yang masih mau naik angkot. Mengingat statusnya sebagai mantan direktur. Tidak pernah Bapak menyewa seorang supir. Memang dibandingkan anak-anaknya, jelas Bapak lebih sering "manja". Kalau joging ke Sabuga, maunya pake "mobil Affif" (Blu*), meskipun kadang beliau mengoloknya sebagai "gerobak kaleng" (dan kadang memujinya sebagai mobil kecil yang lincah). Sama juga kalau Ibu tidak ada di rumah, lantas mau makan siang di Bakmi Dago di dekat Simpang. Tapi kalau "mobil Affif" ini tidak ada, beliau tidak segan naik angkot. Meskipun, ya... kadang-kadang, begitu. Beliau tidak terbiasa naik angkot, jadi kadang melakukan hal-hal di luar kewajaran. Karena tidak tahu ongkos angkot, beliau pernah bayar dengan uang yang cukup besar dan ngeloyor saja pergi tanpa minta kembalian, hingga kami anak-anaknya gemas, "Bapak, itu tuh ongkos untuk lima orang!" Atau ya, seperti cerita tadi. Cuek saja asbun (asal bunyi) dan tidak sadar dirinya jadi pusat perhatian.

Ya, begitulah Bapak. Saya kadang geli dengan tingkahnya. Tapi saya bangga :)



*Blu: Mobil Suzuki Katana biru yang seharusnya jadi mobil anak-anak, tapi hanya saya yang mau pake ;-p

Senin, 19 Mei 2008

Ketika Uang Menjadi Tuhan


Sarapan bersama di selasa pagi terisi oleh perbincangan mengenai perguruan tinggi.

Obrolan yang wajar mengemuka mengingat adikku yang paling kecil--Ardhi--sedang mengurus pendaftaran ke PTN-PTN pilihannya. Ternyata zaman sekarang, mendaftar ke PTN tidak semudah dan sesederhana dulu. Dengan dikuranginya bantuan dari pemerintah, PTN-PTN yang ada harus bisa lebih mandiri. Celakanya, hal ini diwujudkan dengan pemungutan uang besar-besaran dari calon mahasiswa.

Adikku mengincar FEUI. Sayangnya, seperti hampir semua PTN ternama lainnya, UI memperkecil jalan masuk melalui SPMB. Hanya 20% kursi yang tersedia untuk jalur SPMB. 10% untuk jalur PMDK. Sisanya? Ya harus lewat ujian mandiri yang diadakan oleh UI sendiri. Repotnya, calon mahasiswa yang mendaftar melalui ujian mandiri itu wajib memberikan sumbangan minimal belasan sampai puluhan juta, tergantung program studi yang diincar. Kalau demikian caranya, maka pendidikan di Indonesia hanya berpihak pada the haves, orang-orang berduit. Orang-orang have-nots alias yang kurang punya duit akan semakin kesulitan mengandalkan mobilitas sosial melalui jalur pendidikan. Bayangkan, padahal angka kemiskinan di negara ini sampai 80%. Dan sistem-sistem yang ada, termasuk sistem pendidikan, telah memperkecil celah bagi mereka untuk melakukan mobilitas sosial alias mengubah nasib.

Di antara PTN-PTN ternama itu, ternyata yang paling mahal adalah UNPAD. Demikian kata adikku. Aku menghela nafas, malu sekali. Bayangkan. Konon Fakultas Kedokteran UNPAD meminta bayaran minimal 180 juta rupiah untuk biaya masuk. Padahal Fakultas Kedokteran UI yang katanya lebih baik saja "hanya" meminta 25 juta rupiah.

Bapakku mengolok, "Siapa yang mau masuk FK UNPAD?"

Adikku menjawab. "Jangan salah. Yang ngantri udah banyak banget."

Aku hanya geleng-geleng kepala.

Adikku menambahkan. "180 juta itu minimal. Nanti yang diterima ya yang nyumbangnya paling tinggi."

