Rabu, 15 Oktober 2008

Citra Diri?


Sebuah SMS masuk ke ponselku kemarin. Tolong bantuin bikin pertanyaan tentang citra diri dong, begitu kira-kira bunyinya. Minimal 3 deh. Buat pemilihan ketua angkatan. Saat itu juga otakku bekerja--sudah lama ia hanya diam--dan demikian hasilnya:

1. Elemen apa yang paling menggambarkan dirimu: api, udara, air, atau tanah? Kenapa?
2. Binatang apa yang paling menggambarkan dirimu? Kenapa?
3. Kenapa kamu layak dipilih jadi Ketua Angkatan? Apa saja kelebihanmu dan apa saja kekuranganmu?
4. Kalau kamu jadi salah satu bagian pohon, kamu jadi apa? Kenapa?
5. Kamu ingin jadi apa? Kenapa?

Pertanyaan itu kukirimkan segera. Tapi bayang-bayangnya masih membekas di pikiranku. Kira-kira, kalau diberi pertanyaan yang sama, aku akan menjawab apa?

1. Elemen apa yang paling menggambarkan dirimu: api, udara, air, atau tanah? Kenapa?
Api. Karena kata orang, sifat saya berapi-api. Tidak seberapi-api itu sih sebenarnya. Saya api, karena saya cenderung agresif, kasar, dan dalam keadaan lepas kendali, sangat merusak. Menghanguskan. Mampu bergerak cepat, sigap, tanggap pada stimulus dan perubahan, cekatan, tapi ya itu, celakanya: berarti juga impulsif dan kadang bertindak terlalu cepat. Oh, ya, saya api.

2. Binatang apa yang paling menggambarkan dirimu? Kenapa?
Saya nggak tahu pasti jawabannya, tapi kayaknya Elang deh. Elang seekor predator, seekor pemangsa, tanggap, cepat, cekatan. Matanya tajam, ia mengamati dari ketinggian, dari langit, sabar melakukan observasi. Ia fokus; saat ia menemukan mangsa, ia melakukan gerakan cepat dan menyergap mangsa tanpa ampun. Seperti itu juga saya; sabar melakukan observasi, namun begitu mendapatkan kesempatan, saya cepat melakukan tindakan agresif--meskipun, seperti elang, tindakan saya juga bisa luput. Oh, ya, satu lagi; elang mungkin bisa membuat banyak binatang lain iri karena ia yang mampu mengarungi langit yang paling tinggi. Tapi ia selalu sendiri, dan kesepian.

3. Kenapa kamu layak dipilih jadi Ketua Angkatan? Apa saja kelebihanmu dan apa saja kekuranganmu?
Ya entah! Saya nggak mau jadi Ketua Angkatan ;p tapi kalau kelebihan, saya yakin, adalah orientasi saya pada kesempurnaan... meskipun itu kadang jadi bumerang. Kelebihan, karena saya berorientasi pada hasil; dan hasil kerja saya boleh dibilang memiliki kualitas di atas rata-rata hasil kerja orang lain. Saya punya dedikasi atas kesempurnaan yang lebih dibandingkan orang lain. Tapi orientasi pada kesempurnaan ini juga bisa jadi kekurangan; pertama, saya perlu kerja ekstra keras dan hal tersebut bisa menyebabkan terbengkalainya hal lain, dan dua, saya bisa menuntut terlalu banyak pada orang lain, karena tidak semua orang mampu mengikuti tuntutan kesempurnaan saya. Kelebihan lainnya, saya cepat belajar dan mampu melakukan analisa yang tidak sembarangan; kekurangan lainnya, saya cukup labil secara emosional, dan, seperti api, cenderung merusak saat lepas kendali :p

4. Kalau kamu jadi salah satu bagian pohon, kamu jadi apa? Kenapa?
Jadi batang? Batang yang menjadi alasan pohon berdiri tegak, bahkan saat dihembus angin. Batang juga yang menjadi penghubung antara akar-akar yang mengumpulkan mineral dari bumi, dengan dedaunan yang memproduksi makanan. Batang menjadi penegak sekaligus penghubung antarbagian. Dan tidak seperti daun, batang tidak gugur dan berganti dengan yang baru; ia hanya bertumbuh semakin besar, konsisten, menumbuhkan semakin banyak cabang. Oh, ya, satu lagi: batang juga sendirian. Tidak seperti akar atau daun yang bergerombol, satu pohon hanya punya satu batang. Banyak cabang dan ranting, mungkin, tapi tetap satu batang. Satu batang mampu menegakkan satu pohon.

5. Kamu ingin jadi apa? Kenapa?
Ingin jadi seorang pendidik. Dosen, mungkin. Tapi kesannya, dosen terlalu sempit; seorang pengajar formal di universitas. Aku ingin jadi seorang pendidik, bukan sebatas dosen. Menjadi pendidik berarti tidak hanya menjadi pengajar formal di ruang-ruang kelas. Tapi juga menjadi teman yang menunjukkan jalan bagi anak didik, mendampingi mereka meniti jalan, dan mendorong anak didik untuk terus mencapai kemajuan. Menginspirasi mereka, mengembangkan mereka untuk menjadi individu yang lebih baik, bukan sekadar lebih cerdas atau lebih bisa menghafal materi kuliah. Menularkan nilai-nilai kehidupan pada mereka, agar mereka menularkannya pada lebih banyak lagi orang. Wow, menjadi pendidik berarti menjadi biang virus ;p

Jadi, kesimpulannya, bagaimana citra diri saya?

