Minggu, 01 Maret 2009

Hijrah

Setahun sudah saya menjalankan The Knight's Black Box ini. Sudah banyak artikel saya terbitkan di sini. Sudah cukup banyak juga pembacanya. Melampaui ekspektasi saya sebelumnya. Betapa saya merasa nyaman menjalankan blog ini.

Namun tidak ada yang abadi. Semua hal berubah. Dan karenanya kita harus selalu berevolusi.
Berevolusi menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dan karenanya, saya tidak bisa menetap.
Tempat ini tidak bisa lagi sepenuhnya menampung cita-cita saya.

Maka dari itu, saya hijrah.

Kunjungi saya sekarang di situs baru saya, The Soul Sanctuary. Di sana ada tulisan baru setiap minggunya secara rutin. Tulisan-tulisan yang lebih terfokus untuk pengembangan jiwa. Kunjungi situs baru saya, dan berikanlah komentar agar saya tahu masukan Anda.

Terima kasih banyak atas dukungannya selama ini. Terima kasih banyak telah menyempatkan diri datang ke sini, sekali ataupun secara rutin. Sampai jumpa di The Soul Sanctuary. Semoga kita bisa tetap saling bercermin, dan saling belajar :)

Selasa, 13 Januari 2009

Testing


Test. Ini kali pertamanya aku memanfaatkan ponsel yang sudah setahun ini untuk blogging. Sebagus apa ya? Soalnya kalo lewat HP fitur editing text-nya nggak jalan. Kayaknya agak nyebelin juga klo bgitu. Mungkin bisa post dulu baru edit belakangan setelah bisa online dengan laptop? Atau mungkin... apakah kita bisa menetapkan default setting untuk font-nya? We'll see then..


Anyway, inilah postingan pertama gw dari hape... ternyata capek juga ya blogging lewat HP?

Eh, wait... IS THERE CHARACTER LIMIT? WHAT???

Update: The character limit problem has now been solved with the use of Opera Mini. Nice. Still, font-editing is not enabled though. Oh well, it's still better than nothing at all, I guess =)

Second update: This text is later editable thru' laptop... this should be fun :)

Selasa, 30 Desember 2008

Persembahan untuk Anda


Bagi Anda yang masih suka menyisakan makanan dengan alasan apa pun, mungkin cerita ini bisa dihayati:


Anda tersesat di belantara. Perbekalan makan Anda habis sudah.
Setengah hari, Anda pikir Anda masih kuat.
Malam hari, Anda belum juga mulai menemukan jalan keluar. Dan perut Anda mulai berbunyi.
Syukurlah, Anda masih bisa menemukan air dan masih memiliki bahan bakar.
Anda pun bisa mengenali tumbuhan-tumbuhan hutan yang bisa dimakan.
Hari pertama, Anda bisa menemukan sejenis Umbi yang bisa Anda makan. Rasanya masam. Menyenangkan juga.
Jadi Anda menggali dan membawa beberapa sebagai perbekalan.
Namun, melewati hari pertama, Umbi-umbi tersebut mulai terasa sepat di lidah.
Anda segera kangen nasi.
Anda membuka peralatan masak Anda. Berharap ada sisa-sisa nasi di sana.
Oh, ya, ada beberapa butir yang sudah agak mengeras tertinggal di sana. Anda mengeroknya sekuat tenaga, lalu mengunyah butiran nasi yang keras itu.
Ya, Anda kangen sekali dengan nasi.
Dan Anda tidak kuat makan umbi terus-menerus.
Jadi, hari berikutnya, Anda tidak makan umbi lagi.
Yang ada di tanah pun, banyak yang belum matang.
Jadi, Anda harus bekerja lebih keras.
Anda tahu inti batang pohon pisang bisa dimakan. Jadi Anda mulai mengincar pohon pisang.
Dengan sekuat tenaga, Anda merubuhkan 2 batang pohon pisang yang besar. Sepanjang siang hingga matahari hampir terbenam, Anda merobohkan 2 batang pohon pisang dan membedahnya hingga Anda bisa mengeluarkan inti batang yang bisa dimasak.
Anda sangat kelelahan.
Namun kemudian Anda menyadari, 2 batang pisang hanya menghasilkan inti kurang dari satu mangkuk.
Itu pun rasanya sepat, tidak enak di lidah.
Anda menghabiskan semuanya dengan lahap, tidak peduli betapa tidak enak rasa yang ditinggalkannya pada lidah Anda.
Dan setelah menghabiskan semuanya, perut Anda masih berbunyi.
Bagaimana tidak, Anda hanya makan satu kali hari itu. Padahal Anda harus terus bergerak mencari jalan keluar.
Malam itu, Anda mengorek lagi ransel Anda, berharap ada sisa-sisa remah-remah makanan di sana.
Anda beruntung. Masih ada beberapa butir beras dan sedikit remah biskuit.
Anda makan dengan lahap, tapi tentu saja Anda tidak kenyang.
Anda tidur dengan perut keroncongan.
Hari ketiga, Anda sudah tidak mau lagi makan tumbuhan.
Lidah Anda terasa mati rasa. Anda ingin sesuatu yang gurih, protein hewani.
Anda mendatangi sumber air terdekat.
Ikan sepertinya ide yang bagus.
Anda pun mulai nencari ikan.
Namun, tak seekor ikan pun hidup di sana.
Tidak ada ikan di sana. Tidak ada katak. Tidak ada kadal, ular, apalagi burung, ayam, apalagi hewan berkaki empat yang layak dimakan.
Selama setengah hari Anda menunggu, siap membunuh.
Tapi tak satu binatang pun datang.
Akhirnya Anda bergerak.
Anda mulai merasa teramat lemas, karena harus terus bergerak. Anda harus mencari jalan keluar dari belantara.
Mulut Anda begitu tawar dan sepat, sementara perut Anda mulai terasa sakit.
Kemudian, tidak sengaja, Anda menghancurkan sebuah kayu lapuk di hutan. Tiga ekor ulat kayu jatuh ke tanah.
Anda mulai berkaca-kaca. Lalu menangis.
Demi Tuhan.
Anda menangis penuh syukur.
Siang itu, Anda masak tiga ekor ulat yang malang itu. Ulat yang menyerahkan nyawanya untuk memuaskan kelaparan Anda, meskipun tidak seberapa.
Biasanya, Anda akan muntah saat menemukan ulat itu dalam makan siang Anda.
Namun siang ini, Anda makan ulat-ulat itu dengan lahap. Dan Anda menangis.
Tuhan masih sangat berbaik hati pada Anda. Betapa ulat-ulat itu teramat lezat! Tiada duanya!
Namun apalah arti tiga ekor ulat; mereka hanya memuaskan lidah Anda. Tapi tidak perut Anda.
Jadi Anda mulai mencari gundukan tanah yang gembur.
Di sana, Anda mulai menggali.
Menggali, menggali, dan menggali.
Saat matahari mulai terbenam, Anda berhasil mengumpulkan beberapa ekor cacing tanah.
Anda menangis lagi, penuh syukur.
Malam itu Anda pesta pora. Anda merebus cacing-cacing itu.
Anda memakan cacing-cacing itu dengan lahap. Rasanya seperti tanah dengan sedikit rasa anyir.
Biasanya Anda ingin muntah saat lihat orang harus makan cacing di Fear Factor.
Tapi malam ini, bahkan dengan rasa tanah dan anyir,
Anda makan dengan lahap dan penuh syukur.
Tapi tentu saja, beberapa ekor cacing hanya sedikit memanjakan lidah Anda. Tidak perut Anda.
Anda semakin kelaparan.
Anda mengorek-ngorek ransel Anda. Berharap ada sebungkus coklat atau biskuit yang terselip entah di kantung mana.
Tapi tentu saja, tidak ada yang terselip;
bahkan remah-remahnya sudah Anda habiskan kemarin.
Anda terus mencari meskipun tahu itu semua sia-sia; dan persis, tidak ada apa pun yang Anda temukan.
Anda hanya menghabiskan tenaga untuk harapan kosong.
Dengan perut yang teramat kelaparan, Anda tidak bisa tidur.
Anda mulai mengingat-ingat makanan yang biasa Anda makan.
Bubur atau roti yang biasa Anda makan di pagi hari.
Makan siang nasi lengkap dengan lauk-pauk yang rasanya beraneka rupa.
Makan malam sederhana dengan gorengan.
Anda kangen itu semua, dan Anda mulai mengkhayal.
Anda mulai membuat rencana-rencana.
Saat kembali nanti, Anda akan mencoba ini dan itu.
Anda akan memesan makan siang dengan porsi tiga kali lipat biasanya.
Anda akan mendatangi supermarket dan belanja makanan sebanyak-banyaknya.
Tapi hey, semua itu hanya ilusi.
Anda masih di tengah belantara. Seorang diri, gelap dan dingin.
Dengan perut yang teramat kelaparan, Anda tidak bisa benar-benar tidur. Anda hanya berhalusinasi terus-menerus.
Hari keempat, Anda tidak bisa berjalan jauh-jauh.
Anda mulai sering limbung.
Dengan tenaga yang tersisa, Anda mencari di antara kayu lapuk dan gundukan tanah gembur.
Sambil terus mencari jalan keluar.
Tengah hari, Anda berhasil mengumpulkan beberapa ekor ulat kayu,
dan beberapa ekor cacing tanah.
Anda juga berhasil mendapatkan lagi 2 lagi umbi yang rasanya Anda anggap membosankan.
Anda harus makan, atau Anda tidak akan bisa keluar dari belantara.
Dengan tenaga yang sedikit, Anda hanya bisa mengambil makanan yang mudah.
Anda tidak sanggup lagi merubuhkan batang pisang.
Namun siang itu, Anda kehabisan bahan bakar.
Anda tidak bisa masak.
Anda tidak bisa menjadikan makanan Anda matang dan siap saji.
Jadi siang itu, di bawah rindangnya hutan, Anda hanya menatap peralatan masak Anda.
Di situ, potongan umbi menjadi satu dengan ulat dan cacing.
Mereka semua kotor, bertanah, dan menggeliat-geliat.
Sekali lagi, Anda mulai berkaca-kaca.
Anda mulai menangis.
Kali ini, bukan karena bersyukur. Kali ini, karena Anda kangen makanan.
Anda kangen sarapan Anda, Anda kangen makan siang Anda, Anda kangen makan malam Anda,
Anda kangen semua kudapan yang Anda makan.
Anda kangen remah-remah yang Anda buang,
makanan yang Anda sisakan. Nasi, sedikit sayur, dan sedikit bumbu yang Anda buang ke tong sampah dulu.
Ah, andai Anda bisa mengambilnya lagi sekarang.
Anda rela makan semua sampah itu.
Bahkan, Anda rela menukarkan semua yang Anda miliki sekarang, dengan sampah-sampah yang dulu Anda buang.
Demi Tuhan, Anda ingin sampah-sampah makanan itu kembali.
Tapi Tuhan tidak menurunkan hidangan dari langit.
Jadi dengan mata basah, Anda menatap makhluk-makhluk yang menggeliat-geliat dalam peralatan masak Anda.
Dan Anda mulai mengangkat makhluk-makhluk itu dengan tangan Anda...

...


Pesan tambahan: ambillah makanan secukupnya. Kalau Anda tidak kuat menghabiskan porsi yang dihidangkan pada Anda, berikan pada orang lain yang membutuhkan. Jangan buang makanan Anda--sebelum Anda menyesalinya.

Salam,



Rizal

Selasa, 02 Desember 2008

A Little Promotion

.


OK. Gambar ini dibuat oleh Sigit si Bayi Gurita. Personally, I don't really like the picture, but hey, he can capture the essence of my face very well. Dan yang mengagumkan, dia mengerjakannya langsung di komputer dengan mouse, hanya dalam waktu kurang dari 3 jam! Neat huh? Demikianlah orang yang bercita-cita jadi komikus dan ilustrator.

Demikian pasfoto saya sebagai perbandingan:



Ada yang tertarik untuk dilukis secara digital juga? Kebetulan juga Sigit juga sangat tertarik untuk menggambar wajah orang. Kata saya sih bagus buat dia latihan dan melengkapi portfolio. Kata dia, karena dia suka mencuri wajah =p menakutkan memang. Eniwei, buat yang tertarik untuk digambar wajahnya, silakan kontak Sigit di http://citcid.blogspot.com ato citcid@yahoo.com. Mungkin Bayi Gurita itu akan mengharapkan balas jasa untuk gambar yang dia buat, katanya buat dia nabung buat beli electronic pen untuk menunjang pekerjaan di bidang ilustrasi.

Tertarik? Mungkin detailnya, nego-nego aja ama dia okay?

Rabu, 19 November 2008

Love at First Sight


... kamu percaya itu ada?

Ingatanku kembali pada Sabtu malam itu. Linggarjati, kaki Gunung Ciremai. 17 November 2007. Aku, Windu, dan Mimim. Dalam Blu yang menapaki jalanan menanjak, menembus gelap dan hujan rintik-rintik.

"Gua gak percaya love at first sight itu ada." Kata Mimim. "Kayak gituan mah tahayul."

Tahayul. Aku membatin. Ya. Kata orang Jawa, witing trisno jalaran suko kulino. Cinta muncul dari kedekatan karena sering bertemu. Itulah dogma yang melekat pada keyakinan banyak orang awam. Dogma yang memberikan penjelasan rasional mengapa cinta bisa tumbuh. Dan aku, aku sempat menjadi salah satu penganut dogma itu. Aku pernah menjadi ateis love at first sight.

Hingga sebuah sore yang cerah mengubah semuanya...

"Dulu aku juga kayak kamu Mim." Aku angkat bicara. "Tapi terus, aku ngalamin sendiri. Love at first sight itu."

Suara mesin Blu meraung. Suara wiper menyingkirkan tetesan hujan dari kaca.

"Kayak gimana?"

Ingatanku mengembara lebih jauh lagi. Pada sore itu. Ya, sore itu. Langitnya cerah dan sinar matahari berwarna oranye. Aku kembali ke sekolah untuk menemui Miftah, sahabatku. Ia memimpin sebuah rapat kecil. Dalam rapat itu seorang gadis tertawa pada gurauanku. Saat itulah pandangan kami bertemu. Wajah itu. Senyum itu. Sorot mata itu. Cerah tertimpa cahaya matahari sore. Menggetarkan hati, membangkitkan kerinduan. Seperti sosok kekasih yang kutemukan kembali setelah lama menghilang...

Sore itu. Sore pertama aku bertemu dan berkenalan dengannya. Sore itu juga aku mengantarkannya pulang.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk saling menemukan. Tidak butuh waktu lama untuk saling merasa nyaman. Sejumlah keajaiban mempertemukan kami tanpa alasan yang jelas. Dan seiring bergulirnya waktu, pertemuan kami bukan lagi hanya keajaiban--karena kami mulai meniatkan diri untuk saling mencari, saling menemani, dan saling berbagi. Ah, masa itu. Masa di mana kami juga, perlahan-lahan, mulai menyadari, bahwa kami--entah bagaimana--saling terhubung. Aku selalu tahu jika ia memang berencana keluar kota, atau jatuh sakit, atau mengalami musibah. Aku selalu tahu. Karena sebelum itu terjadi, ia akan hadir dalam mimpiku. Sama juga dengannya. Saat ia memimpikanku, ia bertanya padaku di sekolah, atau meneleponku di hari libur--dan bertepatan dengan itu, aku memang berencana ke luar kota, atau sedang jatuh sakit, atau mengalami suatu musibah. Aku teringat suatu kejadian, suatu Senin pagi di sekolah, ketika ia marah-marah padaku karena aku tidak menghubunginya pada malam minggu. Malam di mana ia mendadak merasa sangat gelisah hingga tidak bisa tidur. Malam yang sama, ketika aku terjebak kabut tebal selepas Maghrib di Ciwidey hingga tidak bisa pulang...

Bahkan setelah kami berpisah, hubungan ajaib itu masih saja ada. Dua kali aku bermimpi tentangnya--dan saat menghubunginya, aku mendapatinya baru saja sakit. Ia pernah meng-SMS-ku saat aku sakit typhus--karena malam sebelumnya ia melihatku dalam mimpinya.

"Mungkin kalian memang pasangan di kehidupan yang lalu." Komentar Windu. "Makanya kalian terhubung sekuat itu."

Aku hanya angkat bahu.
Suara mesin Blu meraung. Dan langit gelap di kaki Gunung Ciremai masih mencurahkan hujan rintik-rintik.


***


Sebuah Selasa siang yang berawan. Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. 18 November 2008.

Aku melangkah cepat menuruni tangga lantai 2, menuju koridor rumah sakit. Menyambut kebebasan setelah menangani pasien demensia vaskuler yang melelahkan. Sekelompok gadis berjas dokter berjalan di depanku. Perhatianku tertumbuk pada salah satu dari mereka dan pada saat yang sama gadis itu menoleh. Saat itulah pandangan kami bertemu. Wajah itu. Senyum itu. Sorot mata itu. Cerah dengan jas dokter yang berwarna putih bersih. Membangkitkan perasaan kuat yang menjadikan pikiran dan perasaan lainnya begitu tidak berarti.

"Kakak?"

Barulah aku menyadari siapa gadis itu. "Ya ampun! Kamu?!"

"Ngapain Kak?"

"Aku di Klinik Memori, di atas. Sama dr. Anam. Kamu lagi koas di bagian mana?"

"Baru dari poli bedah."

"Tadi aku nggak ngenalin kamu lho. Kamu berubah banget."

"Kenapa? Gendutan ya?"

"Nggak. Berubah aja. Umm... beda, aja."

"Kakak juga. Kurusan."

Aku tertawa. "Aku nggak tahu harus diapain lagi nih. Nggak bisa gemuk-gemuk."

"Makannya yang banyak dong, Kak."

"Udah. Nggak berhasil. Mungkin kamu punya usulan diet buatku?"

Dan akhirnya. Persimpangan koridor itu memisahkan kami. Ia dan teman-temannya ke kanan. Aku menuju pintu keluar ke kiri.

Kurang dari satu menit. Pertemuan dan perbincangan itu hanya kurang dari satu menit. Namun dalam waktu kurang dari satu menit itu, semua pikiran dan perasaan lebur menjadi satu kesadaran. Di sini, saat ini. Dan ketika akhirnya aku berjalan pulang, ketika akhirnya aku duduk di bangku di sudut angkot, pikiran dan perasaanku masih menetap di sana. Di koridor rumah sakit yang ramai. Di dalam waktu kurang dari satu menit yang telah membeku, menjadi selamanya.

Mungkin kalian memang pasangan di kehidupan yang lalu. Makanya kalian terhubung sekuat itu.

Ya, mungkin. Aku merenung sendiri. Mungkin kami memang pasangan dari kehidupan-kehidupan yang lalu. Mungkin itu sebabnya, sorot mata itu selalu menggetarkan hati. Merasuk sampai ke relung batin. Bahkan sebelum aku mengenali, dan menyadari, siapa dia.

Love at first sight. Betapa aneh fenomena itu. Orang rasionalis bisa mengatakan, semua itu kebetulan. Tapi aku tidak akan mengatakan demikian. Karena, setelah aku mengalaminya--aku tahu itu bukan kebetulan belaka. Love at first sight memungkinkan pasangan untuk saling mencintai pada detik pertama pandangan mereka saling bertemu--karena mereka memang pernah menjadi kekasih di kehidupan sebelumnya, dan first sight hanyalah pertemuan mereka kembali.

Love at first sight...
...kamu percaya itu ada?

Ya, aku percaya itu ada.

Kamu?



Bandung, 19 November 2008

Minggu, 09 November 2008

Menjelang Malam Minggu...

.
... aku mendapat tamparan yang cepat dan keras.

Hujan deras mengguyur Jatinangor sore itu. Langit menangis, kami menatap bulir-bulir air jatuh ke bumi melalui jendela lantai 3 gedung 3 kampus Psikologi Unpad.

Pembawa acara baru saja menutup acara Temu Ilmiah. Sebagian orang segera keluar dari ruangan. Sebagian lagi mengobrol dan foto-foto di dalam ruangan. Namun hujan deras masih turun; tidak seorangpun meninggalkan gedung. Termasuk aku.

Dan di lorong lantai 3 itu, aku bertemu lagi dengan dosen yang pernah cukup dekat denganku. Kami saling melempar senyum.

Di bawah lampu neon yang pucat, ia bertanya:

"Kapan kau akan S2? Kapan kau jadi dosen?"

Tamparan pertama.

"Aku sudah makin kesulitan berdiri sendiri. Aku butuh bantuan. Kalau kau masuk, kau pasti bisa berdiri, menghadapi mereka."

Ya, aku ingat. Suatu malam ketika ia mengeluh ingin keluar dari kampus, karena lingkungan akademis yang kurang kondusif. Satu dari sekian keluhan yang ia utarakan padaku mengenai kampus. Ia merasa seperti Daud yang menghadapi Goliath--seorang diri menghadapi sistem korup yang menggurita. Yang membuat aspek akademis di kampus mati suri, tidak berkembang. Ia lelah berjuang sendiri--ia memutuskan untuk berhenti. Tapi aku, sang mahasiswa yang penuh semangat, menentang ide itu. "Ngapain keluar???" Tanyaku keras. "Kalau Abang keluar, siapa yang akan memperjuangkan idealisme itu?" Ia terdiam, dan saat itu aku meyakinkan. "Jangan keluar dulu. Aku akan menyusul jadi dosen di sini. Aku akan sekolah ke luar, dan aku akan kembali sebagai pengajar. Sebobrok-bobroknya kampus ini. Karena kalau kita keluar, nggak akan ada perbaikan apa-apa... justru kita harus masuk ke dalam dan berjuang membuat perubahan. Aku akan jadi dosen... aku akan menemanimu." Dan sejak itu aku mulai membuat rencana untuk segera melanjutkan studi dan menjadi dosen, hingga...

"Ada perubahan rencana, karena situasi yang rumit..." Aku berusaha memberikan penjelasan sesederhana mungkin.

"Aku dengar sekarang kau kerja, bagus... cari duit..."

Tamparan kedua.

Ya, sekarang di sinilah aku. Sudah setengah tahun lulus, ternyata rencana studi itu telah berubah. Berubah drastis. Sejak lulus aku mulai terlibat dalam sejumlah proyek, dan aku mulai belajar bahwa segera melanjutkan studi bukan ide yang benar-benar baik; bahwa ternyata, studi hanya memberikan pengalaman teoritis. Aku tergoda untuk mendapatkan pengalaman lebih. Aku tergoda untuk kerja dulu. Aku tetap ingin menjadi dosen, tapi aku tak mau jadi seorang pendidik yang melulu teoritis. Aku haus pengalaman praktis.

Lalu terbit pula alasan lain yang bahkan lebih kuat: aku ingin berkeluarga. Situasi keluarga yang rumit membuatku sulit mengharapkan dukungan finansial ke depan. Dan dari situ keinginan kerja tumbuh lebih liar. Aku tidak hanya ingin mencari pengalaman yang kaya. Jujur saja, aku juga ingin menumpuk harta. Aku ingin bekerja beberapa tahun, menenggak semua pengalaman dan menumpuk harta, membangun keluarga dan semua penunjang untuk memastikan kemapanan. Setelah itulah aku baru kembali ke kampus, dengan bekal pengalaman praktis, dengan kemapanan yang membuatku mampu untuk memberikan seluruh perhatianku pada para mahasiswa. Sehingga tidak ada cerita aku mengabaikan mahasiswa demi proyek-proyek, seperti yang kerap dilakukan dosen-dosen sekarang...

"Bang..."

"Ya?"

"... nanti aku ke tempatmu saja. Kuceritakan semuanya. Sekalian aku minta saran."

Ia membalas dengan senyum. Sesaat perhatianku teralih, dan saat aku kembali melihatnya, aku melihat punggung berbalut kemeja kotak-kotak itu menjauh...

Aku ingin bekerja. Aku ingin meraih banyak pengalaman dan menumpuk harta. Aku ingin berkeluarga dan meraih kemapanan. Namun aku lupa, ada seorang teman yang aku tinggalkan untuk berjuang seorang diri di kampus. Aku pernah berjanji akan mendampingi perjuangannya, namun sampai sekarang ia masih berjuang sendiri. Dan aku mengambil jalan lain. Andai aku tidak perlu memilih... andai aku tidak perlu mengorbankan apa pun. Dosenku beserta janji lamaku itu, maupun keinginan-keinginanku sendiri.

Kutatap langit yang masih mencurahkan tetes-tetes air.

Aku harus memilih, bukan begitu? Bantu aku membuat keputusan yang terbaik.

Sampai aku meninggalkan gedung itu. Sampai aku meninggalkan kampus. Hujan belum juga berhenti mengguyur Jatinangor. Dan langit masih terus menangis...



Bandung, 9 November 2008

Minggu, 02 November 2008

Perjalanan ke Ujung Genteng

0

Ujung Genteng tercatat sebagai salah satu pantai terbaik yang pernah kukunjungi. Terletak di selatan Sukabumi, sekitar kurang lebih 80 km dari Pelabuhan Ratu, pantai ini menyuguhkan keunikan yang sulit ditandingi pantai mana pun di Pulau Jawa. Selain masih bersih, pantai ini memiliki pantai akuarium yang menakjubkan, serta kesempatan melihat penyu bertelur di pantai. Pantai mana di Jawa yang dapat menyuguhkan hal yang sama? Karena itu, kami berangkat ke Ujung Genteng.

***

PERJALANAN


Perjalanan dimulai dari rumah Panji. Hari Sabtu, pukul 5 shubuh. Ketika penghuni Jakarta masih bersantai sebelum weekend, kami sudah menapaki jalanan saat matahari terbit. Melesat di tol Jagorawi. Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango yang menjulang megah di kejauhan menyemangati kami. Melewati Parungkuda, kami mengambil jalur alternatif melalui Cikidang. Melewati hamparan perkebunan sawit dan karet yang menakjubkan, melihat pohon-pohon menjulang saat melewati hutan. Melewati medan yang berkelok-kelok dan naik-turun tajam, kami tiba di Pelabuhan Ratu. Di sini, di dekat jembatan Bagbagan, kami mengunjungi Indomaret untuk membeli perbekalan.

Perjalanan masih 3 jam dari jembatan Bagbagan; pertama-tama, melewati pegunungan yang berkelok-kelok. Kami bisa melihat pantai Pelabuhan Ratu dari atas sana. Dilanjutkan dengan hutan, kecamatan, dan pasar-pasar. Setelah beberapa jam disuguhi pemandangan dan medan jalan yang serupa, siapa yang tidak bosan dan lelah? Kami juga mulai khawatir tentang bensin yang mulai berkurang, sehingga saat kami menemui pombensin, kami langsung mengisi Xenia Panji sampai full. Belakangan kami baru tahu bahwa pombensin dan minimarket terakhir masih bisa kami jumpai di Surade.

Semangat kami kembali saat pemandangan di sekitar kami berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa. Pohon kelapa berjejer di bukit-bukit, sejauh mata memandang.
Dan ketika kami tengah berspekulasi bahwa kami sudah dekat pantai, kami pun melihat pemandangan yang sudah lama kami nanti. Pantai. Lengkap dengan horizon biru, dan buih-buih ombak yang mungil di kejauhan. Rasa bosan dan lelah yang menjangkiti kami lenyap seketika.

Kami tiba di Ujung Genteng pukul 11 siang. Air laut yang tenang terlihat berkilauan. Bukan main! Seperti bocah yang menemukan mainan paling canggih sedunia, kami segera parkir di atas pasir putih. Siapa yang ingat sun block? Siapa yang peduli dengan mentari siang yang bersinar garang? Kami berlari di atas pasir putih dan melompat ke dalam air.


PANTAI AKUARIUM

Salah satu hal teristimewa dari pantai Ujung Genteng ini adalah pantai akuariumnya. Disebut pantai akuarium karena pertama, pantai ini tidak berombak. Bukan berarti tidak ada ombak dari laut--karena pantai selatan terkenal atas ombaknya yang besar--namun ombak-ombak itu sudah pecah di kejauhan. Pantai akuarium ini sebenarnya adalah gugus terumbu karang yang membentang dari garis pantai sampai sekitar 100 meter ke arah laut. Dan gugus terumbu karang inilah yang memecah ombak di kejauhan. Gugus terumbu karang ini yang dinamai pantai akuarium.

Selain tidak berombak, pant
ai ini disebut akuarium karena airnya jernih dan relatif dangkal. Dan layaknya terumbu karang pada umumnya, pantai ini juga dinamakan akuarium karena dihuni oleh berbagai binatang laut aneka rupa.

Saat kami kembali ke pantai pukul 2 siang, laut sedang surut, dan saat itulah ombak tak mampu mencapai tepi pantai; ia habis di ujung gugusan karang. Saat itu pula pantai akuarium dalamnya hanya sekitar sebetis, dan binatang-binatang laut keluar dari persembunyiannya mencari makan. Dangkal, jernih, tenang, dan penuh binatang laut--pantai ini mirip Kolam Sahabat di Sea World, tapi tentu dengan ukuran yang jauh lebih besar, hingga kami tidak mungkin menjelajahi semuanya.

Yang pertama menarik perhatian kami sore itu adalah: cacing laut. Dengan warna dan ukuran yang bervariasi, dari 30 cm sampai satu setengah meter. Bergerak lamban di atas pasir. Keenam lidah mereka terjulur, bergerak-gerak menangkap plankton dari air. Dan segera kami melihat banyak binatang lainnya. Ikan gobi. Berbagai macam keong dan kelomang. Bulu babi aneka rupa dan warna. Udang mantis. Lidah laut. Teripang, bahkan salah satunya menjulurkan sulur-sulur berwarna biru menyala. Bintang ular. Belut laut. Unagi alias sidat. Dan masih banyak lagi.

Dan di pagi harinya, kami melihat banyak teritip. Aneka rupa kepiting. Aneka jenis ikan, termasuk kawanan Sarden yang melompat ke atas air menghindari tangkapan pemangsa. Dan beberapa jenis hewan lain yang tidak kutahu namanya. Masih ada lagi yang belum kusebutkan???

Ada baiknya datang sendiri ke Ujung Genteng dan lihat sendiri apa yang bisa kautemukan di sana. Pantai akuarium ini adalah tempat yang tepat bagi mereka yang gemar melihat binatang laut langsung di habitatnya :)


FOOD VAGANZA!

Tentu saja, makanan yang istimewa di tepi laut manapun adalah: seafood. Dan karena Panji adalah penggemar wisata kuliner tulen, maka tujuan kedua kami di Ujung Genteng, tentu saja: menjajal seafood setempat.

Setelah memesan kamar di losmen, kami melanjutkan perbincangan dengan Kang Yudi, penjaga losmen yang kami kunjungi. Kang Yudi menawarkan lobster dengan harga Rp30.000 per kilo. Ya, kau membacanya dengan benar: Rp30.000 per kilo! Kang Yudi juga menawarkan ikan lokal yang konon tidak jadi panganan umum di negeri ini, tapi diekspor ke Hongkong dan Korea: ikan layur. Penasaran dengan hasil-hasil laut lain di pantai ini, kami pun meluncur menuju tempat pelelangan ikan. Tempat pelelangan ikan memang punya lebih banyak variasi jenis ikan, tapi harganya lebih mahal. Di sini lobster dihargai Rp120.000 per kilonya. Namun karena penasaran dengan ukurannya, kami membeli 3 ekor lobster @ 2 ons di sini (dan total hanya dihitung 5 ons - diskon). Kami juga membeli ikan kakap dan sejenis ikan kerapu.

Kembali ke losmen, kami kembali menemui Kang Yudi dan menyerahkan hasil belanjaan kami padanya agar dibakarkan untuk makan malam. Kami juga memesan 2 kg lobster dan dua ekor ikan layur. Sayangnya, belakangan kami tahu, karena sedang musim sulit, harga lobsternya jadi Rp45.000 per kilo, sehingga uang yang kami bekalkan pada Kang Yudi hanya cukup untuk membeli lobster. Kami tidak dapat ikan layur. Kang Yudi menunjukkan lobster yang ia beli, dan kami terkesiap; ternyata 2 kilo itu banyak sekali!

Malam itu kami pesta makan. Saat melihat makanan yang datang, kami malah bingung sendiri karena terlalu banyak. Bahkan belakangan Kang Yudi juga mengaku bingung karena kami hanya berdua tapi memesan lobster teramat banyak. Malam itu adalah pertama kalinya aku menjajal lobster seumur hidup. Aku tidak pernah berani membelinya karena harganya sangat mahal di kota; dan di Ujung Genteng, kami makan lobster sampai kekenyangan, sampai tersisa. Kakap dan kerapu yang kami pesan nyaris tak tersentuh karena kami tergila-gila dengan lobster. OHHH LOBSTER!!! Sayang kami tidak sempat menjajal ikan layur.

Lain kali kami ke sini, kami berjanji hanya akan pesan lobster dan ikan layur. Kakap, kerapu, hiu, tenggiri, tongkol, dan bany
ak lagi di sini, memang segar--tapi kita bisa mendapatkan mereka semua di kota. Pesan hanya lobster dan ikan layur--karena memang dua hasil laut itu yang jadi kekhasan di Ujung Genteng. Lebih baik kebanyakan lobster dan ikan layur daripada kenyang oleh ikan lain.