Aku berpikir: mau jadi apa bangsa ini? Pendidikan sebagai akar terdalam kemajuan bangsa sudah dicemari juga oleh kapitalisme. Pendidikan tidak lagi melihat prestasi, tapi melihat siapa yang mampu bayar mahal. Tentu saja jelas; yang mampu bayar ya orang-orang yang punya duit. Tentu saja orang-orang berduit rela membayar mahal demi mendapatkan duit lebih banyak. Akibatnya, bisa dibayangkan: di masa depan, kita akan sangat kesulitan menemukan orang-orang yang bekerja secara sukarela, atau orang-orang yang mengabdi untuk keilmuan atau kemanusiaan, dan kita akan menemukan orang-orang yang mengabdi untuk uang di mana-mana. Dunia pendidikan sekarang mengajarkan bahwa uang adalah hal terpenting dalam hidup, yang memungkinkan kita meraih SEGALANYA; dan dengan nilai itulah bangsa ini akan hidup di masa depan. Dokter tidak akan banyak berpikir mengenai kesejahteraan pasiennya, yang penting ia dapat duit banyak. Pengacara tidak lagi mau membela yang lemah, karena yang lemah tidak bisa bayar mahal. Pejabat akan memenangkan hak-hak orang berduit dan menindas orang-orang yang sudah tertindas. Delapan puluh persen orang di negara ini akan makin tertindas, dan jumlahnya pasti akan naik. Karena hanya yang punya duit yang bisa bertahan; jalur lain telah tertutup.

Inilah negara paling kapitalis sedunia. Amerika Serikat yang disebut-sebut sebagai biang kapitalisme saja tidak melulu uang. Bill Gates, Warren Buffet, Oprah, dan banyak lagi orang kaya Amerika memperoleh kekayaan dengan menjual komoditi dagang; tapi mereka justru mendonasikan sejumlah besar uang untuk pendidikan murah. Di sini? Orang-orang malah meraup uang dari dunia pendidikan, menjadikannya bisnis. Di Indonesia, kemanusiaan telah dilupakan, dan uang telah menjadi tuhan. Disembah lebih dari segalanya. Dan orang-orang yang memiliki uang mampu memiliki segalanya. Uang menjadi segalanya.

Aku jadi ingat. Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengirimi saya sebuah e-mail. Isinya adalah ajakan untuk bergabung dengan sebuah program, di mana pesertanya akan dibayar beberapa sen jika mengklik sesuatu di internet dan memperkenalkannya pada orang lain. Teman saya itu membujuk, "ikut ya?"

"Sorry. I wouldn't participate in such a thing." Dan saat itu juga aku merasa kecewa, dan merasa tak ingin lagi bicara dengannya.

Aku jengah.

Mengapakah orang rela melakukan apa saja demi uang? Mana yang kita sebut sebagai Tuhan yang kita sembah? Aku jengah, aku lelah. Demi uang manusia melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Dan entah kenapa, semakin lama semakin banyak sistem yang mendukung orang-orang berduit. Semua hal dinilai dengan uang. Menimbulkan persaingan hukum rimba yang pastinya akan semakin menghancurkan kemanusiaan. Di sini uang menjadi lebih penting daripada manusia, hingga akhirnya uang dikejar-kejar lebih dari segalanya. Mengapa seolah hanya aku yang melihat ini semua, mengapa seolah semua orang hanyut dalam sistem kapitalisme itu? Tentu ada banyak temanku yang bilang, bagaimanapun kita butuh duit, dan kalau kita punya duit kita bisa melakukan perubahan. Aku tidak menyangkal aku butuh duit, tapi aku tidak setuju kita harus berduit dulu untuk bisa melakukan perubahan. Bagaimana mungkin kita melakukan perubahan kalau sejak awal kita sudah membiarkan diri kita terbelenggu oleh sistem itu? Aku butuh duit, tapi aku menolak mengakuinya sebagai kebutuhan tertinggi.

Aku jengah, aku lelah.

Semoga saat menjadi dosen nanti, aku bisa mendidik mahasiswa-mahasiswaku, agar mereka tidak menuhankan uang.

Dan semoga aku bisa tetap konsisten untuk tidak menuhankan uang. Aku butuh uang, tapi aku tidak akan menjadikannya tujuan hidup.

Semoga.

Sabtu, 10 Mei 2008

One Nite Stand


"Mim, liat ikan yang itu deh."

"Ikan yang mana?"

"Yang itu tuh... itu..." Aku menempelkan telunjukku ke permukaan kaca.

"Iya, yang itu, kenapa Jal?"

"Itu, lagi boker tu... item-item panjang gitu."

