Jumat, 15 Februari 2008

14 Februari 2008


14 Februari, Hari Kasih Sayang. Begitukah? Tanggal 14 Februari ini, aku malah memulai hari dengan dada sesak dan kepala penat. Malam sebelumnya, aku baru saja dihajar muntahan emosi--kekesalan yang selama ini terpendam akhirnya menyembur keluar ketika keran itu kubuka. Aliran derasnya membuatku tercabik-cabik. 14 Februari, Hari Kasih Sayang. Aku tersenyum getir. Lamat-lamat aku mulai bisa mengingat penyebabnya. Kerinduan yang mulai menyiksa. Kerinduan yang bertepuk sebelah tangan. Aku mulai mencari lagi, apa yang salah. Muntahan itu keluar. Bagus, tapi ternyata aku tak cukup kuat. Aku mulai seperti orang yang mengasihani diri sendiri. Aku menjadi terlalu sensitif. Lalu semuanya tak menjadi seperti yang diharapkan... dan apatisme mulai berubah menjadi amarah. Sebuah kesalahan bodoh, selalu merupakan kesalahan bodoh. Aku tersenyum getir. Kukumpulkan nyawa sambil duduk di depan meja kerja dan ingatanku--akhirnya--terbanjiri hal lain. Panji. Aku meneleponnya dengan pulsa Esia yang tersisa--sedikit yang tersisa dari badai emosional tadi malam.


Selamat Ulang Tahun Panjita...


Dan pulsaku habis di tengah pembicaraan.

Aku meng-SMS Panji dengan IM3-ku. Pulsa gw pas abis. Tidak lama kemudian HP Esiaku berdering. Ah, nelepon balik dia. Tapi nama yang tertera di layarnya membingungkanku. Rizky???


Zal, ikutan ngasih surprise ke Panji gak???
Kita udah di Sayang.
Ditungguin secepetnya.


What the hell??? Pagi yang muram itu mendadak rusuh. Aku berlari-lari menyambar handuk, aku bergerak cepat di bawah pancuran, busa-busa sampo terciprat ke mana-mana, ke dinding dan ke bak air, dan aku memperlakukan gigi-gigiku seperti lantai kamar mandi. What the hell??? Ternyata Blu masih kotor sekali. Sambil kupanaskan mesinnya, kukemoceng tubuhnya sekenanya. Debu-debu beterbangan, seperti aku sedang membongkar sebuah gudang tua. Ah, syukurlah bensinnya masih banyak! The only good thing that morning. Dengan Nadia di sampingku, aku memacu Blu menuruni gang, menaiki tanjakan, dan... what the hell??? Lalulintas macetnya minta ampun. Aku sedang buru-buru... aku sedang buru-buru... jelas Dewi Fortuna tidak sedang berpihak padaku. Kepalaku terasa penat. Lagi. Aku mengambil keputusan: tol Pasteur! Lebih mahal di dompet tapi jauh lebih murah untuk kejiwaan. Aku mulai menyelip-nyelip di jalanan dengan gila (hingga Nadia harus mengumpat, "Setan!"). Kami melewati fly over Surapati, dan... wah, jalannya jauh lebih lancar dan lega. Begitu juga aku. Tiba-tiba dunia terasa indah. Kubiarkan persneling di gigi 5 dan kubiarkan Blu meluncur seadanya. Kulihat jam, tak mungkin juga mengejar acara surprise, jadi kubiarkan diriku bersantai dan berbincang banyak dengan Nadia sepanjang perjalanan. Kuturunkan ia di Pangdam Jatinangor dan kulanjutkan perjalananku ke kosan Panji. Wow, kamar itu penuh. Sosok hitam manis menggodaku dari kursi. Perutku berbunyi: aku baru ingat, aku belum sarapan. Sementara yang lain asyik mendengarkan rekaman siaran Gabriela Valentino dari komputer Panji, aku melahap sosok tart hitam itu seperti orang yang kelaparan setelah tersesat di hutan selama 3 hari. Aku mengeluarkan permainan pamungkasku: kartu. Kami bermain Poker Jawa sambil tertawa-tawa.

