Minggu, 30 Maret 2008

It is in Suffering Man can Thrive to Be...


Suffering. Penderitaan. Aku kembali memikirkannya kini.

Seorang sahabat yang kukenal sejak awal kuliah mengeluh mengenai ketidakmampuannya percaya pada orang lain. Aku memang mengenalnya seperti itu. Aku sangat menghormatinya, bahkan ada saat-saat tertentu aku malah membencinya. Ia independen sekali, begitu kupikir dulu. Dan aku sendiri juga bukan orang yang banyak berbeda dengannya. Di kampus aku tak peduli pada apa pun. Yah, tak peduli pada apa pun. Namun bukan karena aku benar-benar independen; justru karena kehidupanku terpusat pada satu orang di luar sana. Sesuatu yang takkan pernah kulakukan lagi.

Kehidupanku mengalami perubahan drastis ketika penderitaan raksasa pertama datang: aku harus kehilangan orang yang menjadi pusat kehidupanku selama dua tahun terakhir itu. Mungkin tidak terlalu menyakitkan, karena sebenarnya kami saling kehilangan. Aku segera melarikan diri pada aktifitas di kampus dan segera kusadari banyak sekali orang menarik di sana. Aku tidak bisa tidak ingat ketika pada suatu malam saat PMB, aku dan Iwan duduk bersebelahan dan mengobrol berdua; dan tiba-tiba saja perbincangan mengenai mendaki gunung keluar begitu saja. Seolah semua memang sudah diatur oleh-Nya.

Berkat Iwan, mataku terbuka. Kehidupan kampus memiliki banyak sisi yang tak kulihat sebelumnya. Karena kehidupanku selama ini hanya terpusat pada satu orang.

Hal itu kiranya hanyalah awal. Aku kemudian mengenal seorang sahabat yang selalu memintaku (baca: memaksaku) bercerita. Ia sahabat yang menyenangkan. Semakin lama, semakin aku merasa nyaman berbagi dengannya. Aku selalu bercerita padanya mengenai gadis-gadis yang kusuka di kampus. Ialah tempatku berkeluh kesah dalam nyaris segala hal. Kalau aku lama tidak bercerita, ia pasti memintaku bercerita. Ia juga rajin membuka-buka diariku—my old Black Box—dan selalu memberikan komentar-komentar menyenangkan atas semua yang kutulis. Aku sulit percaya pada orang lain, tapi aku percaya padanya seorang. Aku percaya padanya seorang.

Lalu kemudian sesuatu terjadi. Aku jatuh cinta padanya.
Aku memanggilnya ”Puteri”.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Atau demikian tampaknya. Lalu aku pergi mengikuti diklat selama sebulan. Dua minggu di antaranya berada di belantara, ditempa dan disiksa habis-habisan. Selama itu pula satu-satunya alasanku bertahan adalah, karena aku merasa Sang Puteri menungguku di luar sana. Setiap kali aku ditempilingi dan disiksa hingga berdarah-darah, aku membayangkan dirinya berdiri tak jauh dariku dan menyemangatiku. Setiap kali aku tidur di bawah bivak dan terguyur hujan, aku mengingat sofa hangat tempat kami nonton TV sekenanya, sambil makan-makan kudapan sekenanya juga. Setiap kali aku dipaksa long march dengan beban berpuluh-puluh kilo, jarak berpuluh-puluh kilo, serta perih dari kuku-kuku kaki yang menggembung dan mengelupas, aku selalu membayangkannya berdiri di ujung jalan, menungguku. Dia adalah alasanku bertahan. Dia adalah alasanku berjuang.

Dan saat aku pulang, aku mendapatinya tidak lagi berada di tempat.

Awalnya kupikir, karena aku perlu waktu menyesuaikan lagi diriku dengan kehidupan di peradaban. Namun kemudian semua relasiku dengan orang lain kembali normal. Kecuali dengannya.

Sang Puteri menghilang.

Aku kehilangan orang yang paling kucintai sekaligus orang yang paling kupercaya dalam segala hal. Aku patah hati dan aku tak lagi punya tempat untuk berbagi.

AKU HANCUR.


***


Sudah setahun lebih berselang. Sudah setahun lebih penderitaan itu kubawa ke mana-mana. Dan di sinilah aku sekarang.

Orang-orang di sekitarku berkata, aku berubah. Beberapa di antaranya mengatakan, aku ”berkembang”. Aku senang. Kata ”berkembang” punya konotasi yang bagus; itu berarti, aku berubah ke arah yang lebih baik.

Aku sendiri tak pernah benar-benar menyadari apa yang berubah dari diriku. Satu hal yang kusadari sekarang, aku punya lebih banyak teman. Jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Tiba-tiba saja ada orang-orang yang mau menyapaku, atau mengajakku kerja, atau sekadar hang out dan berhura-hura (bahasa keren kami: hedon). Beberapa orang yang pernah menjadi temanku, atau sahabatku, dan lalu kehilangan kontak denganku, tiba-tiba saja kembali dengan sendirinya. Dari berbagai arah. Banyak orang menyenangkan berdatangan ke dalam hidupku. Puncak yang kurasakan, mungkin, saat Forum Skripsiku kemarin; tiba-tiba sekelompok orang yang bahkan tak terpikir untuk kuundang menghubungiku dan memberikan konfirmasi untuk datang—dan mereka benar-benar datang! Atau saat aku menderita typhus sekarang ini—aku terkejut sekali dengan banyaknya pembesuk, hingga bahkan pada suatu sore rumahku jadi terlalu ramai. Betapa menyenangkan! Mereka semua perhatian sekali. Perhatian sekali. Terlebih dengan kenyataan bahwa aku kerap melupakan mereka... mereka perhatian sekali. Mereka bahkan membawakan stok makanan yang bahkan belum bisa kuhabiskan sampai sekarang hehehehehe :D

Banyak pula dari mereka yang kemudian mempercayakan banyak rahasianya padaku. Aku merasa terhormat sekali bisa dipercaya seperti itu. Tapi mengapa aku layak mendapatkan kepercayaan sebesar itu? Seorang sahabat mengatakan padaku, karena aku juga percaya pada mereka.

Aku terdiam.

Right.

