Kamis, 31 Januari 2008

"I Only Have Eyes. Not Heart"


Assalamualaikum
Jal,dah tau?Dr 29Jan-4Feb ada pamern buku di Landmark. Biasany Mizan ada doublediskon jm 2an.Sy sih pilih bsk k sana jam sgituan.C'mon!Hunting!

SMS pertama ke nomor GSM hari ini datang pukul 19:11. Dari seorang sahabat. Sebuah ajakan yang menarik. Aku juga berniat mencari buku-buku lain sekelas buku "Kitab Pengobatan"-nya Osho. Sebuah buku yang sangat menginspirasi. Aku menyambut ajakan itu dengan antusias sekaligus menanyakan siapa saja yang diajaknya. Ia pun menguraikan nama-nama, dan... ah, ada nama itu dalam list-nya. Nama yang sedikit saja membuatku panas.

Ohh... sm org itu y. "Dy" lg yg ngajakin?

Ternyata bukan. Tapi keengganan telah menyergapku. Orang itu, orang yang bisa mendapatkan perhatiannya. Orang yang bisa mendapat ajakannya untuk pergi. Huh, aku saja tidak pernah. Sial, aku cemburu. Apa yang akan terjadi kalau aku ikut besok? Apa yang harus kusaksikan? Menyaksikan keakraban mereka dari dekat dan merasakan diriku sendiri megap-megap tenggelam? Bodoh. Bodoh. Aku merasa malas. Sebaiknya aku mengasingkan diri saja, berubah menjadi tuli dan buta, agar dunia tetap sesederhana yang aku rasakan.

Kemudian aku terdiam. Demikiankah kehendakku?

Kalau diingat-ingat, aku antusias saat pertama kali mendapatkan ajakan itu. Itukah kehendakku? Atau, apakah itu hanya bentuk ketergantunganku pada lingkungan sosialku: aku ikut karena mereka yang mengajak? Sementara mencari buku itu hanya rasionalisasi? Argh, aku jadi bingung. Ketika aku merasa enggan dan merasa ingin mengasingkan diri saja, betulkah itu akibat pengaruh adanya "orang itu"? Atau sesungguhnya keputusanku untuk mengasingkan diri dulu merupakan kehendak asliku? Mengapa batasan antara kehendak dan pengaruh ketergantungan begitu tipis? Sulit untuk mengklasifikasikannya sekarang. Padahal, dengan kebebasan untuk memilih, aku ingin memilih kehendak dan melepaskan kebergantungan. Tetapi bagaimana aku bisa memilih kehendak, dan melepaskan kebergantungan, jika aku tak tahu betul mana yang mana?

Urusan begini membuat aku bertambah tumpul.

Kadang, ketika orang bercerita padaku mengenai kebingungannya dalam mengklasifikasikan sesuatu, aku selalu berkata bahwa yang terpenting adalah menjalaninya apa adanya ketimbang memikirkan dan mengklasifikasikannya. Namun dalam kasus ini, yang bagaimanakah yang menjalani apa adanya? Ikut atau tidak ikut?

How dilemmatic.

Mendadak aku teringat penjelasan dasar psikologi eksistensial mengenai kesehatan mental: semakin seseorang terbuka pada dunianya, semakin sehat orang yang bersangkutan. Jadi? Aku berpikir, awalnya aku memang antusias untuk ikut. Biarlah itu menjadi keputusanku. Lalu, apapun yang terjadi nanti, biarlah. Aku akan membiarkan diriku terbuka pada segala kemungkinan ketimbang mencoba menutup diri dan berpura-pura tidak tahu-menahu.

Aku jadi teringat insiden 30 Desember. Ketika aku dan "dia" bertengkar karena aku merasa dia membohongiku, dan itu tentang seseorang yang pernah begitu berarti baginya; seolah dibandingkan dirinya, bayangan pun aku bukan. Pertengkaran itu membuatku begitu enggan dan malas. Namun mundur juga bukan pilihan. Akan sangat bodoh jika aku tak datang dalam salah satu peristiwa terbesar dalam hidupnya hanya karena hal sesepele itu. Dan beberapa orang telah menggantungkan dirinya pada kehadiranku. Maka sore itu, sebelum berangkat, kuukir tato pada kedua lenganku:

I only have eyes.
Not heart


Sebuah tato yang bisa menolongku melalui semuanya dengan baik. Tidak bahagia, tapi juga tidak buruk. Tanpa hati, aku tak bisa merasa. Dan sepanjang waktu itu aku mendoktrin diriku sendiri dengan pesan itu. Aku tak punya hati. Aku hanya punya mata untuk melihat, untuk membidik, dan untuk memotret, menghasilkan foto-foto bagus untuk momen besar dalam hidupnya.

I only have eyes, not heart. Mungkin bisa kugunakan besok. Aku tak akan perlu merasakan banyak sakit saat aku menyaksikan mereka dalam keadaan yang tak kuharapkan--keadaan yang bisa membuatku cemburu. Aku hanya akan punya mata. Untuk melihat, mengincar, dan memilih buku-buku yang aku perlukan.

I only have eyes.
Not heart


Minggu, 27 Januari 2008

Pilgrimage to Tangkubanparahu

Bandung pada hari minggu shubuh terasa sepi. Dalam kegelapan itu aku menapaki jalan raya seorang diri. Sudah bulat tekadku, takkan ada yang menghentikan langkahku berziarah ke Tangkubanparahu. Bahkan kalaupun aku harus sendiri. Selama duduk di dalam angkutan kota yang lengang, kupandangi cahaya kota yang berwarna-warni. Kuingat kembali misi perjalanan ini. Sebuah ziarah. Sebuah perjalanan untuk menemukan kembali makna kesendirian dan kemandirian seorang anak manusia. Ya, manusia, pada dasarnya, memang sendirian. Kehadiran orang lain hanyalah ilusi. Selama beberapa tahun terakhir aku telah menggantungkan diriku pada ilusi itu--dan akupun ikut menjadi ilusi. Ketika mereka lenyap, aku menjadi tiada, kosong, nan hampa.

Aku tersenyum getir. Nieztsche benar. Menjadi manusia unggul adalah menjadi ia yang berdiri di puncak gunung. Membawahi segalanya. Tapi puncak gunung adalah tempat yang sepi, dan ia pastilah kesepian di atas sana. Sendirian.

Harga yang harus dibayar untuk menjadi seorang manusia yang utuh.

Seorang diri, aku berganti angkutan. Aku memandangi langit yang menjadi biru dan matahari yang terbit di ufuk timur. Tidak ada penyesalan. Aku turun di pos bawah Tangkubanparahu dan mulai mencari angkutan untuk sampai ke atas. Tidak, aku tidak akan jalan. Aku harus menyimpan tenaga untuk mengelilingi kawah. Tidak ada angkutan sepagi itu. Lalu kulihat Rizky dan Nuki melintas. Mereka sudah sampai. Pada saat yang hampir bersamaan ojeg yang kutunggu tiba. Agak mahal memang, tapi tidak apa-apa. Semuanya terasa menarik, mengingat biasanya semua menjadi terlalu mudah dengan mobil. Maaf, Blu... bukannya aku tak menyukaimu. Aku hanya perlu berziarah--menempa diriku sendiri dengan segala kesederhanaan dan kesendirian.

"Sendirian aja, A'?" Tanya sang tukang ojeg selama ia membawaku naik ke Kawah Ratu. "Ya." aku sedang bosan dengan teman-teman. Aku sedang bosan dengan kemudahan. Aku sedang muak dengan kebersamaan. Aku akan menempa diriku sendiri dengan kesederhanaan dan kesendirian... lalu kulihat Honda Vario merah yang sangat kukenal bergerak di depan ojeg yang kutumpangi. Panji dan Mbak Vita. Panji melihatku, dan kami berhenti di spot yang sama di samping Kawah Ratu. Sesaat kami heboh dengan awan yang berarak di atas kota Subang dan kota Bandung: kami berada di atas awan! Kusempatkan diri melewatkan waktu bersama mereka berempat. Memotreti mereka. Mbak Vita merengek ingin makan. Kami pun berhenti di sebuah warung di tepi kawah. Kupandangi langit biru dan kawah luas. Misi itu masih menantiku, masih berbisik lirih padaku: misi menyelesaikan satu putaran kawah, seorang diri. "Kalian bakal ke Kawah Domas?" Tanyaku pada Rizky. Mereka memang berniat ke Kawah Domas. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk membatalkan saja niatku berkeliling kawah. Kebetulan aku belum pernah ke Kawah Domas dan aku terlanjur asyik dengan mereka--tapi tidak! Itu godaan namanya. Godaan untuk sekali lagi menggantungkan diriku pada orang lain. Aku kemari bukan bersama mereka, aku kemari seorang diri. Aku kemari untuk menyelami kesendirian, untuk menjadi seorang manusia yang utuh.

"OK." Aku mengangguk. "Kalo gitu gua cabut ya." Mereka sudah tahu aku akan mengelilingi kawah seorang diri. Kususuri jalan setapak itu dengan langkah cepat. Tidak ada penyesalan, tidak ada penyesalan. Tersirat sedikit rasa takut saat harus melintasi hutan lebat di hadapan sendirian. Kita memang sering menjadi berani saat bersama orang lain, tetapi menjadi pengecut saat seorang diri. Aku tidak boleh mundur. Aku harus berani menjadi individu yang sendirian. Setengah perjalanan keliling kawah, aku tiba di dataran luas yang sepi. Hanya aku, angin, burung-burung, pasir putih, dan langit biru. Hening. Hanya aku dan alam raya. Kuhirup nafas dalam. Kuangkat kamera. Dalam kesendirian itu, kuusahakan melihat hal-hal yang tampak padaku seorang. Aku mulai memotret. Lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Semua kesepian itu, semua kesendirian itu, semua keheningan itu. Kuhirup nafas dalam sekali lagi, aku merasa begitu nikmat. Seolah waktu berhenti berdetak dan aku berdiri di atas tanah Surga.

