Sabtu, 19 Januari 2008

Malam Minggu dan Halaman Waktu

"... berarti malam minggu sekarang kamu nggak ke mana-mana dong?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh ayahku. Aku angkat bahu. Ah, kapan juga aku malam mingguan? Sejak putus dari Trisa sekitar 2,5 tahun yang lalu, aku tak pernah lagi malam mingguan. OK, mungkin itu berlebihan, karena kadang-kadang aku melewatkan malam minggu bersama teman-teman, atau bersama someone special yang belum bisa juga kuraih (halah).

Aku melewatkan malam minggu ini bersama keluargaku. Ibuku sedang wisata ke Jogja, jadilah anggota keluarga yang lain terlantar asupan gizinya dan harus mencari makan di luar. Sekalian merayakan hari ulang tahun adikku Nadia, kami makan mewah di Raa Cha di Ciwalk, disambung dengan dua scoop eskrim lezat di Pisa. Tadinya, sepulang dari Ciwalk, aku berniat mampir ke Mimim di Bangbayang untuk mengembalikan MP4 player-nya yang kupinjam, tapi, eh, dasar bodoh: Mimim bilang padaku ia masih di konser angklung. Iya, lah, ya... dasar pikun! Aku mengatakan pada ayahku kalau aku tidak jadi turun di Bangbayang. Dan meluncurlah pertanyaan sakti tadi dari bibir ayahku.

Aku pikir pertanyaan ayahku menggelikan juga. Kenapa juga mampir di Bangbayang harus dianggap malam mingguan. OK, ayahku memang bisa menjadi sangat norak dalam urusan semacam itu. Dan memang di matanya akulah anak yang paling ganjen dan paling sering gonta-ganti pasangan. Tapi percayalah, Dad... tidak seperti itu kok! Mungkin terkesan gonta-ganti pasangan karena memang aku melewatkan hari-hariku dengan orang yang berbeda-beda, and most of them are girls... tapi kalau untuk urusan hati, memang hanya ada satu nama untuk satu waktu. Nama yang terakhir sudah bertahan lebih dari setahun. The Princess. Dan aku tak sesering itu menghabiskan malam minggu bersamanya. Nyaris tidak pernah, malah. Ia masih seperti bintang yang sangat jauh, nyaris tidak teraih...

Memikirkan malam minggu mengingatkanku akan sesuatu yang telah lama tidak aku miliki. Seseorang yang bisa selalu kuajak pergi. Ya... tidak ada lagi yang bisa kujemput pada Sabtu sore, lalu kuajak berkeliling dan makan di luar sebelum pulang di malam hari, kemudian pulang sambil tak henti-hentinya mengucap syukur. Sudah 2,5 tahun aku kehilangan hal semacam itu. Dan mengingatnya sekarang, entah kenapa, menimbulkan sepercik kekosongan, dan kesedihan, jauh di lubuk hati yang dalam. Ada sesuatu yang telah lama hilang, dan hingga kini belum terganti.

Tapi kenapa harus merasa sedih atau kosong ketika melewatkan malam minggu tanpa someone special?

Bagi semesta, waktu hanyalah siklus yang konstan. Setiap harinya pohon pinus, kupu-kupu, belalang, semut, cacing, kucing, pohon jambu, dan banyak lagi, hanya mengenal siang dan malam. Tumbuhan melakukan fotosistesis setiap matahari bersinar dan melakukan respirasi ketika malam tiba. Binatang-binatang mencari makan pada siang hari dan beristirahat pada malam hari, sementara binatang malam melakukan hal yang sebaliknya. Aktifitas atom malah lebih tidak mengenal pembagian waktu. Elektron mengelilingi inti atom tanpa mengenal waktu. Bagi mereka semua--tumbuhan, binatang, bahkan atom--waktu hanyalah siklus keabadian. Tak ada kenangan, tak ada harapan tentang masa depan. Mereka hidup dalam kekinian.

Jadi, kenapa harus merasa sendirian saat melewatkan malam minggu tanpa seseorang yang sangat berarti?

Berbeda drai tumbuhan, binatang, atom, dan benda-benda lain di alam semesta, manusia membagi waktu menjadi kompartemen-kompartemen kecil, seperti membagi sawah luas menjadi petak-petak, atau membagi narasi yang panjang menjadi paragraf-paragraf dan halaman-halaman. Demikian pula dengan waktu: manusia membaginya menjadi milenium, abad, dasawarsa, windu, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik, bahkan milidetik. Dengan kenangan dan pikiran akan masa depan, manusia perlu mengotak-ngotakkan waktu dan membagi aktifitas mereka secara rapi di dalamnya. Tidak seperti benda-benda lain yang menjadi ada apa adanya, manusia dapat mencapai banyak hal dengan membagi aktifitasnya dalam halaman-halaman waktu.

Namun ternyata mengotak-ngotakkan waktu memberikan konsekuensi tertentu pada manusia. Seiring dengan kesadaran akan adanya waktu yang telah lalu dan masa yang akan datang, kita tergerak untuk mengikatkan harapan-harapan tertentu pada fragmen-fragmen waktu. Waktu tidak lagi dipandang sebagai kontinuitas yang lancar dan berkesinambungan, tetapi sebagai fragmen-fragmen yang memiliki makna yang berbeda-beda, yang saling terhubung dalam rangkaian sebab-akibat. Akibatnya, Senin pagi dimaknakan sebagai waktu yang menyebalkan, malam minggu dipandang sebagai saat melewatkan waktu bersama pasangan, dan minggu pagi dipandang sebagai waktu yang enak untuk berleha-leha. Padahal, semesta sendiri tidak mengenal Senin, Sabtu, dan Minggu, dan banyak lagi fragmen waktu yang diciptakan oleh manusia; mereka hanya mengalami waktu dinamis yang terus mengalir, tanpa henti.

Jadi, sekali lagi, adakah alasan untuk merasa sedih?

Andaikata kita bisa mengotak-ngotakkan waktu untuk mengatur aktifitas tanpa harus mengikatkan harapan-harapan kita padanya... sehingga kita bisa berkembang dan tetap menikmati waktu, apa adanya...

Tidak ada komentar: