Kamis, 17 Januari 2008

Baik dan Buruk, Benar dan Salah

"... menurut survei situs yang paling banyak diakses di Indonesia adalah situs yang kurang baik."

Baris tersebut adalah bagian dari pesan yang masuk ke Inbox Friendster saya hari ini. Saya jadi bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan kurang baik? Lalu yang bagaimana yang dianggap baik? Ketika saya mendapatkan pertanyaan tersebut, jawaban saya mungkin berbeda dari orang yang mengirimi saya pesan itu. Atau mungkin berbeda pula dari orangtua saya. Bahkan mungkin dari Anda. Apa yang baik, apa yang kurang baik, tampaknya begitu relatif dan individual. Jadi siapa yang punya hak istimewa mengatakan sesuatu baik atau kurang baik secara universal?

Kurang lebih 10 menit sebelumnya, sahabat saya Panji menelepon saya. Beliau tiba-tiba bertanya apakah saya berencana OL di YM malam ini. Ya, saya akan OL, seperti biasa. Kemudian beliau bercerita pada saya bahwa Rizky, sahabatnya, baru saja masuk angin dan dikerok habis-habisan sebelum pulang. Panji bilang dia sudah meminta Rizky agar beristirahat dan tidak perlu membuka YM, tapi mungkin saja Rizky membandel dengan tetap membuka YM dan bukannya beristirahat. Kalau Rizky OL, Panji minta saya untuk membuat Rizky beristirahat. Oh, well, bukan permintaan yang sulit dan muluk. Dan belakangan saya lihat Rizky memang tidak OL. Jadi ya tidak masalah.

Namun hal yang membuat saya lebih tertarik adalah perhatian Panji yang begitu besar pada Rizky. Perhatian yang begitu besar hingga Panji berharap Rizky melakukan sesuatu untuk kebaikannya sendiri, yakni beristirahat. Tapi ada satu hal yang mengganjal di sini; betulkah istirahat merupakan hal yang terbaik bagi Rizky sendiri? Kalau akhirnya dia memang memilih untuk OL dan bukannya beristirahat, apakah itu hal yang kurang baik atau hal yang buruk? Kalau hal itu memang bukan hal yang baik, tidakkah pantas kita bertanya, menurut siapa?

Siang tadi, saya menyaksikan Metro Realitas. Bahasan kali ini adalah ISLAM SEJATI yang diklaim sebagai aliran sesat. Namun siapakah yang mengatakan mereka aliran sesat? Sederhananya, mereka adalah orang yang mengaku beragama Islam yang benar. Namun apakah standar kebenaran di sini? Kitab Suci Al-Qur'an? Tapi bahkan aliran Islam Sejati pun mengklaim ajaran mereka berdasarkan Al-Qur'an. Jadi perbedaannya terletak pada interpretasi. Tapi sekarang, siapa yang bisa menjamin, bahwa interpretasi satu pihak benar secara universal, sementara interpretasi pihak lainnya salah secara universal? Apa yang membuat satu pemahaman benar sementara yang lainnya salah? Kasus tersebut mengingatkan saya akan disertasi A. G. Muhaimin (1995) yang menganggap bahwa penelitian C. Geertz (1961) tentang Islam di Jawa tidaklah netral karena berpihak pada Islam modern dengan melabeli Islam lainnya sebagai "abangan". Satu sudut pandang Muhaimin yang saya suka adalah penekanannya pada niat subyektif: budaya Islam adalah yang diinterpretasi dan diyakini oleh pelakunya sebagai sesuatu yang berdasar pada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Konsekuensinya, sesuatu menjadi Islam atau menyimpang dari Islam jika individu yang menganutnya berpikir demikian.

Baik dan Buruk. Benar dan Salah. Saya mulai berpikir bahwa semua itu, sesungguhnya, hanyalah alat kekuasaan. Tentu ada baik dan buruk serta benar dan salah bagi saya, bagi Anda, dan bagi kita semua masing-masing. Namun ketika saya mengatakan sesuatu baik bagi orang lain, saya sesungguhnya tengah menjajah orang tersebut dengan pemikiran saya. Saya sesungguhnya tengah menjajah kebebasan seorang individu untuk memilih yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri. Benar dan salah lebih dahsyat lagi; perang kebenaran, sesungguhnya, adalah usaha saling menjajah di mana label "benar" berusaha membunuh label "salah". Padahal, apa yang benar bagi saya, mungkin salah bagi Anda!

Seketika itu juga saya bercermin. Hey Puteriku, adakah aku telah perneh menjajahmu dengan kata baik dan buruk, benar dan salah? Hanya kau yang tahu, apa yang terbaik dan apa yang benar untukmu. Tak seharusnya aku menjajahmu lagi. Ah, tolong ingatkan aku untuk itu. Aku akan tetap menyampaikan pandanganku padamu, tapi aku takkan berusaha lagi membuatmu mengadopsi kebaikan dan kebenaran versiku. Terkutuklah aku bila aku menjajah kemandirianmu.

Ah, Baik dan Buruk. Benar dan Salah. Betapa mengherankannya mereka.

Tapi siapkah manusia hidup tanpa mereka?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

baik buruk itu relatif, dia ada sejak manusia menemukan perbedaan dan bisa membedakan. manusia saat ini, mau tidak mau tidak akan bisa hidup tanpa baik buruk benar salah, benar bukan? tuh kan, dah keluar lagi..

aku si ga gitu ahli mengenai pemaknaan hidup, tapi sedikit berbagi ilmu dari pandangan engineering: kami di dunia engineering pun, tidak akan bisa melakukan analisis alias tidak bisa hidup tanpa membangun suatu referensi. referensi itu bisa berupa koordinat, kualitas mekanik, kekuatan bahan, dll,. dan jangan salah, kami pun mengenal benar salah baik buruk.

nah, di luar konteks engineering tadi, aku mencoba menganggap manusia itu hidup di tempat yang gelap, kaki tidak menyentuh tanah, manusia bergerak tanpa percepatan (jadi manusia ga ngerti sedang bergerak ke arah mana). Nah, jikalau benar manusia hidup dalam alam seperti itu, yakinlah tidak akan ada kehidupan. Manusia tidak akan bisa bertahan tanpa mengetahui arah yang sedang mereka jalani. Baik buruk benar salah, yang sudah menjadi bagian dari budaya manusia, adalah ciri penting kehidupan manusia.

"waduh, susah nulis bukan di Ms Word, harus mencet shift tiap ganti kalimat, wah...."
TEKI

Rizal Affif mengatakan...

"baik buruk itu relatif, dia ada sejak manusia menemukan perbedaan dan bisa membedakan."

Nice thought, Bro. Never thought about it before :)