Kalau kuingat-ingat sekarang, setelah kehilangan itu, aku mencoba mencari lingkungan-lingkungan baru. Just to forget that Princess. Ever. Ever! Tapi ternyata prosesnya tak mudah. Aku selalu melihatnya. Aku selalu melihatnya menjauhiku. Aku selalu melihatnya mengobrol hangat dengan pria lain. Ia hampir selalu bergentayangan di sekitarku, dan aku selalu merasa sakit hati.

Dan aku sudah terlalu terbiasa untuk berbagi, meskipun selama ini hanya dengan satu orang. Mungkin, karena tak tahan lagi menyimpan semua keluh-kesah seorang diri, aku pun mulai berbagi dengan orang lain. Meskipun itu berarti mengorbankan harga diri sebagai laki-laki. Hah, harga diri? Biarlah hanya sedikit orang yang tahu kebenaran mengenai diriku. Toh aku butuh berbagi. Dan bulan-bulan berlalu, dan Sang Puteri tetap bergentayangan di dekatku, dan penderitaanku tidak juga berakhir. Aku mulai berbagi dengan lebih banyak orang, tapi kemudian aku kecanduan. Aku kecanduan berbagi. Ujung-ujungnya, rahasiaku pun jadi rahasia umum. Aku berbagi dengan banyak orang. Tulisan yang kuposting di blog dan di milis pun seolah menjadi gamblang.

Aku mempercayai mereka dan ujung-ujungnya, mereka pun mempercayaiku. Bukan begitu? Semakin banyak aku berbagi dengan orang lain, semakin banyak yang percaya padaku. Semakin banyak teman yang datang dalam hidupku.

“Gila lo, yah, bisa percaya ama orang segitu entengnya…” Seorang sahabat pernah berceloteh.

Kalau dipikir memang gila. Terlebih dengan mengingat betapa tertutupnya diriku dulu. Lalu ada seseorang yang bisa membuatku sangat percaya—orang yang membuatku amat tergantung. Lalu ia menghilang; dan aku tak sanggup menghilangkan kebiasaanku untuk selalu berbagi. Mungkin karena penderitaan itu aku terpaksa percaya pada orang lain. Sesuatu yang tidak pernah aku sesali kemudian; karena hidupku kini jauh lebih ringan daripada sebelumnya. Semakin aku percaya pada orang lain, semakin mereka percaya padaku juga.

Satu tahun lebih berselang. Bahkan Sang Puteri pun akhirnya pulang.
Yah… paling tidak, ia tidak menjauhiku lagi. Dan aku bisa tetap jujur tentang perasaanku padanya. Perasaan yang tak juga padam oleh penderitaan.

Satu tahun lebih penderitaan telah membawaku pada kehidupan yang cerah. Satu tahun penderitaan telah menjadikanku orang yang lebih terbuka, lebih bisa dipercaya... satu tahun penderitaan telah menjadikanku orang yang lebih baik daripada sebelumnya. Satu tahun penderitaan menjadikanku lebih matang.

Memang benar penderitaanlah yang menjadikan manusia lebih baik daripada sebelumnya.

It is in suffering Man can thrive to be.

Sekarang aku bisa memperlihatkan luka akibat penderitaan itu dengan bangga, pada semua orang.


***


Sudah sepuluh hari ini aku terkena typhus. Dan harus menjalani istirahat di rumah. Pihak Rumah Sakit menawarkanku untuk opname. Kalau di rumah, aku harus bedrest. Nyatanya, aku masih saja berkeliaran dan semuanya baik-baik saja. Meskipun aku tetap sulit bekerja dan aku tak bisa keluar rumah.

Hal paling menyebalkan dari sakit ini bukanlah demamnya yang naik turun. Bukan kepala pening yang seolah rengkah ditanami paku. Bukan pula linu di punggung atau sariawan-sariawan yang bermunculan di sepanjang bibir dan mulut. Ada dua hal menyebalkan dari penyakit typhus ini: satu, aku tidak bisa mengerjakan revisi skripsiku, dan setelah istirahat lama butuh waktu lama juga untuk mencapai semangat itu lagi. Semangat mengerjakan skripsi. Dan kedua, yang lebih besar: aku harus makan-makan yang lembut dan tidak melakukan aktifitas-aktifitas fisik berat, bahkan hingga satu bulan setelah aku dinyatakan sembuh.

Aku menyadari betapa menyebalkannya hal itu ketika seorang sahabatku berkata, aku tidak boleh naik gunung dulu. Yah, memang tidak dalam waktu dekat. Memang rencana terdekat mendaki gunung adalah mendaki Gunung Semeru setelah wisuda bulan Mei nanti. Tapi bukankah itu sebentar lagi? Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa, dan aku akan mendakinya tak lama setelah aku pulih dari typhus?

Kalau kuhitung-hitung, maka larangan makan dan latihan fisik bagiku berlaku paling tidak sampai akhir April. Tapi sebelum pendakian Mei, aku harus latihan fisik. Oh, ya, aku juga harus mengorganisir tim, memprogram latihan fisik rutin, dan menyeleksi peserta jika terlalu banyak. Bisakah semua dimulai akhir April? Tiba-tiba jadwalnya terlihat mepet sekali. Tapi masih bisa.

Asalkan sakitku tidak kambuh dalam periode sebulan itu...

Argh... betapa menderitanya aku, tidak bisa makan otak sapi atau Richeese Ahh! kesukaanku dalam waktu sebulan. Aku juga mungkin tidak diizinkan latihan rutin bouldering, atau training di Sabuga, atau bahkan latihan beban di rumah. Argh lihat fisikku yang mulai peyot gara-gara penyakit ini! Dia butuh latihan! Tapi radang usus memang bukan perkara main-main. Nyawa taruhannya.

Dan aku mulai bertanya-tanya: apa lagi yang Tuhan siapkan untukku dalam penderitaan ini?

Aku tersenyum sendiri.

Because,
It is in suffering Man can thrive to be.

Pasti ada sesuatu dalam penderitaan typhus ini yang akan menjadikanku lebih kuat. Itu pasti.

Lebih sabar menahan godaan makanan, mungkin?