Separuh perjalanan berikutnya adalah tantangan yang lebih keras lagi. Medan mendaki mulai menguras stamina. Ketika kemiringan medan bertambah curam, aku baru menyadari bahwa hujan beberapa hari terakhir membuat tanahnya begitu licin. Sebuah medan yang berbahaya, mengingat aku membawa kamera SLR. Terkadang aku harus berhenti dan menimbang-nimbang bagian yang harus kupijak, karena beberapa terasa terlalu licin dan berbahaya. Kuarahkan pandanganku ke belakang. Medan pasir jauh di bawah sana terasa mudah untuk ditapaki. Terpikir olehku untuk kembali saja. Lalu apa? Menyusul mereka ke Kawah Domas? Kalau aku menyerah di sini, aku juga menyerah pada kebergantunganku pada orang lain. Keberanian menjadi individu yang sendiri dan bebas adalah keberanian menyelesaikan lingkaran ini tanpa melihat ke belakang. Kutarik nafas dalam dan kulemparkan kamera ke atas batu. Aku mulai mendaki dan bantuan kedua tangan, berpegangan pada akar-akar dan batu-batuan. Beberapa menit mendaki, aku tiba di puncak pendakian curam. Kuhadiahi diriku sendiri dengan air minum. Kulihat jejak yang telah kutapaki. Mereka terasa mudah dan menyenangkan, tapi aku bangga bisa berdiri di tempat itu. Panji, Rizky, Nuki, Mbak Vita... mereka terasa begitu jauh. Mereka pastilah sedang berbahagia bersama. Aku sendirian di alam raya, tapi aku juga bahagia. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasakan, kesendirian itu ternyata bisa sangat nikmat.

Ketika akhirnya aku harus memasuki hutan rimbun seorang diri, aku tak lagi ragu. Kesendirian tak lagi terasa sebagai ancaman, tetapi sebagai anugerah. Aku terus berjalan sambil menikmati segalanya, menikmati kesendirian. Lingkaran pun kuselesaikan dalam waktu satu setengah jam--lebih cepat satu jam dibandingkan jika aku mengajak orang lain. Aku turun dan tiba di tempat pertama aku turun dari ojeg. Mission accomplished! Aku telah mengelilingi kawah itu seorang diri; sekaligus menaklukkan ketergantunganku pada kehadiran orang lain. Awan mulai turun, kawasan Kawah Ratu mulai gelap. Kulihat angkutan-angkutan yang siap mengangkut para pengunjung ke pos bawah. Salah satunya bersiap berangkat. Aku melangkah menghampirinya, siap pulang ke rumah, tetapi kemudian intuisiku melakukan sesuatu di luar dugaan.

Kuangkat ponselku dan kuhubungi Rizky. "Ky, lagi di Kawah Domas?"
"Iya. Kalo mo nyusul, nyusul aja."

Aku bergegas. Setengah berlari, kutelusuri jalan menurun menuju Kawah Domas dalam waktu 20 menit. Di Kawah Domas, aku mendapati mereka berempat sedang mencelupkan kaki dalam kolam air belerang hangat--aku segera bergabung dengan mereka. Dan menikmati kebersamaan itu. Kami menghabiskan waktu merendam kaki, berfoto-foto, ejek-ejekan, memasak telur dalam kolam air belerang panas, dan menapaki jalan setapak menuju jalan raya. Kami bersama-sama mampir di warung Yoghurt enak di dekat pasar Lembang dan memesan berbagai macam makanan. Kami sama-sama mampir di warung sate kelinci dan menyaksikan berita wafatnya Pak Suharto. Baru setelah waktu menunjukkan pukul 15:15, setelah kami merasa begitu lelah, kami memutuskan untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku kembali duduk di dalam angkutan kota yang lengang. Hujan mulai turun rintik-rintik. Aku tersenyum sendiri. Hari ini perjalanan ziarah ke Tangkubanparahu mengajarkan lebih banyak daripada yang kuperkirakan sebelumnya. Manusia memang, pada dasarnya, sendirian. Namun kebersamaan bukanlah dosa; melainkan kebergantungan. Selama kebersamaan tidak mengharuskan individu mengorbankan kehendak pribadinya, ia layak dinikmati. Aku tersenyum semakin lebar. Aku tahu langkahku ke depan nanti. Hanya dengan memenuhi kehendaknya sebagai seorang individu yang sendirian, seseorang dapat menikmati kebersamaan tanpa menjadi tergantung padanya.

Di bawah hujan, aku kembali menikmati kesendirian. Ah, betapa kesendirian begitu nikmat! Dalam kesadaran akan kesendirianlah kebersamaan tidak lagi menjajah sehingga dapat dinikmati secara utuh.

Tiba di rumah, aku mendapati bahwa Morrie baru saja bertunas. Ah, lihat dirimu, Cintaku... kau sedang tumbuh dan berkembang. Kau tengah melahirkan sebuah harapan baru.

Semoga demikian juga dengan diriku, dengan hatiku.


Bandung, 27 Januari 2008,
with special thanks to: Panji, Rizky, Nuki, n Mbak Vita.



