Minggu, 23 Maret 2008

Tentang Teori Orientasi Masa Depan


Ini adalah sebuah obrolan dengan Mimim di suatu minggu siang yang cerah, ketika ia berpakaian pinky-pinky fever ria sambil nebeng online. Kami baru saja membahas skripsi Mimim, tentang orientasi masa depan anak yatim piatu di sebuah panti asuhan di Lembang. Aku sedang terserang demam misterius, dan setelah membahas skripsi Mimim dan menginstallkannya Yahoo! Messenger (emang katro!), aku menggunakan tenaga yang tersisa untuk menggoreng french fries. Setelah itu aku terkapar di atas sofa pendek.

Mimim bertanya padaku, "Biasanya kamu sehari-hari ngapain aja, Jal?"

"Me?" Aku mulai mengingat-ingat lagi keseharianku sebelum demam itu datang. Biasanya, tentu saja, yang rutin: olahraga. Lalu tidur siang. Atau bekerja berdasarkan agenda harian. Biasanya memang padat, tapi gara-gara demam misterius ini, aku malas memenuhi agenda-agendaku sendiri. Jangankan bekerja, tidur saja susah. Pening. Gara-gara demam aneh ini revisi skripsiku telantar.

"Kamu sendiri Mim? Biasanya?"

"Makan."

Baiklah.

"Tidur."

Baiklah.

"Ngerumpi."

Baiklah. Benar-benar hidup yang kaya makna. "Emangnya kamu nggak ada sesuatu yang ingin dicapai, Mim?"

Mimim melongo. "Nggak tahu."

"Lha? Memangnya OMD*-mu gimana?" *Orientasi Masa Depan

"Masih ngambang Jal."

"Wow..." Aku bangkit, seolah-olah lupa kalau aku sedang sangat lemas. Seorang mahasiswi yang mengerjakan skripsi tentang OMD tidak punya OMD? "Terus, kalo menurut Nurmi*, harusnya gimana?" *Jari-Erik Nurmi adalah pemilik teori OMD yang digunakan oleh Mimim dalam skripsinya

Dan meluncurlah cerita Mimim bahwa OMD-nya sangat tergantung pada seseorang yang bahkan belum ada dalam hidupnya (duh gwa pengen cerita detail tapi ntar ada yang ngamuk). Kupikir, bukankah itu mengerikan? Menyerahkan masa depan pada suatu kekuatan eksternal yang tidak bisa kita kendalikan? Ya, Mimim juga menyadari itu. Tapi bahkan ia sendiri belum tahu keinginan besarnya.

"Tapi bukannya kamu paham banget teorinya Nurmi, ya, sampe bisa nganalisis OMD-nya anak-anak panti asuhan secara kualitatif?" Aku bertanya.

Mimim diam. "I... ya."

"Tapi dengan pemahaman teori OMD sedalam itu, kemu tetep ga bisa nolong diri kamu sendiri?"

"Iya..."

"Wow..." Aku kembali berbaring di atas sofa pendek. Kupandangi langit-langit ruangan.

Bukankah aku baru saja melihat hal yang menakjubkan? Konon, untuk bisa menghasilkan grand theory seperti teori OMD-nya Jari-Erik Nurmi, seseorang harus mendapatkan gelar S3 atau di atasnya dan melakukan penelitian gila-gilaan. Hasilnya? Sebuah teori, yang ternyata tidak aplikatif. Sesuatu yang dipandang sebagai karya, sebuah penjelasan dengan riset yang tak sederhana, ternyata tidak memiliki kontribusi yang besar dalam kehidupan. Dengan teorinya, Nurmi bisa menjelaskan proses pembentukan OMD pada remaja khususnya. Temanku Mimim bisa menggunakan teori yang sama untuk menjelaskan struktur dan dinamika OMD pada anak-anak panti asuhan di Lembang. Tapi solusi apa yang bisa diberikan oleh sebuah teori?