Lalu HP Esiaku berbunyi. Dua kali. Aku menatap layarnya dan menatap nama yang tertera di sana. The Princess. Dua pesan yang setajam mata panah. Aku kembali teringat bagaimana aku memulai hari ini. 14 Februari, Hari Kasih Sayang. Haha. Bagiku, 14 Februari 2008, hari di mana aku dan orang yang paling kucintai, justru saling menyakiti.

What an irony.

Aku memandangi kartu-kartu yang kupegang. Tapi 14 Februari 2008 adalah ulangtahun Panjita yang ke-23. Semua orang bersukacita dan berbahagia.

Terngiang kata-kata Iwan saat memungut biskuatnya yang jatuh ke tanah di sebuah pos pendakian di Gunung Ciremai: What the fuck.

Aku melanjutkan permainan itu dengan bersemangat. I'm sorry I bothered you again, dear Princess. I'm sorry.

Dan ia kembali membalas. Ia meminta maaf karena telah berbuat kasar padaku.

Sementara menunggu Panji mandi, kutatap pemandangan di luar sana. Gunung Geulis, yang tersembunyi di balik kabut kelabu. Dan hujan mulai turun rintik-rintik. 14 Februari, Hari Kasih Sayang. Sudah berapa kalikah aku melaluinya? Aku teringat saat SMP, aku melaluinya dengan remuk-redam karena Mira melewatkannya bersama pria lain yang dipilihnya sendiri--aku hanya sosok yang ditinggalkannya di belakang, menyepi sendiri di kamar yang terkunci. Masa-masa awal SMA, aku memimpin pria-pria jomblo di kelas untuk bergantian berlari berkeliling sekolah sambil mengacungkan syal ungu--jomblo against Valentine's Day! Lalu, ketika akhirnya aku kembali melewatkan 14 Februari seorang diri pada pertengahan masa-masa kuliah, aku menjadi sinis. Hari Kasih Sayang. Omong-kosong. Aku melihat orang-orang merayakan saling keterikatan dan saling ketergantungan, bukan merayakan kasih sayang. Apa yang mereka tahu tentang kasih sayang jika mereka masih saling menjajah? Lagipula, menurutku, hari kasih sayang itu setiap hari. Bodoh benar hanya merayakannya satu hari setahun?

14 Februari 2008. Aku tersenyum getir. Lihat aku sekarang. Aku menjajah dan menyakiti orang yang sangat kucintai. Bahkan tak ada apa pun yang kurayakan: tak ada hubungan istimewa apa pun antara aku dengannya, tak ada perayaan, hanya ada saling menyesal dan saling meminta maaf. Haha, kasih sayang setiap hari??? Omong-kosong. Aku lebih kerap jadi penjajah. Lihat betapa spektakuler perkembangan diriku. Aku bahkan lebih bodoh dari orang-orang yang dulu kusebut bodoh. Hebat. Hebat.

Hujan di luar sana mulai berhenti, tapi muramnya tak juga pergi. Aku tahu, aku juga harus segera berhenti. Berhenti saling menyakiti. Berhenti saling menyakiti lagi, lalu saling minta maaf lagi, lalu saling menyakiti lagi, lalu saling minta maaf lagi, dan begitu seterusnya, seperti orang yang tak pernah belajar. I have to make it stop. I have to.

Ketika aku mengambil duit seorang diri, seusai nonton, aku meneleponnya.


Kamu di Jatinangor?
Kita pulang bareng ya? Aku juga di Jatinangor.


Dalam perjalanan kembali ke kosan Panji, aku menyempatkan diri mampir di Alfamart. Membeli satu batang coklat. Sebuah kebiasaan lama. Di kosan Panji aku minta selembar kertas dan meminjam sebuah balpoin. Aku menulis. Menuangkan semua yang tersisa dalam hati 14 Februari itu. Kurapikan surat itu bersama coklat yang kubeli. Dan aku menunggu. Waktu di tempat Panji selalu seringan kapas; aku selalu lega karenanya.