Yummm... gapapa deh. Asalkan bisa ke Semeru nanti :D

Minggu, 23 Maret 2008

Tentang Teori Orientasi Masa Depan


Ini adalah sebuah obrolan dengan Mimim di suatu minggu siang yang cerah, ketika ia berpakaian pinky-pinky fever ria sambil nebeng online. Kami baru saja membahas skripsi Mimim, tentang orientasi masa depan anak yatim piatu di sebuah panti asuhan di Lembang. Aku sedang terserang demam misterius, dan setelah membahas skripsi Mimim dan menginstallkannya Yahoo! Messenger (emang katro!), aku menggunakan tenaga yang tersisa untuk menggoreng french fries. Setelah itu aku terkapar di atas sofa pendek.

Mimim bertanya padaku, "Biasanya kamu sehari-hari ngapain aja, Jal?"

"Me?" Aku mulai mengingat-ingat lagi keseharianku sebelum demam itu datang. Biasanya, tentu saja, yang rutin: olahraga. Lalu tidur siang. Atau bekerja berdasarkan agenda harian. Biasanya memang padat, tapi gara-gara demam misterius ini, aku malas memenuhi agenda-agendaku sendiri. Jangankan bekerja, tidur saja susah. Pening. Gara-gara demam aneh ini revisi skripsiku telantar.

"Kamu sendiri Mim? Biasanya?"

"Makan."

Baiklah.

"Tidur."

Baiklah.

"Ngerumpi."

Baiklah. Benar-benar hidup yang kaya makna. "Emangnya kamu nggak ada sesuatu yang ingin dicapai, Mim?"

Mimim melongo. "Nggak tahu."

"Lha? Memangnya OMD*-mu gimana?" *Orientasi Masa Depan

"Masih ngambang Jal."

"Wow..." Aku bangkit, seolah-olah lupa kalau aku sedang sangat lemas. Seorang mahasiswi yang mengerjakan skripsi tentang OMD tidak punya OMD? "Terus, kalo menurut Nurmi*, harusnya gimana?" *Jari-Erik Nurmi adalah pemilik teori OMD yang digunakan oleh Mimim dalam skripsinya

Dan meluncurlah cerita Mimim bahwa OMD-nya sangat tergantung pada seseorang yang bahkan belum ada dalam hidupnya (duh gwa pengen cerita detail tapi ntar ada yang ngamuk). Kupikir, bukankah itu mengerikan? Menyerahkan masa depan pada suatu kekuatan eksternal yang tidak bisa kita kendalikan? Ya, Mimim juga menyadari itu. Tapi bahkan ia sendiri belum tahu keinginan besarnya.

"Tapi bukannya kamu paham banget teorinya Nurmi, ya, sampe bisa nganalisis OMD-nya anak-anak panti asuhan secara kualitatif?" Aku bertanya.

Mimim diam. "I... ya."

"Tapi dengan pemahaman teori OMD sedalam itu, kemu tetep ga bisa nolong diri kamu sendiri?"

"Iya..."

"Wow..." Aku kembali berbaring di atas sofa pendek. Kupandangi langit-langit ruangan.

Bukankah aku baru saja melihat hal yang menakjubkan? Konon, untuk bisa menghasilkan grand theory seperti teori OMD-nya Jari-Erik Nurmi, seseorang harus mendapatkan gelar S3 atau di atasnya dan melakukan penelitian gila-gilaan. Hasilnya? Sebuah teori, yang ternyata tidak aplikatif. Sesuatu yang dipandang sebagai karya, sebuah penjelasan dengan riset yang tak sederhana, ternyata tidak memiliki kontribusi yang besar dalam kehidupan. Dengan teorinya, Nurmi bisa menjelaskan proses pembentukan OMD pada remaja khususnya. Temanku Mimim bisa menggunakan teori yang sama untuk menjelaskan struktur dan dinamika OMD pada anak-anak panti asuhan di Lembang. Tapi solusi apa yang bisa diberikan oleh sebuah teori?

Aku tidak bisa tidak ingat klaim psikologi eksistensial, bahwa penjelasan dan pemahaman berada pada tingkatan yang berbeda. Psikologi umumnya selalu berkutat pada penjelasan, oleh karenanya lahirlah teori-teori, yang menjelaskan struktur, dinamika, dan kepribadian. Tapi, setelah menjelaskan, adakah teori-teori itu memberikan solusi konkrit atas suatu permasalahan? Manusia bukanlah benda mati yang bisa seenaknya dijelaskan begini dan begitu. Manusia juga punya kehendak dan manusia perlu dipahami. Dan untuk mencapai pemahaman, yang dibutuhkan bukanlah teori: melainkan pengalaman.

Pertanyaanku beranjak: jadi apa keunggulan psikolog, atau sarjana psikologi? Kemampuan atau kompetensi apa yang mereka miliki setelah bertahun-tahun di-drill dengan bertumpuk-tumpuk teori mengenai manusia? Para sarjana ekonomi dididik dengan bertumpuk-tumpuk teori tentang keuangan, tetapi ekonom-ekonom yang unggul adalah mereka yang berpengalaman dengan realitas konkrit mengenai keuangan. Para sarjana geologi juga dididik dengan berbagai macam teori mengenai geologi, tetapi tetap saja mereka yang lebih unggul adalah mereka yang berpengalaman di lapangan. Demikian juga psikolog atau sarjana psikologi: mereka mungkin dididik dengan ratusan teori mengenai manusia, tetapi mereka yang unggul, tetap saja, adalah mereka yang berpengalaman dengan manusia lain. Celakanya, semua orang berpengalaman dengan orang lain.

Para ekonom memiliki pemahaman ekonomi yang unggul karena tidak semua orang punya pengalaman dengan situasi-situasi ekonomi konkrit. Para geolog memiliki keunggulan pemahaman karena tidak semua orang punya pengalaman konkrit dengan situasi-situasi geologis di lapangan. Tapi psikolog, atau sarjana psikologi, apakah mereka memiliki keunggulan dalam memahami manusia? kenyataannya, SEMUA ORANG punya pengalaman berinteraksi dengan orang lain sepanjang hidupnya. SEMUA ORANG memiliki kesempatan yang sama untuk memahami manusia.

Jadi, apa sesungguhnya keunggulan psikolog atau sarjana psikologi?

Aku merinding sendiri memikirkan jawabannya.

p.s. call me skeptics. Skeptics. SKEPTICS!

