Suffering. Penderitaan. Aku kembali memikirkannya kini.
Seorang sahabat yang kukenal sejak awal kuliah mengeluh mengenai ketidakmampuannya percaya pada orang lain. Aku memang mengenalnya seperti itu. Aku sangat menghormatinya, bahkan ada saat-saat tertentu aku malah membencinya. Ia independen sekali, begitu kupikir dulu. Dan aku sendiri juga bukan orang yang banyak berbeda dengannya. Di kampus aku tak peduli pada apa pun. Yah, tak peduli pada apa pun. Namun bukan karena aku benar-benar independen; justru karena kehidupanku terpusat pada satu orang di luar sana. Sesuatu yang takkan pernah kulakukan lagi.
Kehidupanku mengalami perubahan drastis ketika penderitaan raksasa pertama datang: aku harus kehilangan orang yang menjadi pusat kehidupanku selama dua tahun terakhir itu. Mungkin tidak terlalu menyakitkan, karena sebenarnya kami saling kehilangan. Aku segera melarikan diri pada aktifitas di kampus dan segera kusadari banyak sekali orang menarik di sana. Aku tidak bisa tidak ingat ketika pada suatu malam saat PMB, aku dan Iwan duduk bersebelahan dan mengobrol berdua; dan tiba-tiba saja perbincangan mengenai mendaki gunung keluar begitu saja. Seolah semua memang sudah diatur oleh-Nya.
Berkat Iwan, mataku terbuka. Kehidupan kampus memiliki banyak sisi yang tak kulihat sebelumnya. Karena kehidupanku selama ini hanya terpusat pada satu orang.
Hal itu kiranya hanyalah awal. Aku kemudian mengenal seorang sahabat yang selalu memintaku (baca: memaksaku) bercerita. Ia sahabat yang menyenangkan. Semakin lama, semakin aku merasa nyaman berbagi dengannya. Aku selalu bercerita padanya mengenai gadis-gadis yang kusuka di kampus. Ialah tempatku berkeluh kesah dalam nyaris segala hal. Kalau aku lama tidak bercerita, ia pasti memintaku bercerita. Ia juga rajin membuka-buka diariku—my old Black Box—dan selalu memberikan komentar-komentar menyenangkan atas semua yang kutulis. Aku sulit percaya pada orang lain, tapi aku percaya padanya seorang. Aku percaya padanya seorang.
Lalu kemudian sesuatu terjadi. Aku jatuh cinta padanya.
Aku memanggilnya ”Puteri”.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Atau demikian tampaknya. Lalu aku pergi mengikuti diklat selama sebulan. Dua minggu di antaranya berada di belantara, ditempa dan disiksa habis-habisan. Selama itu pula satu-satunya alasanku bertahan adalah, karena aku merasa Sang Puteri menungguku di luar sana. Setiap kali aku ditempilingi dan disiksa hingga berdarah-darah, aku membayangkan dirinya berdiri tak jauh dariku dan menyemangatiku. Setiap kali aku tidur di bawah bivak dan terguyur hujan, aku mengingat sofa hangat tempat kami nonton TV sekenanya, sambil makan-makan kudapan sekenanya juga. Setiap kali aku dipaksa long march dengan beban berpuluh-puluh kilo, jarak berpuluh-puluh kilo, serta perih dari kuku-kuku kaki yang menggembung dan mengelupas, aku selalu membayangkannya berdiri di ujung jalan, menungguku. Dia adalah alasanku bertahan. Dia adalah alasanku berjuang.
Dan saat aku pulang, aku mendapatinya tidak lagi berada di tempat.
Awalnya kupikir, karena aku perlu waktu menyesuaikan lagi diriku dengan kehidupan di peradaban. Namun kemudian semua relasiku dengan orang lain kembali normal. Kecuali dengannya.
Sang Puteri menghilang.
Aku kehilangan orang yang paling kucintai sekaligus orang yang paling kupercaya dalam segala hal. Aku patah hati dan aku tak lagi punya tempat untuk berbagi.
AKU HANCUR.
***
Sudah setahun lebih berselang. Sudah setahun lebih penderitaan itu kubawa ke mana-mana. Dan di sinilah aku sekarang.
