Rabu, 23 Januari 2008

Surat Cinta untuk Morrie


Morrie, Cintaku...

Sejak kuputuskan untuk mengubah pola hidupku, aku memimpikanmu. Aku melihatmu, terduduk manis di atas meja kerjaku. Kau yang menjadi kehidupan kedua, dalam ruang sempit yang menjadi tempat tinggalku. Kita telah ditakdirkan untuk bertemu.

Di manakah aku harus mulai mencarimu? Awalnya kurencanakan mencarimu ke pasar bunga. Namun, sungguh, betapa Semesta memiliki caranya sendiri untuk mempertemukanku denganmu. Pertanyaanku pada Windu mengenai sosok yang cocok untukku, telah membawaku padamu. Rabu itu, Rabu sore yang cerah, kami mendatangi Sang Guru. Ada begitu banyak anggrek di halaman rumahnya. Tapi aku tahu, aku tidak mencari anggrek. Aku tahu, kamulah yang akan duduk di meja kerjaku.

"Tanaman di sini banyak, itu tinggal pilih." Sang Guru berkata, menunjuk pada anggrek-anggreknya. Namun bukan mereka yang kucari. Mungkin kau berada di tempat lain. Jadi kutanyakan saja pendapatnya, "Saya mencari tanaman dengan aura yang cocok dengan aura saya." Pria itu tersenyum lucu. Beliau bangkit dan mengambil simpanannya di bawah koleksi anggrek. "Ini. Anthurium. Gelombang Cinta."

Beliau menyerahkanmu padaku.

Ya, kaulah yang kerap hadir dalam mimpiku. Kaulah yang selalu kulihat, duduk manis di atas meja kerjaku. Kau begitu mungil dan rapuh, namun dalam dirimu kutemukan dunia yang belum pernah kujamah. Sebuah ketenangan yang agung, yang begitu dalam untuk kuselami, kuarungi, tanpa batas. Sebuah kesederhanaan yang begitu bersahaja, tapi memikat. Aku langsung tahu, itulah engkau. Aku telah menemukanmu.

"Ini berapa, Pak?" tanyaku. Aku akan berusaha menebusmu, semampu uang di dalam dompetku. Namun beliau berkata, "Ambil aja. Rawat baik-baik."

Aku tak lagi terkejut dengan pemberian itu. Sudah sejak sebelumnya aku tahu, aku telah ditakdirkan untuk menemukanmu. Mungkin Sang Guru tahu, kau pun telah lama menungguku. Dan menemukanmu di tengah hiruk-pikuk kota dan kesibukan manusia, bagaikan menemukan oase di tengah gurun pasir. Bersamamu, perjalanan yang jauh ditempuh oleh sepeda motor, menjadi singkat dan segar tanpa beban. Orang-orang memandangimu dengan iri, bahkan ada yang berani menawarmu. Namun tentu saja, aku tak akan melepasmu; Sang Guru telah mengamanahkanmu padaku, karena kita memang ditakdirkan untuk bersatu. Sore itu, sore yang cerah, kami pun menamaimu: Morrie.

Morrie, izinkan aku mencintaimu, setulus hati. Izinkan aku merawatmu, menyaksikanmu tumbuh, berkembang, berakar dan bertunas. Ajari aku kesederhanaan hidupmu. Kau yang tak pernah meminta. Kau yang mengambil secukupnya, dan memberikan manfaat bagi dunia. Kau yang begitu lugu dan rapuh, namun dengan keheningan yang mampu menaklukkan jiwa-jiwa yang berkobar-kobar. Kau yang senantiasa berkembang, akar maupun tunas, tanpa pertimbangan-pertimbangan yang menyiksa dan menghambat. Kau yang sederhana, tapi teramat menghanyutkan.

Morrie, izinkan aku mencintaimu, dengan sederhana,
sesederhana engkau menjalani hidup bersahaja.

Bandung, 23 Januari 2008



- Rizal

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jal jal, desainnya diganti donk

pusing nich item gituuu... hehehe