Kami tertawa. Sebuah cuplikan pada malam minggu di Braga Citywalk. Bersama temanku, kalau tidak bisa dibilang sahabatku, Mimim. Sebenarnya kami datang untuk nonton Tarix Jabrix. Namun kami tiba pukul tujuh malam, padahal film yang dimaksud mulai pukul delapan malam. Jadilah kami menghabiskan waktu satu jam yang tersisa berputar-putar tanpa arah. Mengomentari ikan-ikan dalam akuarium. Berdebat mengenai perasaan ikan yang berenang-renang di dalamnya. Menapaki jalan Braga dari ujung ke ujung, sambil mengomentari setiap bar dan rumah makan yang kami lewati. Menonton pertunjukan musik tradisional sambil menyambung cerita. Duduk-duduk di depan bioskop 21 sambil berdebat mengenai pentingnya pegangan tangan bagi orang yang pacaran.

Malam minggu yang menjadi momen yang menyenangkan, mengalir lepas tanpa beban; tanpa ekspektasi apa-apa.

Bukankah demikian sejatinya menjadi manusia itu? Menjadi manusia yang bisa berbahagia bersama orang lain, atau bersama seseorang yang istimewa, tapi tetap menjadi individu yang bebas-independen. Tidak mengikatkan diri pada status, atau memenjara diri sendiri dengan harapan dan tuntutan yang berlebihan. Malam itu kami tertawa bersama saat menonton. Menikmati keramaian malam minggu sepanjang jalan Dago, dan sesekali mengambil jalan memutar untuk menghindari pengamen-pengamen keroyokan. Mengantarnya pulang sampai ke pintu pagar kosan. Membukakan pintu dan mengucapkan selamat malam. Hal-hal kecil yang sudah kurindukan sejak lama. Luar biasa kini aku bisa melakukannya dan merasakan kebahagiaan darinya; dan tidak ada ketakutan yang mengikutinya.

Aku menjadi manusia bebas yang bisa menikmati waktu bersamanya apa adanya. Tanpa berharap banyak untuk mengulanginya. Tanpa ketakutan bahwa aku akan kehilangan dia, atau dia akan meninggalkanku untuk pria lain. Aku bisa pulang dan berkonsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang tertinggal, yang memang harus kuselesaikan.

Aku jadi bertanya-tanya--kenapa orang berpacaran? Bukankah seharusnya manusia mampu menikmati setiap momen dalam hidupnya, tanpa mengikatkan diri pada ekspektasi apa pun? Sejatinya, manusia mampu menjadi makhluk yang bebas, selama ia tidak mengikatkan diri pada sesuatu.

Dengan alasan yang sama... kenapakah manusia harus menikah?

Entah kenapa manusia terlalu banyak menghitung untung dan rugi, dan terobsesi dengan keinginan untuk memiliki. Seharusnya kehidupan dibiarkan mengalir seperti nafas. Seperti pengalamanku dengan Mimim. Pengalaman ada untuk dialami, seperti tarikan nafas, tapi bukan untuk dimiliki; karena kelak kita harus menghembuskannya dan membiarkan pengalaman lain masuk dalam hidup kita.

Aku akan menjadi orang yang mampu menghargai kehidupan seperti tarikan nafas.

Jumat, 09 Mei 2008

Up 'til Now...


Sudah lama. Sudah lama sekali.
Entah sudah berapa lama aku tidak menulis untuk blogku ini. Sudah lama sekali, aku bahkan tidak bisa mengingatnya lagi.

Yang terakhir kuingat, aku menulis di tengah pertempuran.
Pertempuran dengan bakteri typhus yang menduduki saluran pencernaanku.
Menunggu kesembuhannya adalah perjuangan yang tak mudah, karena aku dikejar-kejar.
Dikejar-kejar kewajiban menyelesaikan revisi skripsiku.
Janjiku pada dosen pembimbing, bahwa revisinya akan selesai dalam beberapa hari, kandas sudah.
Enam belas hari aku terbaring, skripsiku terbengkalai tidak terurus.
Persis seperti Blu--mobil biruku--yang perlahan menjadi coklat di garasi depan, tertutup debu.
Enam belas hari aku menjadi tahanan rumah, aku merindukan dunia dan hanya bisa menatapnya melalui jendela.
Enam belas hari berselang hingga akhirnya aku diizinkan keluar dari rumah.
Aku seperti anak yang terlepas bebas di tengah-tengah taman bermain.
Dunia berubah banyak dalam enam belas hari;
Kau akan tahu betapa indahnya dunia yang kau tinggali, setelah kau terpenjara selama enam belas hari di dalam rumah.
Enam belas hari, aku belajar bersabar;
dan aku belajar bersyukur.