Orang-orang di sekitarku berkata, aku berubah. Beberapa di antaranya mengatakan, aku ”berkembang”. Aku senang. Kata ”berkembang” punya konotasi yang bagus; itu berarti, aku berubah ke arah yang lebih baik.
Aku sendiri tak pernah benar-benar menyadari apa yang berubah dari diriku. Satu hal yang kusadari sekarang, aku punya lebih banyak teman. Jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Tiba-tiba saja ada orang-orang yang mau menyapaku, atau mengajakku kerja, atau sekadar hang out dan berhura-hura (bahasa keren kami: hedon). Beberapa orang yang pernah menjadi temanku, atau sahabatku, dan lalu kehilangan kontak denganku, tiba-tiba saja kembali dengan sendirinya. Dari berbagai arah. Banyak orang menyenangkan berdatangan ke dalam hidupku. Puncak yang kurasakan, mungkin, saat Forum Skripsiku kemarin; tiba-tiba sekelompok orang yang bahkan tak terpikir untuk kuundang menghubungiku dan memberikan konfirmasi untuk datang—dan mereka benar-benar datang! Atau saat aku menderita typhus sekarang ini—aku terkejut sekali dengan banyaknya pembesuk, hingga bahkan pada suatu sore rumahku jadi terlalu ramai. Betapa menyenangkan! Mereka semua perhatian sekali. Perhatian sekali. Terlebih dengan kenyataan bahwa aku kerap melupakan mereka... mereka perhatian sekali. Mereka bahkan membawakan stok makanan yang bahkan belum bisa kuhabiskan sampai sekarang hehehehehe :D
Banyak pula dari mereka yang kemudian mempercayakan banyak rahasianya padaku. Aku merasa terhormat sekali bisa dipercaya seperti itu. Tapi mengapa aku layak mendapatkan kepercayaan sebesar itu? Seorang sahabat mengatakan padaku, karena aku juga percaya pada mereka.
Aku terdiam.
Right.
Kalau kuingat-ingat sekarang, setelah kehilangan itu, aku mencoba mencari lingkungan-lingkungan baru. Just to forget that Princess. Ever. Ever! Tapi ternyata prosesnya tak mudah. Aku selalu melihatnya. Aku selalu melihatnya menjauhiku. Aku selalu melihatnya mengobrol hangat dengan pria lain. Ia hampir selalu bergentayangan di sekitarku, dan aku selalu merasa sakit hati.
Dan aku sudah terlalu terbiasa untuk berbagi, meskipun selama ini hanya dengan satu orang. Mungkin, karena tak tahan lagi menyimpan semua keluh-kesah seorang diri, aku pun mulai berbagi dengan orang lain. Meskipun itu berarti mengorbankan harga diri sebagai laki-laki. Hah, harga diri? Biarlah hanya sedikit orang yang tahu kebenaran mengenai diriku. Toh aku butuh berbagi. Dan bulan-bulan berlalu, dan Sang Puteri tetap bergentayangan di dekatku, dan penderitaanku tidak juga berakhir. Aku mulai berbagi dengan lebih banyak orang, tapi kemudian aku kecanduan. Aku kecanduan berbagi. Ujung-ujungnya, rahasiaku pun jadi rahasia umum. Aku berbagi dengan banyak orang. Tulisan yang kuposting di blog dan di milis pun seolah menjadi gamblang.
Aku mempercayai mereka dan ujung-ujungnya, mereka pun mempercayaiku. Bukan begitu? Semakin banyak aku berbagi dengan orang lain, semakin banyak yang percaya padaku. Semakin banyak teman yang datang dalam hidupku.
“Gila lo, yah, bisa percaya ama orang segitu entengnya…” Seorang sahabat pernah berceloteh.
Kalau dipikir memang gila. Terlebih dengan mengingat betapa tertutupnya diriku dulu. Lalu ada seseorang yang bisa membuatku sangat percaya—orang yang membuatku amat tergantung. Lalu ia menghilang; dan aku tak sanggup menghilangkan kebiasaanku untuk selalu berbagi. Mungkin karena penderitaan itu aku terpaksa percaya pada orang lain. Sesuatu yang tidak pernah aku sesali kemudian; karena hidupku kini jauh lebih ringan daripada sebelumnya. Semakin aku percaya pada orang lain, semakin mereka percaya padaku juga.
