Hari ini aku jadi juga datang ke pameran itu. Bahkan tanpamu, bahkan tanpa pria yang beruntung itu. Langit mencurahkan rintik-rintik air saat aku meninggalkan rumah. Kami hanya bertiga. Aku jadi pelengkap. Mereka kerap berbicara banyak dan aku berdiri di luar lingkaran. Pengabaian. Entah kenapa tema utamaku itu bukan lagi masalah. Apa pun yang mereka bicarakan, dan mereka lakukan, berdua; aku tak bisa terluka. Semuanya terasa hangat dan nyaman, bahkan di bawah rintik-rintik dari langit kelabu. Kami berkeliling menembus keramaian, menyisir tumpukan-tumpukan buku dengan jeli. Menertawakan poster bergambar lucu. Membicarakan judul-judul buku yang menggelitik. Saling kehilangan dan saling mencari. Tak ada satu hal pun yang bisa menjadi salah. Setiap detik yang kulalui dalam kebersamaan itu, adalah anugerah...
Semua itu terasa menyenangkan... tanpamu.
Aku tertegun.
Bahkan jika pria yang beruntung itu tetap hadir bersama kami sore tadi, aku akan tetap merasa nyaman dan senang. Aku mungkin akan memanggilnya dengan nama yang lucu. Atau menunjukkan padanya buku-buku yang bagus. Mungkin senang juga ada pria lain bersama kami. Menambah jumlah orang. Dan setiap detik yang kami lalui bersama akan tetap menjadi kenangan yang kecil dan sepele, tapi indah--one of the so many little wonders in my lifetime.
Namun, ketika kubayangkan kehadiranmu, detik-detik itu mulai berubah. Semua yang mengalir dengan riang mendadak bergerak pelan dan menyakitkan. Seperti longsoran salju. Kehadiranmu seperti lubang hitam yang menghisap semuanya--menghisap nyamannya kebersamaan dan hanya menyisakan ketakutan. Membayangkanmu berada di tengah kami saja membuatku enggan. Aku merasa sakit. Aku tak sanggup jika harus menyaksikan kau akrab dengannya--dan meninggalkanku di luar lingkaran. Sebuah pengabaian yang sanggup mengubah butir-butir gula dalam setiap detik berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk-nusuk--kala kau hadir dalam ruang dan waktu yang sama denganku.
Inikah cinta?
Aku tersenyum getir.
Bukan, inilah kebodohan.
Cinta adalah ketika aku mendampingimu menapaki jalanan malam dan membuatmu tersenyum oleh pemandangan. Cinta adalah ketika aku menjadi besar--begitu besar untuk menampung semua curahanmu, dan menjadi semakin kuat untuk menularkan semangat padamu. Cinta adalah ketika aku mempercayakan semua lika-liku kehidupanku padamu, dan bahagia melihatmu tersenyum membaca semua itu. Cinta adalah ketika aku melihatmu terpejam dalam damai, dan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sampingmu, tetap ada meski kau tak tahu. Cinta adalah kebahagiaan, cinta adalah kehidupan.
Tapi lihat aku sekarang--aku merana, aku menderita! Aku sakit!
Pernah aku begitu mencintaimu. Adakalanya pula, di sela-sela waktu tertentu, aku begitu mencintaimu, hingga aku begitu kuat, aku tak bisa tersakiti, bahkan oleh kematian. Namun kerap pula cahayanya meredup ketika bayangan hitam menghantui--bayangan bahwa aku tidak dicintai. Bayangan bahwa pria lainlah yang kau cintai, sementara aku hanyalah sosok yang tak pernah ada dalam hatimu. Aku selalu berdiri di luar lingkaran hatimu. Dan rasioku mulai bertanya: mengapa semua yang kuberi tidak berbalas? Mengapa semua yang kuberikan, tak bisa membuatnya melihatku? Mengapa aku begitu tidak berarti, mengapa aku begitu tidak bernilai? Dan masa-masaku denganmu pun berubah menjadi ketakutan: akankah aku diabaikan lagi? Haruskah aku melihatmu menyanding pria lain--dan aku tetap berada di lingkaran luar, hanya bisa menyaksikan dengan cemburu yang menusuk-nusuk? Haruskah aku melihatmu tidak melihatku? Bayangan-bayangan itu menaungiku, menjadikanku enggan dan ketakutan. Aku takut kau abaikan.
Lihat, lihat aku sekarang. Aku bukan seorang pencinta, yang menjadi utuh dengan memberi dan menjadi.
Aku seorang pedagang, yang menghitung untung dan rugi, dan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Malam itu, setelah membantu temanku yang lain dengan proyek buku-buku, aku menapaki jalanan malam seorang diri. Aku bertanya dalam hati. Ke manakah jalan untuk kembali menjadi seorang pencinta? Di manakah aku harus berbelok untuk mencapai ketulusan itu? Aku seorang pengembara yang tersesat, dan tengah mencari jalan pulang.
Puteriku, aku ingin mencintaimu. Kau pernah menjadi Surgaku, dan kadang kau masih demikian bagiku. Takkan kubiarkan kau menjadi Neraka. Kan kutemukan jalan itu--jalan untuk menyingkapkan bayangan-bayangan hitam, untuk seterusnya kembali pada cahaya. Cahaya yang tiada berbatas, cahaya yang takkan pernah habis kuberi dan kucurahkan padamu, dan pada dunia. Cahaya yang kunamakan cinta.
Aku ingin mencintaimu dengan utuh. Seperti aku mencintai kehidupan.
Bandung, 1 Februari 2008,
- Rizal
Jumat, 01 Februari 2008
Seperti Aku Mencintai Kehidupan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar