... kamu percaya itu ada?
Ingatanku kembali pada Sabtu malam itu. Linggarjati, kaki Gunung Ciremai. 17 November 2007. Aku, Windu, dan Mimim. Dalam Blu yang menapaki jalanan menanjak, menembus gelap dan hujan rintik-rintik.
"Gua gak percaya love at first sight itu ada." Kata Mimim. "Kayak gituan mah tahayul."
Tahayul. Aku membatin. Ya. Kata orang Jawa, witing trisno jalaran suko kulino. Cinta muncul dari kedekatan karena sering bertemu. Itulah dogma yang melekat pada keyakinan banyak orang awam. Dogma yang memberikan penjelasan rasional mengapa cinta bisa tumbuh. Dan aku, aku sempat menjadi salah satu penganut dogma itu. Aku pernah menjadi ateis love at first sight.
Hingga sebuah sore yang cerah mengubah semuanya...
"Dulu aku juga kayak kamu Mim." Aku angkat bicara. "Tapi terus, aku ngalamin sendiri. Love at first sight itu."
Suara mesin Blu meraung. Suara wiper menyingkirkan tetesan hujan dari kaca.
"Kayak gimana?"
Ingatanku mengembara lebih jauh lagi. Pada sore itu. Ya, sore itu. Langitnya cerah dan sinar matahari berwarna oranye. Aku kembali ke sekolah untuk menemui Miftah, sahabatku. Ia memimpin sebuah rapat kecil. Dalam rapat itu seorang gadis tertawa pada gurauanku. Saat itulah pandangan kami bertemu. Wajah itu. Senyum itu. Sorot mata itu. Cerah tertimpa cahaya matahari sore. Menggetarkan hati, membangkitkan kerinduan. Seperti sosok kekasih yang kutemukan kembali setelah lama menghilang...
Sore itu. Sore pertama aku bertemu dan berkenalan dengannya. Sore itu juga aku mengantarkannya pulang.
Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk saling menemukan. Tidak butuh waktu lama untuk saling merasa nyaman. Sejumlah keajaiban mempertemukan kami tanpa alasan yang jelas. Dan seiring bergulirnya waktu, pertemuan kami bukan lagi hanya keajaiban--karena kami mulai meniatkan diri untuk saling mencari, saling menemani, dan saling berbagi. Ah, masa itu. Masa di mana kami juga, perlahan-lahan, mulai menyadari, bahwa kami--entah bagaimana--saling terhubung. Aku selalu tahu jika ia memang berencana keluar kota, atau jatuh sakit, atau mengalami musibah. Aku selalu tahu. Karena sebelum itu terjadi, ia akan hadir dalam mimpiku. Sama juga dengannya. Saat ia memimpikanku, ia bertanya padaku di sekolah, atau meneleponku di hari libur--dan bertepatan dengan itu, aku memang berencana ke luar kota, atau sedang jatuh sakit, atau mengalami suatu musibah. Aku teringat suatu kejadian, suatu Senin pagi di sekolah, ketika ia marah-marah padaku karena aku tidak menghubunginya pada malam minggu. Malam di mana ia mendadak merasa sangat gelisah hingga tidak bisa tidur. Malam yang sama, ketika aku terjebak kabut tebal selepas Maghrib di Ciwidey hingga tidak bisa pulang...
Bahkan setelah kami berpisah, hubungan ajaib itu masih saja ada. Dua kali aku bermimpi tentangnya--dan saat menghubunginya, aku mendapatinya baru saja sakit. Ia pernah meng-SMS-ku saat aku sakit typhus--karena malam sebelumnya ia melihatku dalam mimpinya.
"Mungkin kalian memang pasangan di kehidupan yang lalu." Komentar Windu. "Makanya kalian terhubung sekuat itu."
Aku hanya angkat bahu. Suara mesin Blu meraung. Dan langit gelap di kaki Gunung Ciremai masih mencurahkan hujan rintik-rintik.
Sebuah Selasa siang yang berawan. Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. 18 November 2008.
Aku melangkah cepat menuruni tangga lantai 2, menuju koridor rumah sakit. Menyambut kebebasan setelah menangani pasien demensia vaskuler yang melelahkan. Sekelompok gadis berjas dokter berjalan di depanku. Perhatianku tertumbuk pada salah satu dari mereka dan pada saat yang sama gadis itu menoleh. Saat itulah pandangan kami bertemu. Wajah itu. Senyum itu. Sorot mata itu. Cerah dengan jas dokter yang berwarna putih bersih. Membangkitkan perasaan kuat yang menjadikan pikiran dan perasaan lainnya begitu tidak berarti.
"Kakak?"
Barulah aku menyadari siapa gadis itu. "Ya ampun! Kamu?!"
"Ngapain Kak?"
"Aku di Klinik Memori, di atas. Sama dr. Anam. Kamu lagi koas di bagian mana?"
"Baru dari poli bedah."
"Tadi aku nggak ngenalin kamu lho. Kamu berubah banget."
"Kenapa? Gendutan ya?"
"Nggak. Berubah aja. Umm... beda, aja."
"Kakak juga. Kurusan."
Aku tertawa. "Aku nggak tahu harus diapain lagi nih. Nggak bisa gemuk-gemuk."
"Makannya yang banyak dong, Kak."
"Udah. Nggak berhasil. Mungkin kamu punya usulan diet buatku?"
Dan akhirnya. Persimpangan koridor itu memisahkan kami. Ia dan teman-temannya ke kanan. Aku menuju pintu keluar ke kiri.
Kurang dari satu menit. Pertemuan dan perbincangan itu hanya kurang dari satu menit. Namun dalam waktu kurang dari satu menit itu, semua pikiran dan perasaan lebur menjadi satu kesadaran. Di sini, saat ini. Dan ketika akhirnya aku berjalan pulang, ketika akhirnya aku duduk di bangku di sudut angkot, pikiran dan perasaanku masih menetap di sana. Di koridor rumah sakit yang ramai. Di dalam waktu kurang dari satu menit yang telah membeku, menjadi selamanya.
Mungkin kalian memang pasangan di kehidupan yang lalu. Makanya kalian terhubung sekuat itu.
Ya, mungkin. Aku merenung sendiri. Mungkin kami memang pasangan dari kehidupan-kehidupan yang lalu. Mungkin itu sebabnya, sorot mata itu selalu menggetarkan hati. Merasuk sampai ke relung batin. Bahkan sebelum aku mengenali, dan menyadari, siapa dia.
Love at first sight. Betapa aneh fenomena itu. Orang rasionalis bisa mengatakan, semua itu kebetulan. Tapi aku tidak akan mengatakan demikian. Karena, setelah aku mengalaminya--aku tahu itu bukan kebetulan belaka. Love at first sight memungkinkan pasangan untuk saling mencintai pada detik pertama pandangan mereka saling bertemu--karena mereka memang pernah menjadi kekasih di kehidupan sebelumnya, dan first sight hanyalah pertemuan mereka kembali.
Love at first sight...
...kamu percaya itu ada?
Ya, aku percaya itu ada.
Kamu?
Bandung, 19 November 2008