Satu tahun lebih berselang. Bahkan Sang Puteri pun akhirnya pulang.
Yah… paling tidak, ia tidak menjauhiku lagi. Dan aku bisa tetap jujur tentang perasaanku padanya. Perasaan yang tak juga padam oleh penderitaan.
Satu tahun lebih penderitaan telah membawaku pada kehidupan yang cerah. Satu tahun penderitaan telah menjadikanku orang yang lebih terbuka, lebih bisa dipercaya... satu tahun penderitaan telah menjadikanku orang yang lebih baik daripada sebelumnya. Satu tahun penderitaan menjadikanku lebih matang.
Memang benar penderitaanlah yang menjadikan manusia lebih baik daripada sebelumnya.
It is in suffering Man can thrive to be.
Sekarang aku bisa memperlihatkan luka akibat penderitaan itu dengan bangga, pada semua orang.
***
Sudah sepuluh hari ini aku terkena typhus. Dan harus menjalani istirahat di rumah. Pihak Rumah Sakit menawarkanku untuk opname. Kalau di rumah, aku harus bedrest. Nyatanya, aku masih saja berkeliaran dan semuanya baik-baik saja. Meskipun aku tetap sulit bekerja dan aku tak bisa keluar rumah.
Hal paling menyebalkan dari sakit ini bukanlah demamnya yang naik turun. Bukan kepala pening yang seolah rengkah ditanami paku. Bukan pula linu di punggung atau sariawan-sariawan yang bermunculan di sepanjang bibir dan mulut. Ada dua hal menyebalkan dari penyakit typhus ini: satu, aku tidak bisa mengerjakan revisi skripsiku, dan setelah istirahat lama butuh waktu lama juga untuk mencapai semangat itu lagi. Semangat mengerjakan skripsi. Dan kedua, yang lebih besar: aku harus makan-makan yang lembut dan tidak melakukan aktifitas-aktifitas fisik berat, bahkan hingga satu bulan setelah aku dinyatakan sembuh.
Aku menyadari betapa menyebalkannya hal itu ketika seorang sahabatku berkata, aku tidak boleh naik gunung dulu. Yah, memang tidak dalam waktu dekat. Memang rencana terdekat mendaki gunung adalah mendaki Gunung Semeru setelah wisuda bulan Mei nanti. Tapi bukankah itu sebentar lagi? Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa, dan aku akan mendakinya tak lama setelah aku pulih dari typhus?
Kalau kuhitung-hitung, maka larangan makan dan latihan fisik bagiku berlaku paling tidak sampai akhir April. Tapi sebelum pendakian Mei, aku harus latihan fisik. Oh, ya, aku juga harus mengorganisir tim, memprogram latihan fisik rutin, dan menyeleksi peserta jika terlalu banyak. Bisakah semua dimulai akhir April? Tiba-tiba jadwalnya terlihat mepet sekali. Tapi masih bisa.
Asalkan sakitku tidak kambuh dalam periode sebulan itu...
Argh... betapa menderitanya aku, tidak bisa makan otak sapi atau Richeese Ahh! kesukaanku dalam waktu sebulan. Aku juga mungkin tidak diizinkan latihan rutin bouldering, atau training di Sabuga, atau bahkan latihan beban di rumah. Argh lihat fisikku yang mulai peyot gara-gara penyakit ini! Dia butuh latihan! Tapi radang usus memang bukan perkara main-main. Nyawa taruhannya.
Dan aku mulai bertanya-tanya: apa lagi yang Tuhan siapkan untukku dalam penderitaan ini?
Aku tersenyum sendiri.
Because,
It is in suffering Man can thrive to be.
Pasti ada sesuatu dalam penderitaan typhus ini yang akan menjadikanku lebih kuat. Itu pasti.
Lebih sabar menahan godaan makanan, mungkin?
Yummm... gapapa deh. Asalkan bisa ke Semeru nanti :D