Aku tidak bisa tidak ingat klaim psikologi eksistensial, bahwa penjelasan dan pemahaman berada pada tingkatan yang berbeda. Psikologi umumnya selalu berkutat pada penjelasan, oleh karenanya lahirlah teori-teori, yang menjelaskan struktur, dinamika, dan kepribadian. Tapi, setelah menjelaskan, adakah teori-teori itu memberikan solusi konkrit atas suatu permasalahan? Manusia bukanlah benda mati yang bisa seenaknya dijelaskan begini dan begitu. Manusia juga punya kehendak dan manusia perlu dipahami. Dan untuk mencapai pemahaman, yang dibutuhkan bukanlah teori: melainkan pengalaman.

Pertanyaanku beranjak: jadi apa keunggulan psikolog, atau sarjana psikologi? Kemampuan atau kompetensi apa yang mereka miliki setelah bertahun-tahun di-drill dengan bertumpuk-tumpuk teori mengenai manusia? Para sarjana ekonomi dididik dengan bertumpuk-tumpuk teori tentang keuangan, tetapi ekonom-ekonom yang unggul adalah mereka yang berpengalaman dengan realitas konkrit mengenai keuangan. Para sarjana geologi juga dididik dengan berbagai macam teori mengenai geologi, tetapi tetap saja mereka yang lebih unggul adalah mereka yang berpengalaman di lapangan. Demikian juga psikolog atau sarjana psikologi: mereka mungkin dididik dengan ratusan teori mengenai manusia, tetapi mereka yang unggul, tetap saja, adalah mereka yang berpengalaman dengan manusia lain. Celakanya, semua orang berpengalaman dengan orang lain.

Para ekonom memiliki pemahaman ekonomi yang unggul karena tidak semua orang punya pengalaman dengan situasi-situasi ekonomi konkrit. Para geolog memiliki keunggulan pemahaman karena tidak semua orang punya pengalaman konkrit dengan situasi-situasi geologis di lapangan. Tapi psikolog, atau sarjana psikologi, apakah mereka memiliki keunggulan dalam memahami manusia? kenyataannya, SEMUA ORANG punya pengalaman berinteraksi dengan orang lain sepanjang hidupnya. SEMUA ORANG memiliki kesempatan yang sama untuk memahami manusia.

Jadi, apa sesungguhnya keunggulan psikolog atau sarjana psikologi?

Aku merinding sendiri memikirkan jawabannya.

p.s. call me skeptics. Skeptics. SKEPTICS!

25 komentar:

Anonim mengatakan...

Jal jal, klo gw pernah berusaha memasuki hampir semua jenis kalangan sosial manusia.

Gw akrab dengan yang geeks, gw becanda dengan anak2 SR yg slenge'an, gw dekat dengan para rocker, gw dugem.

Gw kenal dengan kalangan jurnalis yang angkuh, gw tertawa bersama kalangan hedon yang gaul, gw melebur dalam kalangan agamis DKM.

Bukannya pamer ato sombong, tapi ya emang gw sengaja 'masuk ke sarang2 penyamun' seperti itu untuk mempelajari mereka. Dan itu tidak mudah.

Pas di tempat dugem aja, gw senyum2 sendiri ngeliatin kelakuan orang2 yang lagi pada dugem disitu. Ternyata manusia itu benar2 lucu.

Coba deh jal, seru. Ato gw yakin kayaknya lo juga udah pernah.

Rizal Affif mengatakan...

Itu saran yang bagus, Git. Cara terbaik memahami manusia memang mengenali mereka secara langsung, bukan pake teori :p

Untunglah gua segera bangun :p

Vuterlanik mengatakan...

Keunggulannya adalah, sarjana psikologi punya ijazah yang melegalkan dia minta kompensasi *bayaran* atas curhatan2 yang dia dengarkan.

Sarjana lain mana punya coba?!heheh

@sigitcintalaurakiehl:
gimana caranya bisa cair ke semua kalangan gituh? hm.. keren2

Anonim mengatakan...

Aduh gimana ya? gw juga bingung... heheehe. Serasa tiba2 aja gw bisa gitu, karena sampe tingkat 2 kuliah, gw pemalu/gakgaul bgt. Yg gw yakin sih itu semua berkah dan hidayah dari Allah. Dan Allah memberikan itu semua kepada saya tidak cuma2, saya berpikir kalau saya harus melakukan 'sesuatu' dari pengalaman yg saya dapat tersebut.

"Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu mengubah keadaan yang ada pada dirinya." Lupa gw surat apa ayat brp...

Rizal Affif mengatakan...

Simplenya si, harus mau menerima keadaan orang lain apa adanya, tidak judgemental, tidak sinis, mau memahami. Sigit misalnya ga setuju dengan ide sekuler, tapi mau aja tetep temenan sama saya yang terang-terangan sekuler hehehehehehe. Soalnya seringnya, dinding yang membuat kita terpisah dari orang lain adalah dinding yang kita ciptakan sendiri :D

Vuterlanik mengatakan...

hm.. jadi -menurut para tetua yang berpengalaman ini :D- sebaiknya menempatkan diri sebagai apa saat memasuki komunitas baru?

anyway, kasian sekali tukang bangunan yang sering menciptakan tembok2.. hihi

Anonim mengatakan...

Menempatkan diri sebagai orang yang menyenangkan dan terbuka untuk mendengarkan oranglain, tanpa harus menjadi terperngaruh oleh ucapan orang tersebut, tapi sebisa mungkin: mempengaruhi.

Murah senyum, banyak nanya, sering menyebut nama orang yang kita ajak ngobrol. Tapi yg paling utama adalah: memegang kontrol. Jangan sampe kita murah senyum dan bersikap ramah tapi orang malah nganggepnya kita sok akrab.

Gimana ya, itu pengalaman seumur hidup sih. Mu jadi orang yang humoris juga harus belajar banyak dan menambah wawasan. Gak ada yg gampang dan instan.

Anonim mengatakan...

Beneran klo itu elo ya Git?
Semenjak transplantasi silikon emang lu jadi berubah....
Apa itu rahasianya biar bisa memasuki dunia2 nya manusia yang beragam ini... transplantasi silikon???

*weks.. sori Zal... gw tdnya mo ngomentarin tulisan lu, tp malah tercengang melihat kawan kita citcid ini... hahahaha

Rizal Affif mengatakan...

@ Putri: Sebagai dirimu sendiri lah, masak sebagai Sigit :D ah, tapi memang banyak kok yang suka jadi tukang tembok. Orang yang antipati duluan sebelum kenal, itu kan bikin tembopk namanya.

@ Wisudantara: Dimaafkeun... da saya juga tercengang huakakakakakakak... itu transplantasi silikon di pantat? Kayaknya saya harus bikin penelitian pengaruh transplantasi silikon terhadap kepribadian seseorang :D

Anonim mengatakan...

Setiap orang memang memiliki kesempatan yg sama buat memahami manusia lain, tapi kapasitas masing2 pasti berbeda, lagipula gak semua orang mengambil kesempatan itu, gak semua orang mampu berjalan lebih jauh setelah mengambil kesempatan itu. Dan orang2 yang bersedia menjalani sampai akhir kesempatan itulah yang unggul.

Semua orang berkesempatan mengalami realita ekonomi, semua orang berkesempatan menemui gejala-gejala bumi, tapi siapa yang mau dan mampu menerima dan menjalani kesempatan ini?

heheehe, seperti layaknya dirimu "di persimpangan" berkesempatan berinteraksi dengan para "penginput data", menjalani kehidupan kerja full-time, berkesempatan menjalani situasi ekonomi dengan gaji minim, merasakan terikat kontrak selama satu tahun, yg pada akhirnya dilihat dr suatu sudut pandang.. dan dirimu memilih menghindari simpang ini, bukan memandangnya sebagai suatu "batu loncatan" dan bergumam "banyak jalan menuju roma, ini salah satu simpangnya".

Vuterlanik mengatakan...

Yapz,cm pgn tau pendapatny yg lbh berpengalaman aja spti para tetua ini *so muda.Tentu saja menyesuaikan dgn kapasitas diri sendiri sangat penting.. Saya jg ga akan bisa jiplak cara org lain. Lagian.. Transplantasi silikon?! Gusti.. It really sounds horrible! Ga deh makasih. Ahahaha..