Saya fokus dan berorientasi pada kesempurnaan. Untuk itu, saya bisa bersabar diam melakukan pengamatan, lalu fokus pada satu hal dan mengambil tindakan yang cepat, cekatan, bahkan cenderung agresif. Namun sifat agresif itu bisa menjadi bumerang. Kadang sifat agresif membuat saya terlalu cepat mengambil tindakan bahkan cenderung merusak. Sifat agresif dan emosional yang lepas kendali bisa membuat saya justru merusak banyak hal.

Terlalu berorientasi pada kesempurnaan juga membuat saya kesepian. Tuntutan kesempurnaan membuat saya berjarak dari kebanyakan orang. Apalagi saya bisa bersikap agresif untuk mencapai kesempurnaan, dan saya makin berjarak dari orang saat saya malah lepas kendali dan justru bukan meraih kesempurnaan, melainkan kerusakan. Dan karenanya mungkin saya lebih cocok disebut penyendiri.

Sebenarnya, saya ingin membuat perubahan. Saya ingin cukup kuat membuat perubahan untuk banyak orang, banyak pihak, secara konsisten. Seperti batang pohon seorang diri mendukung banyak akar, cabang, ranting, dan daun. Dan karenanya saya ingin jadi pendidik.

Kalau kamu gimana???

Rabu, 08 Oktober 2008

Laskar Pelangi: Sebuah Review


Catatan: review i
ni saya tulis untuk memenuhi usulan/permintaan dari sahabat saya Sigit

Saat saya mendengar bahwa Laskar Pelangi digarap oleh Riri Riza, saya memang sempat mengerutkan alis. Yakin, Riri Riza? Kenapa Riri Riza? Mau tidak mau saya langsung teringat Gie, salah satu film favorit saya sepanjang zaman. Tapi film itu cenderung suram dan sunyi. Apakah Laskar Pelangi yang memuat dunia anak-anak yang ceria ini akan dibuat semuram dan sesunyi Gie? Atau ini akan jadi proyek gagal seperti 3 Hari Untuk Selamanya?

Ternyata fil
m ini tidak sebooming Ayat-Ayat Cinta. Dan saya segera memahami alasannya saat saya menontonnya: film ini, dalam beberapa aspek, sangat mirip dengan Gie, yang dipuji banyak kritikus film dan meraih beberapa penghargaan di Eropa tapi kurang laku di sini. Terutama penekanannya pada "potret" ketimbang "alur". Bertolak belakang dari film-film mainstream yang membangun alur baku dengan drama 3 babak (pengenalan tokoh-konflik-penyelesaian), film ini lebih berfokus untuk membangun atmosfir atau suasana dengan scene-scene pendek. Riri Riza masih dengan gaya penceritaan yang "sunyi"--banyak menggunakan simbol-simbol sinematografik, gestur-gestur nonverbal para tokoh, sampai adegan-adegan serupa yang diulang-ulang ketimbang menyampaikan secara gamblang melalui mulut para tokoh. Untuk itu saya menggolongkannya sebagai film yang "cerdas".

Sayangnya (lagi-lagi saya membandingkannya dengan Gie), film ini lemah dalam dialog. Terutama pada separuh bagian awal. Akibatnya, pembangunan karakter tokoh dengan gaya potret pun terseok-seok. Simak misalnya dialog antara Pak Harfan dengan Pak Zul yang terkesan tidak nyata dan sangat kaku. Dan kelemahan dialog ini bukan hanya satu atau dua, tapi cukup banyak hingga cukup mengganggu penghayatan saya atas potret yang dihadirkan melalui film. Paling tidak selama separuh awal film saya merasa *SANGAT* bosan, karena film ini tidak punya alur dan, celakanya, karakter tokoh-tokohnya tidak terbangun gara-gara dialog yang kaku. Untunglah hal ini terkompensasi dengan separuh lainnya yang sangat memikat. Adegan-adegan lucu, menegangkan, sedih, norak, dan banyak lagi, terangkai membentuk satu potret kehidupan yang utuh. Melalui adegan pendek Riri Riza mampu membangkitkan emosi yang biasanya dilakukan oleh sutradara lain melalui alur yang panjang. Dan karena tidak membutuhkan waktu lama untuk membangkitkan emosi penontonnya, Riri Riza dapat membangkitkan bermacam emosi, mulai dari lucu sampai sangat sedih, bahkan secara berganti-ganti. Saya bisa tertawa di film ini; tapi yang terhebat, saya bisa menangis dan merinding hanya oleh satu adegan pendek. Bravo untuk Laskar Pelangi--dan Riri Riza--untuk keahliannya yang satu itu: membangkitkan emosi hanya melalui adegan pendek.

Overall, untuk saya, film ini bagus dan menginspirasi, tapi mungkin masih terlalu idealis untuk orang awam. Para penikmat film mainstream yang sangat menyukai alur, mungkin tidak akan menyukai film ini. Terlebih orang-orang yang menginginkan semuanya gamblang dalam dialog maupun adegan. Film ini juga bukan film yang cocok untuk mencari hiburan ringan atau seru-seruan belaka, karena justru menuntut penontonnya melakukan penghayatan mendalam atas simbol-simbol yang ditampilkan. Namun untuk orang-orang yang menyukai film "cerdas", mereka yang suka menyelami karakter tokoh, film ini bagus, meskipun tidak luar biasa, karena punya cacat dalam dialog. Bagus, asalkan Anda bisa melewati dulu separuh awal yang membosankan. Percayalah, Anda *HARUS* melihat keseluruhan film untuk mengatakannya bagus; Anda hanya melihat bagian terburuk kalau hanya bertahan setengahnya :)