Kamis, 21 Februari 2008

... Hanya Melakukan yang Terbaik


Pagi ini aku terbangun oleh bunyi alarm ponselku: Turn Over a New Leaf. Panji masih terlelap nyenyak. Windu masih duduk di depan komputer Panji sejak aku terlelap jam dua—membuka-buka komik bokep. Aku merenggangkan tubuh. Masih jam lima lebih sedikit; masih satu jam lebih perjanjianku dengan Sang Puteri. Tak lama setelahnya ponsel Esiaku berbunyi. Sang Puteri menelepon untuk membangunkanku, seperti yang kuminta. Tapi aku sudah bangun.

Jadi pagi ini, aku menjemputnya di depan rumah. Seperti biasa. Hanya kali ini, tujuannya bukan Jatinangor. Hari ini kami menuju Bandung. Aku pulang dan dia ada acara organisasi. Kebetulan sekali waktunya tak jauh terpaut. Dalam perjalanan, ia bercerita tentang banyak hal. Mendengarkannya bercerita di pagi hari bisa menjadikan hariku cerah hingga aku terlelap lagi nanti malam. Ia selalu melihat lurus ke depan, ke jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tak pernah melihatku. Tapi biar sajalah; kehadirannya di sampingku saja sudah cukup. Semua ceritanya yang ceria jauh lebih dari cukup.

Aku mengantarnya sampai ke tempat tujuan. Aku mengantarnya dekat sekali, niatku sambil mencari-cari seorang sahabat SMA-ku. Namun kemudian ia menjadi resah dan berkata,
”Di sini aja, jangan deket-deket! Malu nih gua.”
Aku menurunkannya tak jauh dari teman-temannya. Aku membantunya menurunkan barang-barang yang dibawanya dari rumah.
Lalu kupacu Blu pulang...

Kamu dengar tadi??? Kudengar sebuah suara, jauh dari dalam sana. Dari dalam diriku sendiri. Kamu dengar tadi, dia bilang dia malu???
Aku menghela nafas dalam. Iya, aku mendengarnya. Tentu saja.
Bagaimana bisa??? Bagaimana bisa, setelah semua yang kita lakukan, kita dianggap sebagai sesuatu yang memalukan? Kenapa, apa pun yang kita lakukan, salah, atau tidak cukup, di matanya??? Kenapa Pangeran yang menyakitinya itu tak pernah salah, tapi kita selalu salah? Bagaimana bisa?
Aku menghela nafas. Aku mendengarkanmu.
Sesaat suara itu terdiam. Tidakkah kita merasa sedih? Tidakkah kita menyesal?
Betul. Kita merasa sangat sedih.
Suara itu terdiam. Lama sekali.
Hey?
Kita merasa sangat sedih
, ia berkata.
Ya, kita merasa sangat sedih. Kita layak merasa sedih. Tapi... bukankah kita hanya melakukan yang terbaik? Bukankah kita hanya melakukan yang kita bisa—hanya memberikan yang bisa kita berikan?
Suara itu terdiam lagi.
Haruskah kita menyesal setelah memberikan yang terbaik?
Suara itu tidak bersuara lagi.
Anyway we’ve got our own agenda to do now. Shall we go?

Kupacu Blu melewati jalanan Dago yang ramai di pagi hari.


***


Malam hari itu juga, aku kembali bertemu dengannya. Lepas dari kenyataan bahwa aku hanya sosok bayangan baginya, aku merasa senang. Kami bersantap malam di sebuah tempat makan di Jalan Jawa. Berlima. Bisa kulihat jelas aktifitasnya seharian telah menguras tenaganya. Apalagi malam sebelumnya ia juga bekerja keras. Kini bisa kulihat dirinya mulai layu; ia tampak begitu kuyu, lemas, dan rapuh. Ia mulai sakit.
”Aku antar pulang, ya?”
Kami menapaki jalanan malam dengan Blu.
Di tengah perjalanan itu, ia berkomentar, ”Padahal rumah lo udah deket, ya. Tapi lo bakal muter jauh dulu.”
Aku tersenyum mendengarnya. Banyak hal di dunia ini tidaklah rasional, Puteri...


Aku hanya ingin memanfaatkan kesempatan bertemu denganmu, sebaik-baiknya.
Karena setiap detiknya begitu tak ternilai;
I’d go miles and hours,
Just for extra chance to spend my time with you...


“Tidur aja.” Kupandangi wajahnya yang sayu. “Kayaknya kamu butuh istirahat.”
”Iya.”
Tapi ia menemaniku menatap jalanan malam dan lampu-lampu kota. Ia menemaniku berbincang-bincang ringan. Ah, aku menyukai kata-katanya. Suaranya. Sesekali kupandangi arloji. Berkali-kali. Melewati separuh perjalanan menuju rumahnya, arlojiku menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Ia memperhatikan gerak-gerikku. "Ada janji, ya?" Tanyanya.
"Ah... iya." Aku tersenyum. "Ada janji. Di atas jam sembilan malam."
Kubiarkan Blu meluncur.
Ya... 9 pm onwards. Ada janji di atas jam sembilan malam.
Sebuah janji untuk memenuhi janjiku untukmu. Ingat perbincangan kita malam itu?
Kau akan mendapatkan jawabannya.
Segera... aku janji. Segera...

