Minggu, 09 November 2008

Menjelang Malam Minggu...

.
... aku mendapat tamparan yang cepat dan keras.

Hujan deras mengguyur Jatinangor sore itu. Langit menangis, kami menatap bulir-bulir air jatuh ke bumi melalui jendela lantai 3 gedung 3 kampus Psikologi Unpad.

Pembawa acara baru saja menutup acara Temu Ilmiah. Sebagian orang segera keluar dari ruangan. Sebagian lagi mengobrol dan foto-foto di dalam ruangan. Namun hujan deras masih turun; tidak seorangpun meninggalkan gedung. Termasuk aku.

Dan di lorong lantai 3 itu, aku bertemu lagi dengan dosen yang pernah cukup dekat denganku. Kami saling melempar senyum.

Di bawah lampu neon yang pucat, ia bertanya:

"Kapan kau akan S2? Kapan kau jadi dosen?"

Tamparan pertama.

"Aku sudah makin kesulitan berdiri sendiri. Aku butuh bantuan. Kalau kau masuk, kau pasti bisa berdiri, menghadapi mereka."

Ya, aku ingat. Suatu malam ketika ia mengeluh ingin keluar dari kampus, karena lingkungan akademis yang kurang kondusif. Satu dari sekian keluhan yang ia utarakan padaku mengenai kampus. Ia merasa seperti Daud yang menghadapi Goliath--seorang diri menghadapi sistem korup yang menggurita. Yang membuat aspek akademis di kampus mati suri, tidak berkembang. Ia lelah berjuang sendiri--ia memutuskan untuk berhenti. Tapi aku, sang mahasiswa yang penuh semangat, menentang ide itu. "Ngapain keluar???" Tanyaku keras. "Kalau Abang keluar, siapa yang akan memperjuangkan idealisme itu?" Ia terdiam, dan saat itu aku meyakinkan. "Jangan keluar dulu. Aku akan menyusul jadi dosen di sini. Aku akan sekolah ke luar, dan aku akan kembali sebagai pengajar. Sebobrok-bobroknya kampus ini. Karena kalau kita keluar, nggak akan ada perbaikan apa-apa... justru kita harus masuk ke dalam dan berjuang membuat perubahan. Aku akan jadi dosen... aku akan menemanimu." Dan sejak itu aku mulai membuat rencana untuk segera melanjutkan studi dan menjadi dosen, hingga...

"Ada perubahan rencana, karena situasi yang rumit..." Aku berusaha memberikan penjelasan sesederhana mungkin.

"Aku dengar sekarang kau kerja, bagus... cari duit..."

Tamparan kedua.

Ya, sekarang di sinilah aku. Sudah setengah tahun lulus, ternyata rencana studi itu telah berubah. Berubah drastis. Sejak lulus aku mulai terlibat dalam sejumlah proyek, dan aku mulai belajar bahwa segera melanjutkan studi bukan ide yang benar-benar baik; bahwa ternyata, studi hanya memberikan pengalaman teoritis. Aku tergoda untuk mendapatkan pengalaman lebih. Aku tergoda untuk kerja dulu. Aku tetap ingin menjadi dosen, tapi aku tak mau jadi seorang pendidik yang melulu teoritis. Aku haus pengalaman praktis.

Lalu terbit pula alasan lain yang bahkan lebih kuat: aku ingin berkeluarga. Situasi keluarga yang rumit membuatku sulit mengharapkan dukungan finansial ke depan. Dan dari situ keinginan kerja tumbuh lebih liar. Aku tidak hanya ingin mencari pengalaman yang kaya. Jujur saja, aku juga ingin menumpuk harta. Aku ingin bekerja beberapa tahun, menenggak semua pengalaman dan menumpuk harta, membangun keluarga dan semua penunjang untuk memastikan kemapanan. Setelah itulah aku baru kembali ke kampus, dengan bekal pengalaman praktis, dengan kemapanan yang membuatku mampu untuk memberikan seluruh perhatianku pada para mahasiswa. Sehingga tidak ada cerita aku mengabaikan mahasiswa demi proyek-proyek, seperti yang kerap dilakukan dosen-dosen sekarang...

"Bang..."

"Ya?"

"... nanti aku ke tempatmu saja. Kuceritakan semuanya. Sekalian aku minta saran."

Ia membalas dengan senyum. Sesaat perhatianku teralih, dan saat aku kembali melihatnya, aku melihat punggung berbalut kemeja kotak-kotak itu menjauh...

Aku ingin bekerja. Aku ingin meraih banyak pengalaman dan menumpuk harta. Aku ingin berkeluarga dan meraih kemapanan. Namun aku lupa, ada seorang teman yang aku tinggalkan untuk berjuang seorang diri di kampus. Aku pernah berjanji akan mendampingi perjuangannya, namun sampai sekarang ia masih berjuang sendiri. Dan aku mengambil jalan lain. Andai aku tidak perlu memilih... andai aku tidak perlu mengorbankan apa pun. Dosenku beserta janji lamaku itu, maupun keinginan-keinginanku sendiri.

Kutatap langit yang masih mencurahkan tetes-tetes air.

Aku harus memilih, bukan begitu? Bantu aku membuat keputusan yang terbaik.

Sampai aku meninggalkan gedung itu. Sampai aku meninggalkan kampus. Hujan belum juga berhenti mengguyur Jatinangor. Dan langit masih terus menangis...



Bandung, 9 November 2008

16 komentar:

Kamojima mengatakan...

itu bang iqbal ya? manusia butuh duit coy, Rasulullah juga dulu berdagang biar 'dapet duit'.

Rizal Affif mengatakan...

Bukan masalah butuh duitnya si, tapi masalah meninggalkan seseorang berjuang sendirian di sana...

... anyway yes it's him :p

....WasiL.... mengatakan...

=)
dari tamparan pertama, ketebak sekali bahwa si "penampar" dalam ceritamu itu bang iqbal..
*dia pasti girang banget neh diomongin gini;)*

zal, mgkn akan menyenangkan kl lo mengkonkritkan rencana menjadi dosen, tapi kayanya akan lebih baik kl rncn itu lo pilih ga cm krn buat "menemani".

ah ya, mnrt gw, bagaimanapun, dia akan tetap hidup ko..

dan dia akan tetap didalam...

kaya pepatah,
"i hate tv.
i hate it as much as peanuts.
BUT I CANT STOP EATING PEANUTS."
;)

bicara ttg pilihan, masi se-klise itu ya ??
pertarungan antara harta-cita2 ????
schaedlich...
harus disusun konsep tuh supaya menjadi dosen tidak lagi berarti menjadi miskin dan sulit...

Rizal Affif mengatakan...

Dia girang tapi gakan berkomentar di sini :D

Hmm... pertimbangan yang bagus sekali Cil. Thx 4 the consideration! It means... tarattataaa!!! I'm going!!!

Astrid mengatakan...

wohoo..sebuah masukan yang berharga:)
tp sebenerna masalah kg rizal disini cuman karna ngrasa 'ngorbanin' seseorang y?:P
karena, toh, sekalipun jalannya sedikit berbeda, tekad dan tujuan kg rizal utk kedepan tetep sama..

hum..kita ga bisa ngebahagiain smua orang,, ngebahagiain diri sndiri aja kadang susah..haha.
Oya, ada yg bilang bahwa: harapan seseorang thp diri kita, utk situasi tertentu, bukan kewajiban kita utk memenuhinya..hehe *terdengar sadis kah?*

panjita ebonk mengatakan...

a very touchy writing....

still breath taking as usual...

youre gifted....

so.....

write!!!!!!!!!!!!!

you can get whealty and also teach every body in the same time....

Bro, youre.... gifted.....

:)

....WasiL.... mengatakan...

heheheh, kapan siy dia akan berkomentar ?? =p
rasanya dia akan tetap di tempatnya, mengamati..
kaya sniper...
heheheh...
*no offense lho bang^_^*

jadi ?
where r u going ?

btw, astrid tu sapa sih ?
gw ga mudeng ma kalimatnya yg
"tp sebenerna masalah kg rizal disini cuman karna ngrasa 'ngorbanin' seseorang y?:P"
bisa bantu perjelas ?

kenapa yak ngbaca komen panjita langsung bikin ingatan gw akan dia muncul gitu aja, kerasa dia ngomong langsung di depan gw gitu...
udah mule sinting apa ya gw ?
heheh...

btw, gila gw kangen banget "berantem" ma lo pada...