Arti Cittami Putri mengatakan...

heheh santi aja pak... don't wory be happy =D
kalo udah sampe dipersimpangan setidaknya berarti kita udah melangkah dan didepan kita udah ada jalan...
Kan lebih repot kalo didepan kita ternyata jalan buntu hehehe =p

OMD?? Teori?? Real life??
It's all about perseption and choice

kalo gw yang penting selalu bahagia dan bersyukur aja untuk setiap detik kehidupan gw =)

Sisanya human has a plan and God decide..

so just be happy with our life =D

Anonim mengatakan...

Oiya, ada tambahan dari gue:

Kalau dengan teman, tak perlu pake strategi apa-apa.

Karena tak perlu syarat apa pun untuk menjadi seorang temen.

Anonim mengatakan...

Hmmm... harus saya akui transplantasi silikon membawa perubahan bagimu Cid. Lima JempoL dech buatmu.

Tetep Git, meskipun dengan seorang teman.. Ceuk sayah mah tetep ada beberapa hal yang harus diperhatikan...

misal: kadang kita dituntut berperan hanya sebagai pendengar yang baik, gak bisa lebih dalam lg menyelam untuk memahami teman kita. Maka kita harus tau kudu mengerem dimana, ada saatnya komunikasi lebih baik dilakukan satu arah.

*nu kararitu teh strategi lain nya?

Fanie funny mengatakan...

ah,,
jal.. gw ga setuju ma lo..
teori OMD nya nurmi emang keliatannya ga kepake kl mw bikin OMD bwt diri sendiri. kerasa ga perlu nganalisis per stage kayak gitu.
tapi, teori itu menjabarkan apa2 aja yg terjadi dalam proses terbentuknya omd. jadi, kalo kita liat sebenernya ketika kita nyusun OMD kita, kita melakukan semua stage nya.
sesuai teorinya, bisa dibilang tingkah laku kita berorientasi ke masa depan kok.
misalnya,nyuci baju juga berorientasi ke masa depan :
supaya besok2 kita punya baju yg bersih, kinclong en wangi. ya ga..

elo pake aneks ketika lo menggali ke dalam diri lo untuk menentukan apa yg harus elo lakukan utk masa depan lo. teori nurmi dipake kalo elo mw mengklasifikasi prosesnya.
jadi ini buat 2 hal yang berbeda. tapi menurut gw, kalo dipake kedua2nya bisa menjadikan omd lebih matang.
dengan menggali diri, lo bisa "mendata" interest lo. sehingga lo bisa mengeksplor kesempatan2 apa aja yg ada di luar yg sesuai dgn interest lo. Dengan demikian lo mampu utk menyetting tujuan dan membuat komitmen dgn tujuan itu.
demikian juga di proses planning, lo menggunakan aneks ketika lo menyusun rencana2 apa yg pas dgn diri lo en sesuai juga ma dunia nya elo.
di proses evaluasi, lo bercermin dan menganalisa perasaan2 lo mengenai perilaku dan hasil dari perilaku itu terhadap kemungkinan pencapaian lo akan masa depan lo.

jadi, menurut gw, teori OMD nya nurmi en Aneks ini SEJALAN, kalo dipake kedua2nya bisa menjadikan omd lebih matang. Malah, masalah akan terjadi, kalo seseorang tidak mampu mengenali dirinya dan dunianya (bahasa nya nurmi : punya schemata en social life structure). jadinya, dy ga kan bisa utk menjalankan ketiga tahap OMD itu dgn baik.

Kalo gw sih, belajar banyak dgn Nurmi. Paling ga, gw belajar utk bikin short term planning, ga melulu long term.
hehehehhehehe...

Fanie funny mengatakan...

ya elah.. panjang bener komen gw

Rizal Affif mengatakan...