Rabu, 12 Maret 2008

Di Persimpangan

Sebuah telepon dari Rozar di sore hari mengejutkanku. Lebih mengejutkan lagi ketika ia menghubungi bukan untuk menagih buku-bukunya yang kupinjam. Ia menghubungiku untuk menawariku pekerjaan. Pekerjaan itu. Ternyata posisi yang tersedia adalah posisi penginput data. Gaji rendah, tapi jauh lebih tinggi daripada gaji dosen honorer. Dan ada kesempatan untuk meningkatkan karir.

Jujur saja. Aku tergiur. Dengan kenyataan bahwa dari 13 orang temanku yang sudah lulus, baru 4 orang yang mendapat pekerjaan, tawaran itu begitu menggiurkan. Bayangkan saja, teman-temanku yang sudah lulus saja kesulitan mencari kerja, tapi aku malah mendapat tawaran bahkan sebelum aku lulus. Bahkan aku bisa mulai bekerja sebelum aku sidang. OK, pekerjaannya tidak sehebat itu, tidak sebergengsi itu, tapi tetap saja... tidak semua orang mendapatkan kesempatan itu.

Tapi pekerjaan itu ternyata full-time. Lima hari seminggu, pagi hingga sore. Artinya, aku tak akan bisa jadi dosen dulu. Dan kontrak kerjanya paling tidak setahun.

Aku pun harus memilih. Menjadi dosen honorer dengan gaji superminim? Atau menjadi penginput data dengan gaji lumayan minim, dan mulai kerja paling cepat seminggu lagi?

Aku tiba di persimpangan.

Aku tidak bisa memutuskan sendiri. Jadi kuputuskan berkonsultasi dengan kedua orang tuaku. Selama ini mereka memang mendukungku untuk menjadi dosen. Meskipun tanpa ijazah S2, aku hanya akan mulai sebagai dosen honorer. Aku berkonsultasi dengan mereka mengenai kehidupan pascakuliah. Sulitnya mencari pekerjaan, dan superminimnya gaji dosen honorer.

Ayahku bilang, beliau tidak setuju jika aku melanjutkan S2 di Unpad. Aku harus melanjutkan S2 di luar. Tapi itu pun harus beasiswa. Jelas beliau tidak akan membiayai kuliah S2-ku. Aku mungkin akan cukup lama jadi dosen honorer jika aku memutuskan langsung mendaftar. Atau sebaiknya aku kerja dulu saja, mengumpulkan uang? Aku menceritakan prospek menjadi penginput data, dengan fakta banyak temanku yang belum mendapat pekerjaan. Aku tak pernah menduga ayahku bisa sebijak itu...

”Sekarang, jangan pikir uang dulu. Jangan pikir uang dulu. Mana yang kamu mau?”

Jawabanku tegas: menjadi seorang dosen.

”Ya sudah. Kalo gitu ngapain kerja jadi penginput data?”

Aku terdiam.

”Kalo kamu jadi dosen, kerjanya kan nggak full time. Ada banyak waktu untuk bisa nyambi-nyambi, untuk bisa ngerjain proyek kamu sendiri, ...” ayahku melanjutkan dengan opininya mengenai keuntungan menjadi dosen honorer dibandingkan menjadi penginput data—tanpa keuntungan finansial tentunya. Ibuku menambahkan dengan kegembiraannya karena aku mau menjadi dosen, dan menyatakan betapa cocok aku dengan pekerjaan itu. Jadi, mereka bilang, mereka akan tetap mendukungku secara finansial, sementara aku sibuk berburu beasiswa dengan status sebagai staff pengajar honorer.

Kecemasanku akan ketidakpastian kehidupan pascakuliah surut banyak.

”Kalo rencanamu jadi dosen, jangan lari-lari ke hal lain. Jangan korbankan rencana jangka panjang karena tergiur dengan rencana-rencana jangka pendek.”

Aku tersenyum lebar. Ayahku tidak pernah punya pendidikan sebagai konselor pendidikan. But he’s just the best.

Terima kasih ayah, terima kasih ibu. Sekarang aku lebih mantap melangkah ke masa depan :)

Dan ayahku menambahkan: ”Tapi berarti selama kamu masih jadi dosen honorer, kamu belum bisa nikah.”

TIDAAAAAAAAAKKKKKKKKK!!!

:D


Dedicated to: Mom and Dad, best parents in the world :)

Minggu, 09 Maret 2008

Mereka Datang dan Pergi


Mereka datang dan pergi. Orang-orang dalam hidupku.

Tidak pernah menjadi soal sebenarnya. Hingga tiba-tiba aku membutuhkan uluran tangan, dan mendapati semua orang telah pergi. Pergi dengan caranya masing-masing.

Aku pernah punya seorang sahabat. Ia tinggal tak jauh dariku sekarang. Namun salah satu di antara kami merasa kami terlalu dekat, lantas menjaga jarak. Sempat berkonflik. Dan kini jarak yang tercipta tak bisa dimusnahkan. Aku merindukannya. Ia masih memanggilku dan menghubungiku. Tapi kami tak pernah lagi berbicara banyak, kami tak pernah lagi menghabiskan waktu bersama. Sungguh, aku ingin berbagi banyak hal bersamanya, tapi ia sungguh asing kini. Dan aku takut menyakiti hatinya.

Aku pernah punya seorang sahabat. Ia juga tinggal tak jauh dariku sekarang. Awalnya, aku merasa nyaman dengannya. Namun kemudian kudapati dirinya selalu menjaga jarak dariku. Ia tak pernah membiarkanku berjalan lebih dekat. Lebih sering kami jauh, dan saat-saat tertentu kami bisa begitu dekat. Saat-saat ketika kami bisa menjadi sangat terbuka dan saling berbagi banyak hal. Namun kemudian aku mengecewakannya dan ia marah padaku. Sungguh, aku masih ingin berbagi banyak hal bersamanya, tapi aku tak tahu kapan amarahnya berakhir. Jadi lebih baik kutinggalkan ia sendiri dulu.