Anonim mengatakan...

woy jal dipuji tuh, seneng dong

Rizal Affif mengatakan...

@ Acied: Sebenernya, baca post ini supaya kamu dapet gambaran plus minus S2 dulu ato kerja dulu. Geto. IMO, enakan kerja dulu si bentar, biar dapet pengalamannya, jadi pas S2 tau yang harus dipelajarin secara spesifik. IMO, lho.

@ Panjita: Thx Brow :)

@ Wasil: I'm going to walk the path I'm taking now... kebetulan sedang melakukan "pencarian spiritual" juga... hmmm... akan ada banyak perubahan kayanya *Thx to Windu* wadoh, brantem??? Liburan aja yuks ke pantai :D BTW garang banget lo nanya Astrid siapa :D

@ Acied (lagi): Maafkan teman saya yang garang itu... ga bermaksut nyolot kok hehehehehe, cuman emang pembawaannya kaya gitu :D

@ Sigit: horeee....

Anonim mengatakan...

sama banget kayak gw setaun lalu yang mungkin juga karena kondisi keluarga yg rumit gw akhirnya keukeuh pengen kerja dulu...ihihihi, sindrom anak sulung.

tapi gak bisa mungkir bahwa gw sangat ingin jadi dosen dan untuk itu gw mesti sekolah lagi. i just ask and leave it to God, zal dan taddaaaa..... gw sekarang disini, di magister ITB, gratis, masih punya penghasilan dari banyak side job yg cukup untuk tabungan.

gw masih belum percaya soal Mestakung. Gw cuma percaya bahwa 'ikhlas' akan memudahkan semuanya, walaupun awalnya berat.

Goodluck zal, terlepas dari segala bentrok ga penting yang sering kita lakuin dulu, hehehe, i found a little piece of me inside you, that i cared about.

HOSH!!! GANBATTE!!

Astrid mengatakan...

heu,,iya, maap y, kg, acit sok tau komennya:(
iya sih, brminat kerja dulu sebenernya,tp dengan kmampuan S1 yg tanggung asa jadi pengen ngambil S2 dulu:P
yah..mudah2an ditunjukkan jalan yg terbaik..

haha,,temen yg garang y?
to: wasil
astrid cuma salah satu blogger lainnya ko,, salam kenal:)

Rizal Affif mengatakan...

@ Tiffa: Sindrom anak sulung ya? Hmm... kok saya ga ngerasain ya? Wah, Magister gratis, enak bener. Saya tadinya mau nanya gimana caranya bisa, sampai Zisa membocorkan rahasianya, hehehehehe... itu mah ga mungkin saya ikuti =p but, mmmm... congrats! Lucu juga ya ntar, kalo saya jadi dosen dan punya temen brantem dosen di arsi =p yah, se-clash-clash-nya saya sama kamu, memang, there's a piece of me inside u too =)

@ Acied: bukan sok tahu, tapi memang beda perhatian =D hmm... saya percaya Tuhan selalu memberikan kita yang terbaik. Ga pernah nggak. Kadang kita cuman ga bisa lihat gambaran besarnya =) selamat melanjutkan sekolah!

....WasiL.... mengatakan...

garang ya ??
salah nada kali lu..
biasa aja ah..
ke pantai ?
konkrit aja neh, jadi mo kapan ? abis kebanyakan rencana tapi ga jadi2..
wiken aja yak..

to acied : oh, hai, nice2know u 2 ;)
gw ga bermaksud garang kaya yg dibilang rizal ko..
heheh...

Astrid mengatakan...

hahahaa..iya, kg.
acit nulis komen pertama karna mndadak terharu sama kebingungan yg kg rizal tulis di akhir2..wakakak:D
*beda perhatian, memang:)*

to:wasil
hehe, kita jadi numpang ngobrol di komen kg rizal deh:P

Anonim mengatakan...

Bagus banget ya tulisannya..
Saya cuman pengin ngasih komentar soal tulisannya dulu ^_^ Enak dibaca dan feel-nya sampai.

Yah, semoga diberikan jalan terbaik sehingga semua harapan bisa menjadi nyata.

jabon mengatakan...

wah... mas Rizal... menjelang malam minggu dapet tamparan....? untung aja bukan tamparan keras dari tangan sanng pacar...