@ Putri, Sigit, n Lulus: on contrary gua ga pernah mikir interaksi sama orang pake strategi. Gua hanya menjadi setulus yang bisa gua lakukan. Menerapkan strategi adalah memperlakukan orang lain sebagai obyek, dan hasilnya pasti interaksi yang hanya perifer. Gwa ga pake strategi dalam berteman. Gwa juga ga pake strategi dalam masuk ke lingkungan. Just be myself, don't be judgemental, pahami orang apa adanya, atau istilah kerennya Analisis Eksistensial, "memakai sepatu mereka"; alias berusaha memahami mereka dari sudut pandang mereka sendiri, bukan dari sudut pandang gua sebagai pihak luar yang sibuk menilai benar dan salah.

@ Mae: Kalo kata gua, human has plans... and shit does happen :D

@ Fanie: Nah justru karena semua perilaku berorientasi ke masa depan... butuhkah teori OMD? Saya sih masih ngerasa ga guna. Maksudnya, apa yang bisa saya lakukan untuk diri sendiri dan untuk orang lain, kalo saya ngeh teori OMD? Gua si always pake Aneks untuk segala hal. Karena gua percaya kita ga butuh teori untuk mahamin manusia--seorang ibu ga perlu teori untuk mencintai anaknya, betul? Huakakakakakak :D long life no theory! P.s. Buat saya teori teh jadi kayak politisi. Omdo (omong doang), ga praktis, hakhakhakhakhak :D

Vuterlanik mengatakan...

Setuju banget, tulus! Karna ga ada orang yang suka dimanipulasi.

Anyway, panggil uti aja, tar ketuker lagi sama Puteri-mu. hehe

Anonim mengatakan...

You're right, matak asa araraneh lamun nyebutna strategi... emangna catur!!!

Eh gw juga ga pernah maen catur pake strategi ding, pantes eleh wae..

Kamojima mengatakan...

"alias berusaha memahami mereka dari sudut pandang mereka sendiri, bukan dari sudut pandang gua sebagai pihak luar yang sibuk menilai benar dan salah."

Itu kan berarti pake strategi. Klo lo jadi diri sendiri, lo bakal berusaha memahami dari sudut pandang elo sendiri, bukannya dari sudut pandang mereka.

Lagian klo gak pake strategi, lo gak bakal bisa masuk ke berbagai lingkungan. Paling hanya beberapa.

Putri kan nanya gimana caranya biar bisa masuk ke berbagai lingkungan kayak gitu, gw bilang ya harus pake strategi. Gw selalu pake strategi, tapi gw gak pernah berakting/berpura2. Bisa dibilang gw selalu menjadi 'diri gw sendiri' yang bermacam-macam.

Untuk mendapatkan banyak 'jawaban', memang harus ada pengorbanan. Tapi gw enjoy kok.

Lama-lama gw bingung apakah gw make strategi, ato gw emang udah berubah ya? B)

Fanie funny mengatakan...

jal..
kl menurut gw, tanpa teori, ga kan ada yg namanya science.
inget ga syarat2 nya science? (gw udah lupa soalnya :p )
pokoke, menurut gw, kalo ga da teori, maka syarat2 itu ga terpenuhi.
kalo lo cuma "menggali diri" aja, itu bukannya hipotesa belaka? karena pas lo berusaha membuatnya menjadi suatu hal yang empirik, terlalu banyak variabel yg tidak terkontrol.
just like u said 2 mae, shit does happen.

menurut gw, yg bs gw lakukan dgn tahu teori omd utk diri gw en org lain, adalah ketika gw/org lain mengevaluasi diri ketika terjadi kesenjangan antara harapan en kenyataan. gw jd ngeh, gw itu salahnya ada di stage mana, sehingga penanganan gw terhadap masalah itu bisa lebih terarah.

misalnya, rencana2 gw yg udah runtuh berantakan itu, mengapa bisa hancur?
ada rencana yg salahnya di tahap planning: gw ga bikin short term planning, long term doang. Dengan tau ini, brarti gw sadar gw ga perlu mengubah komitmen gw terhadap goal yg udah gw setting.
ada juga rencana lain yg gagal. ternyata,itu terjadi karena gw belum mengeksplorasi dgn baik kesempatan yg ada di lingkungan terhadap minat gw. sehingga gw kudu ngulang dari tahap eksplorasi sebelum setting goal, berkomitmen, en bikin planning.