Aku pernah punya seorang sahabat. Kami sama-sama orang yang patah hati. Saat itu. Aku memahami penderitaannya, dan aku mencoba mengangkatnya dari kubangan lumpur. Ia menumpahkan seluruh uneg-unegnya padaku. Aku juga membagi beban-bebanku dengannya. Dan sesaat kami berjalan bersama. Namun tidak untuk waktu yang lama. Ia segera menemukan pengganti dan melanjutkan hidup. Aku memberinya selamat. Kami punya pilihan masing-masing dan kami berada di posisi yang berbeda kini. Sungguh, aku masih ingin berbagi dengannya, tapi kini ia sedang berbahagia, ia sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk satu orang. Aku tak mau mengganggunya dengan keluhan-keluhanku.

Aku pernah punya seorang sahabat. Kami kerap berbagi cerita tentang wanita. Bahkan kini pun, sesungguhnya, kami tengah tertimpa persoalan yang serupa. Tapi entah mengapa, ia begitu jauh kini. Ia tak pernah bercerita lagi padaku kini, kecuali jika kami berjumpa, hanya berdua, dan waktunya tepat. Sungguh, aku ingin sekali berbagi dengannya. Namun aku tahu, ia punya bebannya sendiri sekarang, juga dunianya; mungkin lain kali.

Aku pernah punya seorang sahabat. Ia adalah orang yang ceria dan menyenangkan. Kami pernah saling menghilang, dan kami kembali saling menemukan. Aku merasa sangat nyaman bersamanya. Namun kemudian seseorang melukainya, dan kini ia memudar. Ia terlalu kesakitan untuk menganggap kehadiran orang-orang di sekitarnya, termasuk aku. Ia menjadi dingin dan banyak mengeluh. Sungguh, aku sangat ingin berbagi dengannya. Tapi kini ia sedang meresapi semua rasa sakitnya, dan menjauhkan diri dari dunia. Aku tak mau mengganggu proses kesembuhannya.

Aku pernah punya sahabat-sahabat yang bisa menjadi tempat curahan hati. Namun, ketika aku membutuhkan mereka, aku mendapati mereka semua sedang pergi. Pergi dengan caranya masing-masing.

Hanya Sang Puteri sendirilah yang tersisa. Yang bisa memuaskan kerinduan yang begitu dalam.

Semoga saja, aku menjadi lebih kuat. Lebih kuat! Karena aku tak mau memuaskan kerinduanku hanya dengan Sang Puteri seorang. Ia takkan sanggup. Aku juga harus membaginya dengan banyak orang. Tapi mereka semua sedang pergi, pergi dengan caranya masing-masing. Dan aku tak bisa berharap mereka akan pulang.

Aku tak mau memuaskan kerinduanku hanya dengan Sang Puteri seorang. Ia takkan sanggup. Namun aku juga tak bisa membaginya dengan orang lain sekarang. Jadi aku harus bisa mengatasi semua sisanya, seorang diri. Aku harus kuat berdiri sendiri, meskipun pahit dan sulit.

Karena mereka datang dan pergi. Orang-orang dalam hidupku.

Kamis, 06 Maret 2008

Petang Tadi di McD Simpang


Petang tadi di McD Simpang. Aku menemani Mio berbuka puasa.

Kami sama-sama dari seminar Iroh. Yang lainnya berkumpul untuk makan-makan di Bebek Borromeus. Tapi Mio ngidam McD, dan aku berjanji menemaninya. McD pilihan yang bagus, tempatnya cozy, ramai, dan terang. Tidak akan ada yang berprasangka kami selingkuh.

Mio memang sudah menikah. Dan aku salah satu pria terlama yang hadir dalam hidupnya. Kami sama-sama menyebutnya kutukan, tapi kami juga sama-sama mensyukurinya.

Seperti biasanya, jika kami melewatkan waktu berdua, kami berbincang tentang masa lalu. Tentang masa SMP. Tentang masa di mana aku memujanya bak Dewi. Tentang ia yang selalu memberiku harapan besar... lalu tiba-tiba berpacaran dengan orang lain. Meninggalkanku dalam depresi yang mengerikan. Ialah pemegang rekor penyebab patah hatiku yang terlama. Dua tahun. Dua tahun yang penuh siksaan dan derita; air mata dan kemarahan.

Membicarakannya sekarang seperti membicarakan kenangan indah yang layak diingat. Semanis kembang gula.

Dulu aku tergila-gila padanya. Memang Mio seperti magnet. Ia menarik banyak laki-laki. Seperti kata Neno: memikat dengan menjadi dirinya sendiri. Tapi ia tak pernah menyukaiku. Ia pun bergonta-ganti pacar; dan aku harus tetap bersamanya, berkali-kali merasa remuk, hancur, dan tak berarti. Hingga akhirnya, akhir masa SMP itu, beberapa orang sahabatku mencuci otakku: she just doesn't deserve it.

Satu setengah tahun masa SMU pun kuhabiskan dengan membencinya. Dengan menjadikanku sendiri menonjol di antara kawanan. Tapi takdir berbicara lain: seolah kami ditakdirkan untuk tidak berpisah. Kelas 3 SMU kami sekelas. Dan setelah itu... kuliah pun bersama. Ya, kami bersama lagi. Dan semua penderitaan di masa lalu, kini hanya lelucon ringan di tengah makan malam.

Ada banyak orang yang terlibat dalam kemelut hubungan kami sepanjang SMP. Ada Faldian, teman sebangkuku yang Mio lirik pertama kali. Ada Ari, sahabatku yang diam-diam juga menyukai Mio, lalu memanipulasi keadaan. Ada Masrul yang bisa menjadi pacar Mio dua kali dan selalu membuatku cemburu buta, meskipun ternyata ia sendiri tak pernah benar-benar bahagia. Ada Wawan yang selalu mengekor kami dan diam-diam juga menyukai Mio. Ada Nengrika, sahabat Mio yang tergila-gila padaku, lantas akhirnya jadi pelarianku dan aku malah menyakitinya. Ada Medi, sahabat Mio yang akhirnya mendukungku dan ikut-ikutan memusuhi Mio. Dan ada beberapa nama lain.

Namun kini, hanya kami yang tersisa. Yang lain datang dan pergi, namun kami berdua tetap bersama. Hingga kini, hingga ia sudah menjadi seorang istri. Hingga kami makan berdua petang tadi di McD Simpang.