Pukul setengah sepuluh malam. Aku tiba di rumah dan langsung kuserbu laptop di atas meja. Kutatap layar itu nanar. Ayo... di mana kau? Jangan tinggalkan aku dulu. Koneksi internet telah tersambung, jendela YM telah terbuka. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Lalu kulihat dirinya di antara nama-nama lain. Sang Pangeran. Masih bersinar di ujung sana. Menunggu.
"Maaf. Aku baru pulang." Aku menyapanya.
"Iya." Kami hanya berbasa-basi pendek. ”Ada apa?”


Ya, ini tentang Sang Puteri. Tentang ia yang dulu kau tinggalkan sendiri. Tentang ia yang kutemukan penuh luka... dan masih saja terus mencarimu.
Aku mohon bantuanmu.
Katakan padanya, kenapa kau meninggalkannya. Katakan yang sebenarnya.
Pertanyaan itu telah menjebaknya diam di tempat.
Berikan dia jawabannya, dan lepaskan ia dari masa lalunya.
Aku mohon padamu... aku ingin melihatnya terbebas.
Dan tersenyum cerah.


Aku menyalin pembicaraan itu dan mengirimkannya pada Sang Puteri. Sesuai janjiku padamu, Puteri. This is the very least I can do for you.


Karena aku mencintaimu.


Dan kurasakan sakit mendentam-dentam. Seperti genderang perang yang ditabuh dari dalam dada. Kudengar lagi suara itu, suara yang datang jauh dari sana... dari kedalaman.

Kenapakah Sang Pangeran itu bisa begitu berarti di matanya? Kenapa kita tidak bisa?
Kupejamkan mata dan kuhela nafas dalam. Aku mendengarkanmu.
Bagaimana bisa, apa pun yang telah kita lakukan tidak pernah cukup? Bagaimana bisa Pangeran yang memyakiti dan mengabaikannya itu selalu mendapatkan hatinya, sementara kita... kita... kita selalu diabaikan?

Aku mengerti. Aku mendengarkanmu.
Sesaat suara itu terdiam. Layakkah kita merasa sedih? Bolehkah kita menyesal?
Ya... kita layak merasa sedih.
Aku berhenti.
Suara itu diam.
Kita layak merasa sedih. Tapi kita melakukan yang terbaik, bukan begitu?
Suara itu masih diam.
Kita hanya melakukan yang terbaik, meskipun itu menyakitkan, bukan begitu? Kita layak bersedih, tapi kita tidak layak menyesal; kita layak bangga. Karena bahkan sehancur ini pun, kita masih bisa bertahan dan memberikan yang terbaik dari diri kita.
Kita tidak lari. Ya, kita layak bersedih, dan kita layak merasa bangga.
Suara itu tidak bersuara lagi.


***


Ketika malam melarut dan suara-suara menghilang dari dunia, kubaringkan diri di atas ranjang. Kutatap langit-langit kamar yang remang-remang.
Suara itu tidak muncul lagi.
Aku tersenyum.
Aku merasa sedih, itu betul.
Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku.
Namun selama aku masih bisa melakukan yang terbaik, aku tak perlu menyesali apa-apa. Aku layak merasa bangga.
Aku tersenyum lagi. Dan kuteringat masa-masa yang telah kulalui bersamanya dalam satu hari. Ketika ia bercerita banyak, penuh semangat, dalam perjalanan ke Bandung di pagi hari. Ketika akhirnya ia meminta maaf mengenai kata-katanya sebelum turun—pun aku sudah bisa menerimanya. Ketika aku melihatnya duduk beristirahat di jok Blu, sementara kami berbincang-bincang ringan berdua. Ketika ia menguasai ponselku dan berkata, aku boleh memilih lagu. Dan teriakan senangnya saat sebuah lagu bagus dari Fall Out Boy terdengar dari speaker butut Blu. Ada begitu banyak fakta menyakitkan yang melayang-layang, fakta bahwa aku tak bermakna banyak untuknya; namun ada ribuan detik pengalaman indah yang kuserap, dan mengkristal menjadi kenangan manis. Ah, andai ia bisa merasakan detik-detik itu semanis aku merasakannya...

Aku menarik selimutku sampai ke leher. Akan ada lebih banyak lagi kenangan manis, kalau aku bersabar... dan tetap memberikan yang terbaik. Kupejamkan kedua mata dan tersenyum. Aku siap tertidur nyenyak.


Selamat malam, Puteri.


2 komentar:

Fanie funny mengatakan...

zal..
kok adegan "ngobrol dengan suara hati" mengingatkan gw akan sesuatu yaa??

I know..
Gollem nya Lord of The Rings..

hehehhe..
soalnya pake ngomong "kita" gitu sih..
entah Gollem, entah Nikki nya Heroes.
Ati2.. kejadian traumatik bisa mengakibatkan multiple personality disorder.
Piss bro..

tp adegan "mengirim percakapan YM kepada yang dicintai, walaupun isinya menyakitkan hati"
remind me of myself.
paling ga, gw ga kena multiple personality disorder lah.. maybe.

Rizal Affif mengatakan...

Hehe, bukan MP, tapi itu metode untuk menghadapi emosi: dengan mengambil jarak dari sendiri dan menjadi pengamat obyektif. It works very well though... gua bisa menghentikan pikiran gua yang terus-menerus mempertanyakan ketidakadilan Sang Puteri. Hanya perlu menjaga jarak dari "pikiran", lalu memperlakukan dirinya layaknya "klien" :)

Pernah mengalami adegan semenyakitkan itu juga, Steph? :)