Minggu, 27 Januari 2008

Pilgrimage to Tangkubanparahu

Bandung pada hari minggu shubuh terasa sepi. Dalam kegelapan itu aku menapaki jalan raya seorang diri. Sudah bulat tekadku, takkan ada yang menghentikan langkahku berziarah ke Tangkubanparahu. Bahkan kalaupun aku harus sendiri. Selama duduk di dalam angkutan kota yang lengang, kupandangi cahaya kota yang berwarna-warni. Kuingat kembali misi perjalanan ini. Sebuah ziarah. Sebuah perjalanan untuk menemukan kembali makna kesendirian dan kemandirian seorang anak manusia. Ya, manusia, pada dasarnya, memang sendirian. Kehadiran orang lain hanyalah ilusi. Selama beberapa tahun terakhir aku telah menggantungkan diriku pada ilusi itu--dan akupun ikut menjadi ilusi. Ketika mereka lenyap, aku menjadi tiada, kosong, nan hampa.

Aku tersenyum getir. Nieztsche benar. Menjadi manusia unggul adalah menjadi ia yang berdiri di puncak gunung. Membawahi segalanya. Tapi puncak gunung adalah tempat yang sepi, dan ia pastilah kesepian di atas sana. Sendirian.

Harga yang harus dibayar untuk menjadi seorang manusia yang utuh.

Seorang diri, aku berganti angkutan. Aku memandangi langit yang menjadi biru dan matahari yang terbit di ufuk timur. Tidak ada penyesalan. Aku turun di pos bawah Tangkubanparahu dan mulai mencari angkutan untuk sampai ke atas. Tidak, aku tidak akan jalan. Aku harus menyimpan tenaga untuk mengelilingi kawah. Tidak ada angkutan sepagi itu. Lalu kulihat Rizky dan Nuki melintas. Mereka sudah sampai. Pada saat yang hampir bersamaan ojeg yang kutunggu tiba. Agak mahal memang, tapi tidak apa-apa. Semuanya terasa menarik, mengingat biasanya semua menjadi terlalu mudah dengan mobil. Maaf, Blu... bukannya aku tak menyukaimu. Aku hanya perlu berziarah--menempa diriku sendiri dengan segala kesederhanaan dan kesendirian.

"Sendirian aja, A'?" Tanya sang tukang ojeg selama ia membawaku naik ke Kawah Ratu. "Ya." aku sedang bosan dengan teman-teman. Aku sedang bosan dengan kemudahan. Aku sedang muak dengan kebersamaan. Aku akan menempa diriku sendiri dengan kesederhanaan dan kesendirian... lalu kulihat Honda Vario merah yang sangat kukenal bergerak di depan ojeg yang kutumpangi. Panji dan Mbak Vita. Panji melihatku, dan kami berhenti di spot yang sama di samping Kawah Ratu. Sesaat kami heboh dengan awan yang berarak di atas kota Subang dan kota Bandung: kami berada di atas awan! Kusempatkan diri melewatkan waktu bersama mereka berempat. Memotreti mereka. Mbak Vita merengek ingin makan. Kami pun berhenti di sebuah warung di tepi kawah. Kupandangi langit biru dan kawah luas. Misi itu masih menantiku, masih berbisik lirih padaku: misi menyelesaikan satu putaran kawah, seorang diri. "Kalian bakal ke Kawah Domas?" Tanyaku pada Rizky. Mereka memang berniat ke Kawah Domas. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk membatalkan saja niatku berkeliling kawah. Kebetulan aku belum pernah ke Kawah Domas dan aku terlanjur asyik dengan mereka--tapi tidak! Itu godaan namanya. Godaan untuk sekali lagi menggantungkan diriku pada orang lain. Aku kemari bukan bersama mereka, aku kemari seorang diri. Aku kemari untuk menyelami kesendirian, untuk menjadi seorang manusia yang utuh.

"OK." Aku mengangguk. "Kalo gitu gua cabut ya." Mereka sudah tahu aku akan mengelilingi kawah seorang diri. Kususuri jalan setapak itu dengan langkah cepat. Tidak ada penyesalan, tidak ada penyesalan. Tersirat sedikit rasa takut saat harus melintasi hutan lebat di hadapan sendirian. Kita memang sering menjadi berani saat bersama orang lain, tetapi menjadi pengecut saat seorang diri. Aku tidak boleh mundur. Aku harus berani menjadi individu yang sendirian. Setengah perjalanan keliling kawah, aku tiba di dataran luas yang sepi. Hanya aku, angin, burung-burung, pasir putih, dan langit biru. Hening. Hanya aku dan alam raya. Kuhirup nafas dalam. Kuangkat kamera. Dalam kesendirian itu, kuusahakan melihat hal-hal yang tampak padaku seorang. Aku mulai memotret. Lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Semua kesepian itu, semua kesendirian itu, semua keheningan itu. Kuhirup nafas dalam sekali lagi, aku merasa begitu nikmat. Seolah waktu berhenti berdetak dan aku berdiri di atas tanah Surga.