"Tau nggak, Mi..." Aku berkata. "Gua ngerasa bersalah banget sama Nengrika. Dia berharap banyak sama gua, tapi gua malah jadiin dia pelarian. Sementara. Kadang gua mikir, semua penderitaan yang gua alamin sekarang, itu emang pantes buat gua... karena gua pernah memperlakukan orang-orang dengan jahat. Nengrika contohnya."

"Penderitaan, ya..." Ia tersenyum. "Sekarang ngerti kan lo segimana ngerasa bersalahnya gua sama lo?"

Aku mengangguk. "Ya... gua ngerti."

"Jadi... gimana sama 'dia', sekarang?" Tanyanya.

"'Dia'? Tenang aja Mi, dia blom ngalahin rekor lo. Dia masih runner-up lah, bisa menjerat hati gua satu setengah tahun."

Kami berdua tergelak.

"Tau, nggak, kalian berdua tuh sebenernya cocok." Mio berkata lagi. "Gua bakal seneng banget kalo kalian emang jadi. Gua merhatiin kalo kalian bareng... wah lu tuh perhatian banget sama dia. So far gua liat cuman dia yang bisa bikin lo sgitu perhatiannya... keliatan banget."

"Masak, sih? Segitunya?"

"Iya banget. Gua udah kenal lo lama kali. Berapa... sepuluh tahun?"

"Ya... kira-kira. Sepuluh tahun." Aku menerawang. For God's sake... ten years... aku mulai mengingat masa lalu. "Mana pernah kepikiran bahwa suatu hari, kita akan kayak gini. Bisa tetep bareng, makan di McD. Mungkin kalo dulu gua bisa lihat masa depan, n liat lo nikah sama orang laen... gua bunuh diri, kali, ya???"

Dan kami sama-sama tergelak. Sungguh, ternyata penderitaan di masa lalu bisa menjadi cerita klasik yang hangat. Seperti secangkir kopi.

***

Tidak bisa kumungkiri, kehadiran Mio dalam hidupku adalah anugrah tersendiri. Agaknya Tuhan mengabulkan permohonanku saat SMP dulu. Aku memohon agar tetap bisa bersamanya. Dan inilah yang terjadi: bahkan setelah kuhabiskan satu setengah tahun membencinya dan menjaga jarak darinya, pada akhirnya, kami bersama lagi. Namun bukan seperti yang kuharapkan dulu. Kami punya jalan masing-masing sekarang, dan kami masih bisa bersama. Orang-orang di sekeliling kami datang dan pergi, tapi kami selalu bersama. Selalu bersama.

Sepuluh tahun. Ternyata menyenangkan memiliki orang yang mengenali kita begitu lama. Yang menyaksikan begitu banyak perkembangan kita, melalui tahun demi tahun. Dan itulah yang kami alami; kami menyaksikan satu sama lain berubah seiring dengan tahun yang silih berganti. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan, kami saling mengenal dengan sangat baik. Begitu baik hingga berbagi apa pun terasa nyaman. Kami tidak hanya mengetahui sejarah masing-masing; kami menjalani sejarah itu bersama-sama. Dan kami telah sama-sama berkembang jauh. Baginya, aku tak lagi seaneh dulu. Bagiku, ia tak semenggoda dulu.

Dan kami tertawa bersama.

Petang tadi di McD Simpang. Kami berpisah di parkiran motor. Satu lagi momen kami lalui bersama, sambil berkaca ke masa lalu. Motornya pun meluncur keluar dari parkiran.

"Mi!" Aku memanggilnya.

Ia menoleh.

"Salam buat suamimu."



Dedicated to: Mio, the one who remains :)

Senin, 03 Maret 2008

THE FINISH LINE OF SKRIPS#!+ !!!


AKHIRNYA... akhirnya... setelah berkutat dengan skripsi selama lebih dari 13 bulan... setelah 13 bulan berkutat di depan laptop, tanpa pernah sedikitpun menyentuh novel yang tengah gua tulis... SKRIPSI GUA SELESAI! SELESAI! Wow betapa hari ini ga ada yang dramatis sebenernya, tapi rasanya dramatis sekali! Bayangkan! Thirteen f***in months! Kalo bayi udah bukan brojol lagi, tapi bahkan udah mulai merangkak. Dan skripsi ambisius itu baru lahir!

Udah sekitar dua minggu yang lalu gua akhirnya terjun ke pembahasan, berhenti mengutak-atik BAB I - BAB III untuk memuaskan kompulsi gua. Semuanya berjalan cepat. Aku membuat target: akhir Februari harus beres! Awal Maret draft skripsi harus masuk ke dosen pembimbing! Dan kerja rodi pun berjalan. Menginap di Arcamanik 53 dan di Panji pun dilakoni demi mendapatkan suasana kondusif untuk mampu mengerjakan pembahasan lebih cepat. Semuanya bergerak 2x lebih cepat daripada biasanya hingga akhirnya, aku tiba di minggu lalu. OK, got one more week to finish this baby, aku berkata pada diriku sendiri. Masih banyak waktu untuk bisa mengerjakan semuanya. And... look what happened to me:

Senin...
Gua ngangkut Buku Angkatan ke kampus bareng Ndu, habis itu ada rencana nonton JUMPER sama Mio n Hadi. Ternyata eh ternyata, penyerahan buku angkatan itu lama benge, bow. Soalnya pake penandatanganan para artis dulu. Setelah itu, barulah, ditambah Neno, kami berangkat menuju BIP, karena Hadi ingin makan ribs di BEC. Ternyata BIP penuhnya kayak pasar tumpah, jadilah kami mengungsi ke BSM. Dapet film yang jam 5. Beres nonton Mio balik, gua n Neno nemenin Hadi nyari kado buat Listy. Wah repot pisang... milihnya lama... dan akhirnya kami pulang jam... umm... setengah sembilanan? Neno langsung nebeng Hadi, jadi gua balik sorangan langsung ke Dago. Mampir dulu ke Ndu untuk ngambil MP3 Kandi, trus ngobrol dan lalala... nyampe rumah jam sepuluh lebih. Buka laptop, maksud hati mau langsung nyentuh skripsi, tapi terus ada tuyul-tuyul di YM yang ngajak ngobrol sampe jam setengah satu malem. Akhirnya gua terlelap... TANPA MENYENTUH SKRIPSI.

Selasa...
Paginya gua bouldering di Eiger. Siangnya ada janji sama Neno mo nyari kado buat Hadi si Kotaro Minami. Jadilah habis bouldering gua balik, mandi, lalu menunggu kabar dari Neno karena janjian sama doi di DU. Kok ga ada kabar-kabarnya ya? Setelah wangi dan kenyang, gua mulai buka laptop. Gua buka skripsi. Ini dia. Tapi sumpah bouldering bikin ngantuk, n ga ada kabar juga dari Neno, jadi akhirnya gua matiin aja tu laptop tanpa ada perubahan apa-apa di skripsi. Gua berbaring, dunia mulai mengabur, lalu... HP Esial gua berbunyi, Neno minta dijemput. Dengan kesel gua meninggalkan rumah n menjemput Neno di DU. Gua kesel, Neno error. Kami mampir di BTC, tapi gada yang sreg, jadi habis itu muter-muter dan mendarat di ITC. Lumayan di sana nggak cuman dapet kado buat Hadi, tapi juga dapet belanjaan murah (thx buat Neno yang nawarnya sekejam kompeni hehehehehe). Tapi Neno blom puas jadi kami mampir di depan BIP dan beli lagi kado tambahan. Setelah itu baru makan malem di Resep Moyang, di sana sekalian maghrib. Cukup lama di sana soalnya gua mesen 2 menu dalam selang waktu yang berjauhan dan mencatat komposisinya. Dari situ nganter Neno, baru gua sendiri balik. Sampe rumah jam 10-an. buka laptop dengan maksud mengerjakan skripsi... tapi tuyul-tuyul itu datang lagi! Mereka ganggu gua sampe jam 1-an. Setelah itu gua berbaring, lelah, teler, dan gua terlelap... TANPA MENYENTUH SKRIPSI.

Rabu...
Rabu Hadi ultah. Gua dan Neno berencana ngunjungin Hadi untuk nyerahin kado. Ga ada orang lain yang bisa ikut, jadi kami cuman bedua. Sengaja berangkat aga pagian, gua janjian sama Neno jam sepuluhan... karena kami tau sorenya si Hadi ada janji dinner romantis gitu sama E**. Eh ternyata Iqbal juga dateng. Setelah ngasi surprise n nyerahin kado kami semua asyik ngobrol dan mulai main poker. Ga lama kemudian si Hadi ditelepon sama si E** itu, ternyata acara dinner mereka hari itu terancam batal. Hadi tampak kecewa. Gua nyaranin Hadi untuk ngebiarin si E** ngambil keputusan daripada semua pihak ga enak. Hari semakin siang dan akhirnya kami memutuskan makan siang. Where? Hadi masih keukeuh pengen nyobain ribs di BEC. Jadilah kami berlima (plus Iwan) berangkat dengan Blu ke BEC. Hadi akhirnya ngundur jadwal dinnernya, padahal si E** udah bersedia. Yasudah kami makan ribs di BEC yang ternyata rasanya odong-odong. Si Iqbal cabut karena dipanggil sama monkey-nya. Kami pulang berempat ke Arcamanik 53. Di sana lelesehan sampe malem. Tadinya gua pengen cabut jam 7-an, tapi jam 8 ada Hanamichi Sakuragi di Animax! Jadilah gua n Neno nonton dulu sebelum balik. Seperti biasa gua mengantar Neno balik baru gua balik ke Dago. Sampe rumah sekitar jam 10-an. Buka laptop, lagi-lagi ada tuyul-tuyul. sampe jam 12, karena gua kudu nyimpen tenaga buat bouldering keesokan harinya. Dalam keadaan teler gua terlelap... TANPA MENYENTUH SKRIPSI.

Kamis...
Kamis pagi gua bouldering di Eiger. Udah ngomong ama nyokap, hari itu mo di rumah ngerjain skripsi, gada acara. Tapi ternyata eh ternyata, waktu lagi pemanasan untuk bouldering HP Esial gua jerit-jerit. Tumben-tumben si Mimim telepon-telepon pake Esial orang :p minta ditemenin ke Cimohay buat interview, naik angkot. Karena ga tega gua tawarin bawa Blu, meskipun dia yang kudu tanggung bensinnya. OK setuju. Saat gua pulang Mimim ngontak lagi, katanya Ndu juga ikut. Jadilah kami bertiga menuju Cimohay, sempet nyasar-nyasar, sampe akhirnya tiba di tempat interview PAS jam 2, pas waktu interview. Gua parkir. Kami turun. Mimim n Ndu masuk, trus keluar lagi, katanya interviewnya sampe jam 5-an. Gua nungguin di dalem Blu sambil baca-baca bukunya Osho sambil dengerin musik2. Jam 5 beneran beres, kami meninggalkan Cimohay. Mimim n Ndu tampak stres setelah dipaksa mengerjakan berbagai macam tes termasuk Pauli. Gua ajak mereka nonton LOVE tapi Ndu mau balik, katanya mu belajar buat seminar. Jadilah gua nonton bedua sama Mimim. Awalnya mampir di Bragawalk tapi waktu ga dapet parkir baru mikir, kenapa ga nonton di Ciwalk aja ya? Tempat makannya juga lebih jelas. Jadi kami pindah ke Ciwalk. Pesen tiket nonton jam 19:45. Palingan beres jam 9-an. Setelah itu kami makan di Gokana Teppan, Mimim makannya lama, habis itu kami sibuk lari-lari ke bioskop gara-gara ketinggalan :p buset bo, filmnya ternyata lebih dari 2 jam! Beres jam 10, giliran kami lari-larian karena lewat setengah sepuluh malem kosan Mimim digembok :D pake acara Mimim ke ATM dulu, gua mampir pombensin dulu (karena bensin Blu udah sekarat), baru nyampe Bangbayang. Mimim minta dianter sampe ke kosan dan beneran... kosannya udah digembok. Untung dibukain :D gua balik, sampe rumah jam setengah sebelasan. Masuk kamar, ngidupin laptop, mu kerja, eh ada Panjita n Rizky, n mereka malah ngajakin gua conference. Jam 1 malem Rizky tumbang, Panjita masih ngerjain slide buat seminar, n gua ikutan tumbang. Sekali lagi, Saudara-Saudara... TANPA MENYENTUH SKRIPSI.