Malam itu, kami menapaki jalanan bersama Blu. Seperti biasa, ia duduk di sampingku. Namun kesan yang kudapatkan berbeda dari yang pernah kuharapkan. Aku tersenyum getir, kerinduan yang sempat membuncah telah berganti dengan penyesalan dan rasa bersalah. 14 Februari 2008 dan malam sebelumnya, aku telah merusak semuanya. Kami makan malam di sebuah tempat makan tak jauh dari rumahnya. Aku memandanginya. Aku memandangi wajahnya. Aku mengamati gerak-geriknya. Aku menyimak suara dan kata-katanya. Ia balas menatap padaku dan tersenyum.

Aku mengepalkan tangan dan menghela nafas. Aku masih ingin sekali memilikinya. Ingin sekali. Dan keinginan seperti itu terus-menerus membuatku menyakitinya, dan menyakiti diriku sendiri karena seolah tak mungkin menjadi nyata.

Sebelum ia turun, aku menyerahkan coklat dan surat itu. Aku menyaksikannya menghilang di kegelapan malam.

Tengah malam, ketika semua penghuni Arcamanik 53 tumbang, aku sendiri di depan laptop, di ruang tengah, mengerjakan pembahasan skripsi. Aku tidak bisa tidak berpikir. 14 Februari, hari kasih sayangkah? Seharusnya, hari kasih sayang itu setiap hari, jadi kenapa kita hanya merayakannya pada tanggal 14 Februari--bagi yang merayakannya? Bagiku sendiri, 14 Februari 2008 adalah campuran ironi dan tragedi. Ia adalah puncak rasa sakit. 14 Februari 2008 aku menyadari, aku lebih banyak menyakiti ketimbang mencintai, dan aku masih saja ingin memilikinya, ingin sekali, hingga aku telah mengikatkan diriku padanya. Tapi 14 Februari 2008 aku juga semakin menyadari, semua proses saling-menyakiti dan saling-minta-maaf itu harus berhenti. Jadi, bagiku, 14 Februari 2008 bukan hari kasih sayang; ia adalah masa yang cukup menyakitkan, namun ia juga tonggak bagiku untuk belajar mencintai--kalau bukan belajar untuk saling mencintai.

Ah, mungkin saja, rasa sakit ini, siklus saling-menyakiti dan saling-minta-maaf ini, adalah jalan yang harus kutempuh untuk bisa mencintai dengan betul? Aku mulai tersenyum lagi. Ya, itu mungkin satu-satunya jalan menuju kemampuan untuk mencintai. Ah, selalu ada makna di balik setiap peristiwa kehidupan: selalu ada makna besar di balik semua penderitaan.


Everyday
With every worthless word we get more far away
The distance between us makes it so hard to stay
But nothing lasts forever, but be honest babe
It hurts but it may be the only way

Nothing Lasts Forever
Maroon 5

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Janjian ketemu di "sayang"?????

hehehehehehee maap jal, postingannya gak dibaca ampe abis. Saya punya penyakit sakit-kepala-kalau-terllalu-lama-baca

hehehehehehe..... HAPPY BIRTHDAY FOR YOU!!!

Anonim mengatakan...

Uhm... sedikit masokhis.... dan sanggup membuat 50% subjektivitas gw ada di tulisan itu.... Cool...

-Dj PuBby-

Anonim mengatakan...

Jal jal..
thx bwt comment nya..
sok atuh, bikin aja link nya.

hahaha.. terlalu teknis ya.. itu kan gw ga bikin sendiri.
kl gw yg bikin, terlalu mellow..

philosophical huh..
gmn tuh kl panduan cari jodoh pake filsafat. asal jgn nietzche aja kl yaa..