saran gw, coba baca lagi teori nya.
kali ini, coba baca nya jangan pake prasangka dulu.
being sceptic is fine (kl di Psi Eks, itu salah satu syarat researcher kan..).
tapi bedain antara skeptis en sinistik. pikiran negatif bisa mengaburkan pandangan, bikin subjektifitas kita menghambat utk belajar hal baru.
gw ga tau apakah elo jd sinis gara2 peristiwa mimim yg masih bingung akan rencana ke depannya walopun dy berhasil bahas omd org lain pake teori nurmi ini.

ah.. entah napa, gw ga suka dengan istilah "memakai sepatu org lain" utk menjabarkan empati.
soalnya...
coba lo pake sepatu gw.
pasti ama lo sempit. belum lagi modelnya ga cocok (bayangkan lo dengan hi-hells peep toe merah. wakakkakak).
menurut gw, istilah itu mending buat ngejabarin simpati.
tokh ketika kaki lo masuk ke sepatu gw, lo memaknai perasaan "memakai sepatu gw" berdasarkan apa yg dirasakan kaki lo.
gimana cara lo tau perasaan gw waktu pake sepatu gw? ya tentunya tanya ma gw lah.

oh ya..
kenapa lo belum ngerasain keunggulan diri S.Psi? Brarti aneks lo belum lulus juga, jal...
wakakakkaa...
masa lo belum nemu untungnya lo belajar di psi 4 taon lebih yang bisa bikin pengalaman lo berinteraksi dgn org lain beda dari pengalaman org yg ga belajar psi ketika dy berinteraksi dgn org lain.
kalo kita belum nemu, mungkin krn kita sendiri "belum pake sepatu milik diri sendiri" dgn bener...

:D

Rizal Affif mengatakan...

@ Uti: Ide bagus. Uti, then :)

@ Wisudantara: Saya jadi bertanya-tanya, bisa ga ya menang main catur bukan dengan strategi, tapi dengan tulus berinteraksi dengan setiap bidak catur??? Yang jelas mungkin harus transplantasi silikon dulu :D

@ Sigit: Lo sendiri yang bilang saat berteman ga pake strategi. Gua si saat berinteraksi dengan orang ga pake strategi. Kalo pake strategi, itu berarti lu berusaha mencapai suatu goal tertentu. Kalo lu tulus, lu memang hanya berinteraksi dengan orang itu apa adanya. Seperti lo berinteraksi dengan teman. Ya kan? Pembahasan lebih dalam mengenai ini akan membawa kita pada perdebatan mengenai perspektif kapitalistik vs perspektif idealistik yang pernah kita pake dalam perdebatan tentang film :D

@ Fanie: ya boleh untuk science... tapi apa gunanya untuk kehidupan manusia konkrit? Manusia bisa tetep hidup dengan bahagia sejahtera tanpa teori tuh :D Lagipula justru bukannya teori yang sering mengaburkan pandangan atas realitas ya? Kelebihan yang gua rasain cuman setelah belajar aneks sendiri untuk skripsi. Dan aneks memang menentang segala teori hahahahaha :D hmm... gua udah molotok baca-baca teori sampe kenyang. Ternyata emang sering ge kepake tu di real life. Seperti kata aneks, "teori hanya menjelaskan, tapi takkan pernah memahami", hehehehehe

Anonim mengatakan...

Mungkin istilahnya bukan strategi.. tapi pendekatan, intinya... adapt n adopt.
Kita beradaptasi terhadap situasi dan mengadopsinya ke dalam diri kita, jadi kita tahu mesti ngapain...

Anonim mengatakan...

Memang, sudah gw bilang gw sedang mengejar goal tertentu. Mana bakal pernah gw berteman dg orang2 sinting di tempat dugem, kan??

Klo gitu balik gw yg tanya, "buat apa ada ilmu psikologi klo gitu jal??"

....WasiL.... mengatakan...

simpel..
ngeles...