Jumat...
Panjita seminar! Gua bela-belain dateng ke Jatinangor demi dia n gua janji mu nginep di tempatnya untuk numpang ngerjain skripsi. Beres seminar, gua n Rizky ngekor Panjita ke kosannya. Beres jumatan kami makan mewah di Ikonyo... ditraktir boss yang happy baru seminar :) dari Ikonyo, mampir ke Jatos, gua sama Rizky ngincer Richis, eh sialan tu Superindo ga punya Richis :p jadilah kami belanja makanan-makanan lain. Keluar dari Superindo malah hujan, jadilah kami numpang nongkrong di 21 :D keluar dari 21, lewat KFC, liat jam 15:30... dan terbersit... KFC ATTACK! Nggak laper sih, tapi siapa yang mu nolak traktiran kedua? Jadilah kami makan lagi di KFC. Waktu itu ujan udah berenti. Nah beres makan, ujan malah turun lagi. Akhirnya jadilah kami kembali ke kosan Panji hujan-hujanan :D di kosan Panji kongkow2 ge jelas, sampe akhirnya malem tiba, gua mu ngerjain pembahasan SKRIPSI, n baru nyadar gua butuh buku yang dipinjem sama Windu. Jadilah gua janjian makan malem sama Windu :p Panji mengambil langkah pintar dengan tinggal di kosan, sementara gua n Rizky cukup gegabah dengan pesan makan malam lagi: rasanya makanan ga muat lagi masuk. Hasil shit-up gua sebulan penuh hilang dalam sehari... perut gua kembali membuncit! KURANGAJAR! Setelah makan malam Rizky langsung balik, tapi justru Windu yang ngikut ke kosan Panji. Dan itulah awal bencana. Nyampe kosan Panji, gua kekenyangan, dan teler, gua mutusin langsung berbaring dan nyetel alarm jam 1 malem. Gua pun terlelap... TANPA MENYENTUH SKRIPSI.

Sabtu...
Mimpi buruk menjadi kenyataan. Gua bangun jam 1 malam dan mendapati Windu masih ngoprekin kompinya Panji. Si empunya sih udah molor kayak beruang. Kayak beruang mati, malah, ga gerak :D gua membuka laptop dan akhirnya membuka SKRIPSI. WOW! tapi ternyata tuyul bernama Windu itu menghujani gua dengan obrolan yang menyulitkan gua, dan ujung2nya dia malah nyetel DVD THE PRESTIGE! AAARRRGGGHHH!!! Ga sadar gua malah keikutan nonton, dan waktu akhirnya Windu matiin DVD itu gua udah ga konsen lagi. AAARRRGGGHHH!!! Gua mulai ngantuk lagi dan ketiduran lagi. Kebangun lagi pagi-pagi, udah kudu siap-siap buat balik ke Bandung. Dan gua pun balik ke Bandung naik DAMRI. Di bus DAMRI gua tidur nyenyak banget. Sampe rumah gua terusin dalam bentuk tidur siang. Sorenya gua bangun. Baru gua buka laptop mu ngerjain skripsi, Panjita dateng nitip motor. Disusul Mae. Setelah maghrib mereka baru pergi. Gua merasa teler. Jadilah, setelah makan malam, tanpa ba bi bu lagi, gua membaringkan diri di atas kasur dan terlelap... TANPA MENYENTUH SKRIPSI.

Minggu...
Gua bangun agak siangan. Setelah bermalas-malasan dan sarapan sekenanya, gua baru mengingat sesuatu... D-O-O-O-H! GUA ADA JANJI SAMA EKA! Jadilah gua mulai bersiap-siap. Eka mu dateng minggu pagi buat diskusi fenomenologi. Setelah beres-beres, kenyang, n wangi, gua mulai menunggu Eka. Gua menghidupkan laptop gua dan membuka file skripsi. Tapi baru aja gua baca Bab pertama, tiba-tiba HP Esial gua jerit-jerit. Eka udah di depan! Gua parkirin mobilnya n gua ajak dia masuk. Dan dimulailah diskusi panjang yang diselingi dengan ngemil banyak makanan. Buset deh, ternyata Eka lama juga di rumah gua. Doi baru pulang jam setengah 4 sore. Setelah doi balik gua beresin paviliun gua, beresin gelas-gelas, piring-piring, kertas-kertas, n buku-buku. Lalu gua mengembalikan laptop gua ke meja kerja dan gua menarik nafas dalam. Start jam 4. Dalam waktu kurang dari sehari, gua kudu menyelesaikan semuanya. Nothing will screw me again this time.

MINGGU MALAM S.D. SENIN PAGI...
Gua bekerja dengan kapasitas orang gila. Maksudnya, kerja gila-gilaan. Gua paksa otak n mata gua melewati limit yang sewajarnya. Bab demi bab terlampaui sudah. Pembahasan dikerjakan dengan kecepatan shin-kan-sen. Senin dini hari, jam 2 pagi, gua akhirnya tumbang... dengan bab 4 beres. Jam 6 pagi bangun, setelah sedikit seger gua melanjutkan pekerjaan gua, merapikan lagi Bab 4 lalu melanjutkan Bab 5... dan... JAM SEPULUH PAGI, SEMUANYA BERES.

IS THAT IT???

Gua ga tau kudu ketawa ato nangis. Ternyata gua mampu, ya, mengerjakan sebanyak itu hanya dalam semalam... kalo kepepet??? KENAPA GA DARI DULU YA???

Waktu Panjita datang siang-siang dari Jakarta, gua udah bisa berseri-seri. SKRIPSI GUA AKHIRNYA BERES! Tinggal masukin draf itu ke dosen pembimbing, lalu nunggu jadwal forum. N finally... gua bisa mengerjakan banyak hal lain lagi. Nulis novel yang paling gua rindukan. Nulis blog ini juga, tentunya :p

SO THIS IS THE FINISH LINE OF MY SKRIPSI.

P.s. Blom bener-bener selesai sih. Habis ini masih ada forum, revisi-revisi, pelengkapan administrasi, sidang, dan... AAARRRGGGHHH!!! :D