Rizal

p.s.: Semoga ini bukan hanya euforia sesaat. Semoga.

Rabu, 23 Januari 2008

Surat Cinta untuk Morrie


Morrie, Cintaku...

Sejak kuputuskan untuk mengubah pola hidupku, aku memimpikanmu. Aku melihatmu, terduduk manis di atas meja kerjaku. Kau yang menjadi kehidupan kedua, dalam ruang sempit yang menjadi tempat tinggalku. Kita telah ditakdirkan untuk bertemu.

Di manakah aku harus mulai mencarimu? Awalnya kurencanakan mencarimu ke pasar bunga. Namun, sungguh, betapa Semesta memiliki caranya sendiri untuk mempertemukanku denganmu. Pertanyaanku pada Windu mengenai sosok yang cocok untukku, telah membawaku padamu. Rabu itu, Rabu sore yang cerah, kami mendatangi Sang Guru. Ada begitu banyak anggrek di halaman rumahnya. Tapi aku tahu, aku tidak mencari anggrek. Aku tahu, kamulah yang akan duduk di meja kerjaku.

"Tanaman di sini banyak, itu tinggal pilih." Sang Guru berkata, menunjuk pada anggrek-anggreknya. Namun bukan mereka yang kucari. Mungkin kau berada di tempat lain. Jadi kutanyakan saja pendapatnya, "Saya mencari tanaman dengan aura yang cocok dengan aura saya." Pria itu tersenyum lucu. Beliau bangkit dan mengambil simpanannya di bawah koleksi anggrek. "Ini. Anthurium. Gelombang Cinta."

Beliau menyerahkanmu padaku.

Ya, kaulah yang kerap hadir dalam mimpiku. Kaulah yang selalu kulihat, duduk manis di atas meja kerjaku. Kau begitu mungil dan rapuh, namun dalam dirimu kutemukan dunia yang belum pernah kujamah. Sebuah ketenangan yang agung, yang begitu dalam untuk kuselami, kuarungi, tanpa batas. Sebuah kesederhanaan yang begitu bersahaja, tapi memikat. Aku langsung tahu, itulah engkau. Aku telah menemukanmu.

"Ini berapa, Pak?" tanyaku. Aku akan berusaha menebusmu, semampu uang di dalam dompetku. Namun beliau berkata, "Ambil aja. Rawat baik-baik."

Aku tak lagi terkejut dengan pemberian itu. Sudah sejak sebelumnya aku tahu, aku telah ditakdirkan untuk menemukanmu. Mungkin Sang Guru tahu, kau pun telah lama menungguku. Dan menemukanmu di tengah hiruk-pikuk kota dan kesibukan manusia, bagaikan menemukan oase di tengah gurun pasir. Bersamamu, perjalanan yang jauh ditempuh oleh sepeda motor, menjadi singkat dan segar tanpa beban. Orang-orang memandangimu dengan iri, bahkan ada yang berani menawarmu. Namun tentu saja, aku tak akan melepasmu; Sang Guru telah mengamanahkanmu padaku, karena kita memang ditakdirkan untuk bersatu. Sore itu, sore yang cerah, kami pun menamaimu: Morrie.

Morrie, izinkan aku mencintaimu, setulus hati. Izinkan aku merawatmu, menyaksikanmu tumbuh, berkembang, berakar dan bertunas. Ajari aku kesederhanaan hidupmu. Kau yang tak pernah meminta. Kau yang mengambil secukupnya, dan memberikan manfaat bagi dunia. Kau yang begitu lugu dan rapuh, namun dengan keheningan yang mampu menaklukkan jiwa-jiwa yang berkobar-kobar. Kau yang senantiasa berkembang, akar maupun tunas, tanpa pertimbangan-pertimbangan yang menyiksa dan menghambat. Kau yang sederhana, tapi teramat menghanyutkan.

Morrie, izinkan aku mencintaimu, dengan sederhana,
sesederhana engkau menjalani hidup bersahaja.

Bandung, 23 Januari 2008



- Rizal

Selasa, 22 Januari 2008

The Strong and The Weak


The strong sees power and potence;

the weak views the world as a threat.

The strong inspires joy and friendliness;
the weak drowns in desperation and endless questions.

The strong is bigger than the world and the heaven as one;
the weak has no empty room left for gratitude.

The strong is one to be genuine;
and the weak pretends a lot and rots inside.

The strong stands proudly and makes himself everytime, with bravery;
the weak forever drifts aimlessly and falls prey into the unfair destiny.

And so the strong sparks love, passion, and the spirit of life, illuminating every corner of the universe with light;
while the weak, he can never have enough even for himself... even if he owns the world!

Be strong!

Mata yang Berbeda

Tolong, bantu saja aku,
untuk melihat dengan mata yang berbeda.

Sudah menjadi kebiasaanku,
menemukan duri dalam daging.
dan begitulah kehidupanku sehari-hari.
melihat duri dalam setiap hal, setiap celah,
setiap pengalaman,
dan segenap kehidupan.

Dan aku melihat duri di wajahmu.