WISATA PENYU

Sebenarnya, di atas banyak hal lainnya, pantai Ujung Genteng terkenal atas wisata penyunya. Pantai inilah yang menjadi satu-satunya tempat penyu bertelur di Pulau Jawa. Sejak dulu orang berdatangan ke pantai ini untuk menjajal telur penyu, yang konon berprotein tinggi. Karena itu populasi penyu yang bertelur di pantai ini menurun drastis, dari puluhan ekor semalamnya di tahun 80-an menjadi hanya beberapa ekor pada puncak musim bertelur. Namun saat ini, sebuah pusat penangkaran penyu sudah dibangun di tempat itu. Menyaksikan penyu bertelur pun dijadikan paket wisata yang menarik. Tempat penangkaran ini bahkan memiliki agenda pelepasan tukik (anak penyu) di sore hari. Mari berharap, semoga program penangkaran tersebut berhasil, agar anak-cucu kita masih bisa melihat penyu hijau bertelur di pantai Ujung Genteng :)

Untuk melihat penyu bertelur, selepas makan malam kami menyewa ojek menuju pantai Pangumbahan, sekitar 5 km dari losmen. Memang hanya 5 km, tapi medannya offroad. Aku sendiri sport jantung selama perjalanan karena tukang ojeknya melakukan manuver-manuver motorcross kecepatan tinggi. Mereka memang sudah kenal baik medannya, tapi tetap saja, rasa ngeri itu ada.

Ketika kami tiba di pantai, seekor penyu hijau (Chelonia mydas) betina sudah naik dari laut dan tengah menggali. Petugas penangkaran mengendalikan para wisatawan; melarang mereka memotret penyu dari depan selama penyu itu bertelur, karena penyu bisa panik dan akhirnya meninggalkan pantai sebelum tuntas bertelur. Entah berapa lama kami semua hanya bisa menyaksikan penyu itu dari belakang sementara ia mengeluarkan ratusan telur ke dalam lubang. Setelah akhirnya penyu itu menutup lubang dengan pasir, para wisatawan boleh memotret penyu itu dari depan. Penyu itu lebih banyak diam, lalu mendesis menarik nafas panjang sebelum mulai menyibakkan sirip-siripnya, melemparkan pasir untuk mengubur telur-telurnya.

Malam itu, dari kurun waktu pukul 20:00 hingga pukul 22:30, tercatat empat ekor penyu hijau bertelur di sana.

Sebelum pulang, aku dan Panji memergoki beberapa ekor tukik berlari ke arah pantai. Kami sempat membantunya mendekat ke bibir pantai, menunggu mereka tersapu ombak dan terbawa ke lautan. Belakangan kami baru tahu bahwa tukik-tukik tersebut berasal dari tempat penetasan dan penangkaran. Mereka lolos dari sana dan kehilangan arah. Senang rasanya bisa membantu mereka sampai ke tepi pantai--tapi entah nasib mereka selanjutnya...

Malam itu, kami kembali ke losmen dengan perasaan puas, dan lega. Bukan hanya karena sudah melihat langsung proses penyu bertelur. Tapi juga karena melihat bagaimana telur-telur mereka segera diamankan oleh para petugas penangkaran. Dan melihat bagaimana telur-telur itu menetas menjadi tukik sebelum dilepas ke lautan...

Semoga mereka tidak punah. Semoga...


EPILOG: REKOMENDASI

Secara umum, perjalanan dari Jakarta menuju Ujung Genteng membutuhkan waktu 5-6 jam, tergantung kondisi lalu lintas. Kami menyarankan, agar puas, kunjungan ke Ujung Genteng dijadikan tiga hari. Tiba di Ujung Genteng hari pertama siang, memesan losmen lalu memesan ikan-ikan segar untuk makan siang dan makan malam. Malam pertama sebaiknya istirahat. Pada hari kedua, kunjungi semua lokasi wisata yang ada di sekitar sana. Selain pantai akuarium di depan losmen, kami hanya sempat mengunjungi pantai Pangumbahan untuk wisata penyu. Padahal ada banyak obyek wisata menarik di sekitar sana. Ada pantai Cibuaya bagi mereka yang gemar bermain ombak atau bahkan selancar (tapi selancarnya harus bawa sendiri). Ada pantai Cibatu yang konon menyuguhkan terumbu karang yang lebih kaya. Ada pula paket menuju Ombak Tujuh yang memiliki pemandangan indah. Malah kalau kurang puas, ke arah Surade ada gua walet dan air terjun yang mungkin bisa dikunjungi dalam perjalanan pulang.

Selain itu, kami menyarankan agar wisatawan membawa sendiri bumbu-bumbu makanan favorit. Kami senang makan lobster di sana, tapi rasanya agak kurang tanpa soyu dan mayonnaise. Jangan lupa pula bawa celana renang, bahkan kacamata selam untuk snorkeling saat pasang pagi. Mungkin lebih puas kalau snorkeling di Cibatu. Selain itu, untuk wisata penyu, jangan lupa bawa lampu senter. Tidak ada penerangan di pantai Pangumbahan karena bisa menakuti penyu-penyu. Penerangan penting supaya kita tahu arah. Selain itu, ikutilah petunjuk petugas penangkarang agar tidak menganggu penyu-penyu yang akan bertelur.

Dan terakhir, yang terpenting: bawalah kawan-kawan sebanyak mungkin, hehehehehe... :D

Ada yang minat berkunjung ke Ujung Genteng? Ada yang membutuhkan informasi lebih detail? Silakan hubungi saya ya hehehehehe... semoga saya bisa memberikan informasi yang cukup supaya Anda bisa menikmati Ujung Genteng dengan lebih baik. Cheers!