Separuh perjalanan berikutnya adalah tantangan yang lebih keras lagi. Medan mendaki mulai menguras stamina. Ketika kemiringan medan bertambah curam, aku baru menyadari bahwa hujan beberapa hari terakhir membuat tanahnya begitu licin. Sebuah medan yang berbahaya, mengingat aku membawa kamera SLR. Terkadang aku harus berhenti dan menimbang-nimbang bagian yang harus kupijak, karena beberapa terasa terlalu licin dan berbahaya. Kuarahkan pandanganku ke belakang. Medan pasir jauh di bawah sana terasa mudah untuk ditapaki. Terpikir olehku untuk kembali saja. Lalu apa? Menyusul mereka ke Kawah Domas? Kalau aku menyerah di sini, aku juga menyerah pada kebergantunganku pada orang lain. Keberanian menjadi individu yang sendiri dan bebas adalah keberanian menyelesaikan lingkaran ini tanpa melihat ke belakang. Kutarik nafas dalam dan kulemparkan kamera ke atas batu. Aku mulai mendaki dan bantuan kedua tangan, berpegangan pada akar-akar dan batu-batuan. Beberapa menit mendaki, aku tiba di puncak pendakian curam. Kuhadiahi diriku sendiri dengan air minum. Kulihat jejak yang telah kutapaki. Mereka terasa mudah dan menyenangkan, tapi aku bangga bisa berdiri di tempat itu. Panji, Rizky, Nuki, Mbak Vita... mereka terasa begitu jauh. Mereka pastilah sedang berbahagia bersama. Aku sendirian di alam raya, tapi aku juga bahagia. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasakan, kesendirian itu ternyata bisa sangat nikmat.

Ketika akhirnya aku harus memasuki hutan rimbun seorang diri, aku tak lagi ragu. Kesendirian tak lagi terasa sebagai ancaman, tetapi sebagai anugerah. Aku terus berjalan sambil menikmati segalanya, menikmati kesendirian. Lingkaran pun kuselesaikan dalam waktu satu setengah jam--lebih cepat satu jam dibandingkan jika aku mengajak orang lain. Aku turun dan tiba di tempat pertama aku turun dari ojeg. Mission accomplished! Aku telah mengelilingi kawah itu seorang diri; sekaligus menaklukkan ketergantunganku pada kehadiran orang lain. Awan mulai turun, kawasan Kawah Ratu mulai gelap. Kulihat angkutan-angkutan yang siap mengangkut para pengunjung ke pos bawah. Salah satunya bersiap berangkat. Aku melangkah menghampirinya, siap pulang ke rumah, tetapi kemudian intuisiku melakukan sesuatu di luar dugaan.

Kuangkat ponselku dan kuhubungi Rizky. "Ky, lagi di Kawah Domas?"
"Iya. Kalo mo nyusul, nyusul aja."

Aku bergegas. Setengah berlari, kutelusuri jalan menurun menuju Kawah Domas dalam waktu 20 menit. Di Kawah Domas, aku mendapati mereka berempat sedang mencelupkan kaki dalam kolam air belerang hangat--aku segera bergabung dengan mereka. Dan menikmati kebersamaan itu. Kami menghabiskan waktu merendam kaki, berfoto-foto, ejek-ejekan, memasak telur dalam kolam air belerang panas, dan menapaki jalan setapak menuju jalan raya. Kami bersama-sama mampir di warung Yoghurt enak di dekat pasar Lembang dan memesan berbagai macam makanan. Kami sama-sama mampir di warung sate kelinci dan menyaksikan berita wafatnya Pak Suharto. Baru setelah waktu menunjukkan pukul 15:15, setelah kami merasa begitu lelah, kami memutuskan untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku kembali duduk di dalam angkutan kota yang lengang. Hujan mulai turun rintik-rintik. Aku tersenyum sendiri. Hari ini perjalanan ziarah ke Tangkubanparahu mengajarkan lebih banyak daripada yang kuperkirakan sebelumnya. Manusia memang, pada dasarnya, sendirian. Namun kebersamaan bukanlah dosa; melainkan kebergantungan. Selama kebersamaan tidak mengharuskan individu mengorbankan kehendak pribadinya, ia layak dinikmati. Aku tersenyum semakin lebar. Aku tahu langkahku ke depan nanti. Hanya dengan memenuhi kehendaknya sebagai seorang individu yang sendirian, seseorang dapat menikmati kebersamaan tanpa menjadi tergantung padanya.

Di bawah hujan, aku kembali menikmati kesendirian. Ah, betapa kesendirian begitu nikmat! Dalam kesadaran akan kesendirianlah kebersamaan tidak lagi menjajah sehingga dapat dinikmati secara utuh.

Tiba di rumah, aku mendapati bahwa Morrie baru saja bertunas. Ah, lihat dirimu, Cintaku... kau sedang tumbuh dan berkembang. Kau tengah melahirkan sebuah harapan baru.

Semoga demikian juga dengan diriku, dengan hatiku.


Bandung, 27 Januari 2008,
with special thanks to: Panji, Rizky, Nuki, n Mbak Vita.



Rizal

p.s.: Semoga ini bukan hanya euforia sesaat. Semoga.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

zal... ini postingan yang membuat aku 'suffocated'.. aku dapat dengan jelas dan gamblang merasakan emosi yang berdinamika di diri rizal.. dari awal yang tidak terlalu berharap yang justru membawa rizal ke sebuah pembelajaran yang berharga.. menunjukkan bahwa harapan itu masih ada (banyak malahan) bertebaran di sekitar kita, tinggal bagaimana kita menyikapinya.. di posting ini saya bisa benar-benar merasakan ketulusan di hati rizal untuk berusaha memberikan yang terbaik untuk diri rizal dan orang lain.. duh zal, saya tidak terlalu pintar memainkan kata-kata.. yang pasti, tulisan rizal yang ini memancarkan ketulusan yang sudah lama tidak saya rasakan.. im very suffocated.. thx my friend..