Tolong, jangan salahkan aku,
sudah menjadi kebiasaanku menjadi demikian.
Alih-alih meludahiku,
Berjalan sajalah kamu,
di sampingku.
Dan bantu aku melihat,
dengan mata yang berbeda;
mungkin kau bisa tunjukkan, bukan duri yang berdiam di sana,
tapi permata, yang cahaya tajam kemilau.

Tolong, bantu saja aku,
dan ajari aku,
untuk melihat dengan mata yang berbeda.
Dan aku akan mencintaimu selamanya.

Senin, 21 Januari 2008

Keterombang-ambingan: Anugerah atau Kutukan?

Harus saya akui, posting ini saya buat sebagai refleksi saya terhadap comment sahabat saya Djati (Teki Otaku) pada posting "Baik dan Buruk, Benar dan Salah"--bukan sebagai perlawanan, tapi karena tulisannya memberikan insight bagi saya. Setidaknya, baris ini yang menarik bagi saya:

"... aku mencoba menganggap manusia itu hidup di tempat yang gelap, kaki tidak menyentuh tanah, manusia bergerak tanpa percepatan (jadi manusia ga ngerti sedang bergerak ke arah mana). Nah, jikalau benar manusia hidup dalam alam seperti itu, yakinlah tidak akan ada kehidupan. Manusia tidak akan bisa bertahan tanpa mengetahui arah yang sedang mereka jalani."

Entah apa pendapat Anda... tapi menurut saya, pendapat Djati tersebut sangat menggambarkan esensi kondisi manusia. Manusia hidup di tempat yang gelap dan tidak tahu arah yang ditujunya. Ia senantiasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Coba kita ingat bersama, tidakkan kita pernah mengalami keterombang-ambingan itu? Kita memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sulit sekali dijawab: siapakah kita? Apa makna keberadaan kita di dunia? Apa tujuan hidup kita? Dan apakah yang akan terjadi nanti, saat kita mati? Saat kita berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, tidakkah kita seperti manusia yang digambarkan oleh Djati itu--manusia yang hidup di tempat gelap, terombang-ambing, tanpa arah?

Mungkin Anda tidak setuju dengan pendapat saya: ah, saya tahu kok jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu! Hehe, saya tidak menyalahkan Anda. Dalam perspektif tertentu, saya sependapat dengan Djati bahwa manusia tidak akan bisa bertahan tanpa mengetahui arah yang sedang mereka jalani. Karena itulah, menurut saya, dalam keterombang-ambingan, kita mulai mencari pegangan... dan lihat! Kita mulai menemukan pegangan, tapi berbeda-beda! Ada yang kemudian mengadopsi nilai-nilai agama dan menjadikannya pedoman hidup. Ada yang membiarkan dirinya tenggelam dalam konformitas, selalu ikut arah orang lain di sekitarnya. Ada yang melarikan diri pada kesibukan dan ia pun kehilangan kesadaran akan keterombang-ambingannya. Yang lainnya--seperti saya--terus mencari dan menetapkan arah untuk dirinya sendiri. Ternyata, meskipun menyulitkan, keterombang-ambingan justru membuat manusia bisa menjadi apa saja! Dalam keterombang-ambingan manusia akhirnya memutuskan arahnya sendiri, sesuai dengan pilihannya. Berbeda dengan tumbuhan, misalnya, yang arahnya sudah dituliskan oleh DNA-nya: ia akan tumbuh, menjadi tua, dan mati, sesederhana itu. Tapi tidak manusia. Justru keterombang-ambinganlah yang membuat manusia berjaya.

Jadi, mana yang benar? Apakah keterombang-ambingan akan membuat manusia tidak bertahan--seperti yang dikatakan Djati--atau justru akan membuat manusia berjaya--seperti yang saya katakan?

Sebagaimana semangat saya dalam blog ini, saya tidak berminat menyatakan mana yang benar dan mana yang salah. Adalah pilihan kita masing-masing untuk mempercayai salah satunya. Mana yang mau Anda percaya: keterombang-ambingan sebagai anugerah? Atau keterombang-ambingan sebagai kutukan?

Lihat! Bahkan kita bisa terombang-ambing di antara kedua pernyataan itu, dan pada akhirnya kita harus mengakhirinya dengan membuat pilihan--paling tidak untuk diri kita sendiri! Kalaupun Anda bilang masa bodoh dan tidak mau memilih... bukankah anda baru saja memilih untuk masa bodoh dan tidak memilih???

Saya sendiri lebih suka berpikir keterombang-ambingan sebagai keduanya sekaligus. Di satu sisi, ia adalah kutukan yang menakutkan tapi memberikan kita ruang gerak yang begitu bebas. Keterombang-ambingan menjadi anugerah--hanya apabila kemudian kita memilih, paling tidak untuk diri kita sendiri :)

Jadi, apa pilihan Anda?

Sabtu, 19 Januari 2008

Malam Minggu dan Halaman Waktu

"... berarti malam minggu sekarang kamu nggak ke mana-mana dong?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh ayahku. Aku angkat bahu. Ah, kapan juga aku malam mingguan? Sejak putus dari Trisa sekitar 2,5 tahun yang lalu, aku tak pernah lagi malam mingguan. OK, mungkin itu berlebihan, karena kadang-kadang aku melewatkan malam minggu bersama teman-teman, atau bersama someone special yang belum bisa juga kuraih (halah).