Hari ketujuh belas, aku kembali membuka skripsiku untuk memulai pekerjaan revisiku.
Lalu tiba-tiba laptopku mati.
Aku mem-backup file-file skripsiku ke dalam ponsel, setelah itu laptopku mati dan tidak bisa hidup lagi.
Ayahku hanya bisa pasrah. Ibu menyalahkanku, dan mencari-cari kesalahan agar bisa menyalahkanku.
Lucunya, aku bahkan tidak panik, atau bahkan merasa khawatir.
Sabar dan syukur, aku tahu ada makna di balik itu semua.
Mungkin tanpa laptop, tanpa fasilitas, aku akan bisa bekerja dengan lebih keras?
Lalu Panji menawarkanku untuk bekerja di kosannya.
Di kosannya, ada satu komputer dan satu laptop. Aku bisa menggunakan salah satunya.
Jadilah setiap hari aku mengunjunginya.
Awalnya, aku berangkat pagi dan pulang sore. Seperti orang-orang kantoran yang kujumpai sepanjang jalan raya.
Namun revisi skripsiku tumbuh menjadi semakin rumit.
Seperti spora yang tumbuh menjadi jamur dewasa.
Kutingkatkan intensitas kerjaku; aku pun pulang tiga hari sekali.
Selama itu aku bekerja penuh disiplin. Tanpa akses internet, aku tidak bisa online sepuasnya.
Dan ketika aku online, orang-orang di Yahoo Messenger segera menyerbu dan menanyakan kabarku.
Ah, banyak sekali yang sayang padaku?
Dua minggu penuh kuselesaikan revisi skripsiku, tapi bukan itulah hal yang terpenting.
Dua minggu tinggal bersama Panji, aku belajar mengenai persahabatan serta cinta yang tulus;
dan dua minggu laptopku koma, aku belajar melepas keterikatanku pada teknologi, dan pada objek-objek duniawi.

Tuhan memang Guru yang Paling Bijaksana.
Tidakkah kau lihat, bagaimana Ia mengajariku kesabaran, syukur, persahabatan, cinta, dan kebebasan--tanpa mendikte?
Setelah revisi skripsi beres, semua mengalir dengan lancar. Dosen pembimbingku segera menyetujui revisiku dan aku segera mendaftar untuk sidang.
Namun kemudian aku harus menunggu dua minggu lebih.
Aku tidak bisa tidak bersyukur; karena aku tahu, kekosongan dua minggu pastilah, lagi-lagi, ada maksudnya.
Jadi aku memanfaatkan dua minggu itu untuk kembali menghubungi orang-orang dari masa laluku.
Teman-teman yang sudah lama menghilang jejaknya.
Aku menghabiskan waktuku lebih banyak dengan orang-orang yang kusayangi.
Menghargai mereka yang masih hadir untukku; dan mempersembahkan diriku untuk mereka selama aku ada.
Aku menyelesaikan beberapa persoalanku dengan Sang Puteri.
Dan di akhir-akhir masa penantian itu, aku kembali berbincang panjang dengan-Nya.
Mengobrol akrab, seperti yang kulakukan lima tahun yang silam.
Tuhan, aku sudah menerima pelajaran-Mu. Aku tahu aku tidak akan tersesat.
Karena aku tahu Engkau selalu bersamaku. Selalu.

Dan kini, malam ini.
Sembilan Mei dua ribu delapan.
Fakultas telah menyematkan gelar S.Psi di belakang nama lengkapku.
Berakhirlah kewajibanku sebagai mahasiswa. Aku seorang alumni, seorang sarjana, seorang pengangguran baru di negeri pengangguran.
Pilihan mahaluas terbentang di hadapanku.
Tak ada lagi paksaan mengenai apa yang harus kulakukan. Semuanya adalah pilihan dan tanggung jawabku pribadi.
Aku berada di tengah padang pasir yang terbentang tanpa batas.
Namun aku tahu Tuhan selalu bersamaku. Dan karenanya aku takkan pernah tersesat.
Kini jelas mengapa upayaku meraih kelulusan terhalang musibah yang bertubi-tubi.
Karena Ia ingin aku belajar mengenai sabar, syukur, persahabatan, cinta, dan kebebasan--sebelum aku melanglang buana.
Tidak peduli di mana aku kini; di tengah padang pasir dengan luas tanpa batas;
Tuhan telah membekaliku dengan segalanya, dan aku akan selalu bersama-Nya.
Oh, terima kasih Tuhan.
Aku siap melangkah lagi, dan aku tidak takut; karena Engkau yang selalu menjadi penunjuk jalanku ***