Aku melewatkan malam minggu ini bersama keluargaku. Ibuku sedang wisata ke Jogja, jadilah anggota keluarga yang lain terlantar asupan gizinya dan harus mencari makan di luar. Sekalian merayakan hari ulang tahun adikku Nadia, kami makan mewah di Raa Cha di Ciwalk, disambung dengan dua scoop eskrim lezat di Pisa. Tadinya, sepulang dari Ciwalk, aku berniat mampir ke Mimim di Bangbayang untuk mengembalikan MP4 player-nya yang kupinjam, tapi, eh, dasar bodoh: Mimim bilang padaku ia masih di konser angklung. Iya, lah, ya... dasar pikun! Aku mengatakan pada ayahku kalau aku tidak jadi turun di Bangbayang. Dan meluncurlah pertanyaan sakti tadi dari bibir ayahku.

Aku pikir pertanyaan ayahku menggelikan juga. Kenapa juga mampir di Bangbayang harus dianggap malam mingguan. OK, ayahku memang bisa menjadi sangat norak dalam urusan semacam itu. Dan memang di matanya akulah anak yang paling ganjen dan paling sering gonta-ganti pasangan. Tapi percayalah, Dad... tidak seperti itu kok! Mungkin terkesan gonta-ganti pasangan karena memang aku melewatkan hari-hariku dengan orang yang berbeda-beda, and most of them are girls... tapi kalau untuk urusan hati, memang hanya ada satu nama untuk satu waktu. Nama yang terakhir sudah bertahan lebih dari setahun. The Princess. Dan aku tak sesering itu menghabiskan malam minggu bersamanya. Nyaris tidak pernah, malah. Ia masih seperti bintang yang sangat jauh, nyaris tidak teraih...

Memikirkan malam minggu mengingatkanku akan sesuatu yang telah lama tidak aku miliki. Seseorang yang bisa selalu kuajak pergi. Ya... tidak ada lagi yang bisa kujemput pada Sabtu sore, lalu kuajak berkeliling dan makan di luar sebelum pulang di malam hari, kemudian pulang sambil tak henti-hentinya mengucap syukur. Sudah 2,5 tahun aku kehilangan hal semacam itu. Dan mengingatnya sekarang, entah kenapa, menimbulkan sepercik kekosongan, dan kesedihan, jauh di lubuk hati yang dalam. Ada sesuatu yang telah lama hilang, dan hingga kini belum terganti.

Tapi kenapa harus merasa sedih atau kosong ketika melewatkan malam minggu tanpa someone special?

Bagi semesta, waktu hanyalah siklus yang konstan. Setiap harinya pohon pinus, kupu-kupu, belalang, semut, cacing, kucing, pohon jambu, dan banyak lagi, hanya mengenal siang dan malam. Tumbuhan melakukan fotosistesis setiap matahari bersinar dan melakukan respirasi ketika malam tiba. Binatang-binatang mencari makan pada siang hari dan beristirahat pada malam hari, sementara binatang malam melakukan hal yang sebaliknya. Aktifitas atom malah lebih tidak mengenal pembagian waktu. Elektron mengelilingi inti atom tanpa mengenal waktu. Bagi mereka semua--tumbuhan, binatang, bahkan atom--waktu hanyalah siklus keabadian. Tak ada kenangan, tak ada harapan tentang masa depan. Mereka hidup dalam kekinian.

Jadi, kenapa harus merasa sendirian saat melewatkan malam minggu tanpa seseorang yang sangat berarti?

Berbeda drai tumbuhan, binatang, atom, dan benda-benda lain di alam semesta, manusia membagi waktu menjadi kompartemen-kompartemen kecil, seperti membagi sawah luas menjadi petak-petak, atau membagi narasi yang panjang menjadi paragraf-paragraf dan halaman-halaman. Demikian pula dengan waktu: manusia membaginya menjadi milenium, abad, dasawarsa, windu, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik, bahkan milidetik. Dengan kenangan dan pikiran akan masa depan, manusia perlu mengotak-ngotakkan waktu dan membagi aktifitas mereka secara rapi di dalamnya. Tidak seperti benda-benda lain yang menjadi ada apa adanya, manusia dapat mencapai banyak hal dengan membagi aktifitasnya dalam halaman-halaman waktu.

Namun ternyata mengotak-ngotakkan waktu memberikan konsekuensi tertentu pada manusia. Seiring dengan kesadaran akan adanya waktu yang telah lalu dan masa yang akan datang, kita tergerak untuk mengikatkan harapan-harapan tertentu pada fragmen-fragmen waktu. Waktu tidak lagi dipandang sebagai kontinuitas yang lancar dan berkesinambungan, tetapi sebagai fragmen-fragmen yang memiliki makna yang berbeda-beda, yang saling terhubung dalam rangkaian sebab-akibat. Akibatnya, Senin pagi dimaknakan sebagai waktu yang menyebalkan, malam minggu dipandang sebagai saat melewatkan waktu bersama pasangan, dan minggu pagi dipandang sebagai waktu yang enak untuk berleha-leha. Padahal, semesta sendiri tidak mengenal Senin, Sabtu, dan Minggu, dan banyak lagi fragmen waktu yang diciptakan oleh manusia; mereka hanya mengalami waktu dinamis yang terus mengalir, tanpa henti.

Jadi, sekali lagi, adakah alasan untuk merasa sedih?

Andaikata kita bisa mengotak-ngotakkan waktu untuk mengatur aktifitas tanpa harus mengikatkan harapan-harapan kita padanya... sehingga kita bisa berkembang dan tetap menikmati waktu, apa adanya...

Kamis, 17 Januari 2008

Baik dan Buruk, Benar dan Salah

"... menurut survei situs yang paling banyak diakses di Indonesia adalah situs yang kurang baik."

Baris tersebut adalah bagian dari pesan yang masuk ke Inbox Friendster saya hari ini. Saya jadi bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan kurang baik? Lalu yang bagaimana yang dianggap baik? Ketika saya mendapatkan pertanyaan tersebut, jawaban saya mungkin berbeda dari orang yang mengirimi saya pesan itu. Atau mungkin berbeda pula dari orangtua saya. Bahkan mungkin dari Anda. Apa yang baik, apa yang kurang baik, tampaknya begitu relatif dan individual. Jadi siapa yang punya hak istimewa mengatakan sesuatu baik atau kurang baik secara universal?

Kurang lebih 10 menit sebelumnya, sahabat saya Panji menelepon saya. Beliau tiba-tiba bertanya apakah saya berencana OL di YM malam ini. Ya, saya akan OL, seperti biasa. Kemudian beliau bercerita pada saya bahwa Rizky, sahabatnya, baru saja masuk angin dan dikerok habis-habisan sebelum pulang. Panji bilang dia sudah meminta Rizky agar beristirahat dan tidak perlu membuka YM, tapi mungkin saja Rizky membandel dengan tetap membuka YM dan bukannya beristirahat. Kalau Rizky OL, Panji minta saya untuk membuat Rizky beristirahat. Oh, well, bukan permintaan yang sulit dan muluk. Dan belakangan saya lihat Rizky memang tidak OL. Jadi ya tidak masalah.

Namun hal yang membuat saya lebih tertarik adalah perhatian Panji yang begitu besar pada Rizky. Perhatian yang begitu besar hingga Panji berharap Rizky melakukan sesuatu untuk kebaikannya sendiri, yakni beristirahat. Tapi ada satu hal yang mengganjal di sini; betulkah istirahat merupakan hal yang terbaik bagi Rizky sendiri? Kalau akhirnya dia memang memilih untuk OL dan bukannya beristirahat, apakah itu hal yang kurang baik atau hal yang buruk? Kalau hal itu memang bukan hal yang baik, tidakkah pantas kita bertanya, menurut siapa?

Siang tadi, saya menyaksikan Metro Realitas. Bahasan kali ini adalah ISLAM SEJATI yang diklaim sebagai aliran sesat. Namun siapakah yang mengatakan mereka aliran sesat? Sederhananya, mereka adalah orang yang mengaku beragama Islam yang benar. Namun apakah standar kebenaran di sini? Kitab Suci Al-Qur'an? Tapi bahkan aliran Islam Sejati pun mengklaim ajaran mereka berdasarkan Al-Qur'an. Jadi perbedaannya terletak pada interpretasi. Tapi sekarang, siapa yang bisa menjamin, bahwa interpretasi satu pihak benar secara universal, sementara interpretasi pihak lainnya salah secara universal? Apa yang membuat satu pemahaman benar sementara yang lainnya salah? Kasus tersebut mengingatkan saya akan disertasi A. G. Muhaimin (1995) yang menganggap bahwa penelitian C. Geertz (1961) tentang Islam di Jawa tidaklah netral karena berpihak pada Islam modern dengan melabeli Islam lainnya sebagai "abangan". Satu sudut pandang Muhaimin yang saya suka adalah penekanannya pada niat subyektif: budaya Islam adalah yang diinterpretasi dan diyakini oleh pelakunya sebagai sesuatu yang berdasar pada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Konsekuensinya, sesuatu menjadi Islam atau menyimpang dari Islam jika individu yang menganutnya berpikir demikian.

Baik dan Buruk. Benar dan Salah. Saya mulai berpikir bahwa semua itu, sesungguhnya, hanyalah alat kekuasaan. Tentu ada baik dan buruk serta benar dan salah bagi saya, bagi Anda, dan bagi kita semua masing-masing. Namun ketika saya mengatakan sesuatu baik bagi orang lain, saya sesungguhnya tengah menjajah orang tersebut dengan pemikiran saya. Saya sesungguhnya tengah menjajah kebebasan seorang individu untuk memilih yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri. Benar dan salah lebih dahsyat lagi; perang kebenaran, sesungguhnya, adalah usaha saling menjajah di mana label "benar" berusaha membunuh label "salah". Padahal, apa yang benar bagi saya, mungkin salah bagi Anda!

Seketika itu juga saya bercermin. Hey Puteriku, adakah aku telah perneh menjajahmu dengan kata baik dan buruk, benar dan salah? Hanya kau yang tahu, apa yang terbaik dan apa yang benar untukmu. Tak seharusnya aku menjajahmu lagi. Ah, tolong ingatkan aku untuk itu. Aku akan tetap menyampaikan pandanganku padamu, tapi aku takkan berusaha lagi membuatmu mengadopsi kebaikan dan kebenaran versiku. Terkutuklah aku bila aku menjajah kemandirianmu.

Ah, Baik dan Buruk. Benar dan Salah. Betapa mengherankannya mereka.

Tapi siapkah manusia hidup tanpa mereka?

Selasa, 15 Januari 2008

Preface: Bercermin dan Berefleksi

Sebenarnya saya sudah lama tertarik untuk menulis blog, saya juga sudah beberapa kali membuat posting di blog friendster, tapi kemudian saya berhenti dengan alasan sibuk untuk hal lain. Saat ini terutama, skripsi. Namun baru sekarang saya berpikir bahwa menulis blog bukan hanya merupakan sebuah kesenangan; ia adalah sebuah kebutuhan.

Seorang sahabat bernama Windu pernah mengatakan pada saya bahwa pengetahuan sesungguhnya berasal dari dalam, bukan dari luar. Saya ingat saya pernah tertawa pada ucapannya itu. Betapa solipsistik! Kalau pengetahuan berasal dari dalam, manusia pastilah jadi autis karena asyik dengan pikirannya sendiri dan bukan pada dunia obyektif! Begitu pikir saya saat itu.

Namun sekarang, harus saya akui, bahwa ia separuh benar. Setidaknya bagi saya. Insight pertama saya datang ketika saya mendalami fenomenologi eksistensial untuk skripsi saya. Tesis utama fenomenologi bahwa kesadaran bersifat intensional memberikan pemahaman bahwa aktifitas kesadaran dan obyek kesadaran merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya, apa pun yang berada di luar sana bukanlah apa-apa kecuali kita menyadarinya. Artinya, pengetahuan pun tidak mungkin obyektif; ia menjadi pengetahuan karena adanya aktifitas kesadaran kita, faktor internal kita.

Insight berikutnya lebih mendalam dan lebih berpusat pada pengalaman pribadi. Beberapa saat yang lalu, dalam keadaan emosional yang remuk-redam, saya mencari ilmu ikhlas. Saya menghubungi banyak orang yang mungkin mengetahui jawabannya. Ternyata jawabannya bukan saya dapatkan dari orang-orang itu, tapi dari obrolan ringan dengan seorang teman saya yang bernama Gege. Memang orang-orang itu bisa menjelaskan pada saya apa itu ikhlas, tapi obrolan ringan dengan Gege-lah yang membuat saya bisa ikhlas. Dan saya segera sadar mengapa. Orang-orang yang saya hubungi memberikan atau menyuntikkan konsep-konsep atau pemahaman mereka mengenai keikhlasan dan untuk itu mereka jadi pengkhotbah yang menyampaikan pengetahuan eksternal pada saya. Gege, di sisi lain, hanya jadi tempat curhat yang bereaksi secara jujur terhadap kata-kata saya. Namun justru inilah nilai lebihnya; ketika Gege menjadi orang jujur dan bukan orang "bijak", ia tidak menjadi penceramah melainkan menjadi cermin. Ia tidak memberikan saya pengetahuan eksternal, tapi ia membuat saya bercermin pada diri saya sendiri dan berpaling pada refleksi untuk pengetahuan internal. Secara tidak langsung ia menyadarkan saya bahwa yang penting bukanlah pengetahuan dari luar sana, tapi apa yang bisa saya lihat pada diri saya sendiri.

Lagipula, pengetahuan dan kemampuan memang berbeda. Orang yang tahu prinsip-prinsip mengemudi belum tentu bisa mengemudi. Mengetahui konsep-konsep keikhlasan tidaklah cukup untuk membuat kita mampu ikhlas.

The Knight's Black Box adalah nama dari jurnal lama saya, tempat saya menyimpan berbagai macam pemikiran atas hidup sehari-hari. Saya ingat betapa benda itu bisa menjadi media refleksi yang sangat mengagumkan. Awalnya saya berniat "menghidupkannya" kembali ketika saya mulai terpikir untuk membuatnya menjadi blog. Tentu blog punya nilai satu tambah yang membuatnya menjadi media refleksi yang lebih hebat dibandingkan jurnal lama saya; ia memungkinkan orang lain seperti Anda untuk memberikan komentar. Artinya, jika jurnal lama saya bisa menjadi media refleksi bagi saya, maka harapan saya blog ini bisa menjadi media refleksi bagi saya dan Anda--bagi kita semua.

Selamat membaca. Selamat berefleksi. Dan jangan lupa berikan komentar Anda--supaya kita bisa saling bercermin :)

Salam,



- Rizal