Selasa, 12 Februari 2008

Berdamai dengan Hati


"Katanya, kalau kita tidak menyibukkan diri dengan hal-hal besar, kita akan disibukkan dengan hal-hal kecil.
"


Itu penggalan pesan yang kuterima pagi ini, saat aku menyelesaikan jogging rutinku di Sabuga. Sebuah pesan balasan atas pesan yang kukirimkan pagi sekali, sebelum aku pergi ke lapangan. Aku bilang, aku kangen dia. Aku kangen melewatkan waktu bersamanya.

Dan itulah jawabannya.

Aku tidak bisa tidak mengernyitkan dahi. Salahkah merasa kangen? Berdosakah memiliki perasaan yang jujur? Hingga ia dianggap sebagai "hal kecil" yang harus disingkirkan dengan "hal-hal besar"?

Ya, memang jika kita tidak menyibukkan diri dengan hal-hal besar, kita akan disibukkan dengan hal-hal kecil. Namun haruskah kita menyibukkan diri? Mengapakah kita harus menyibukkan diri? Mengapa kita harus selalu mengisi pikiran kita dengan kesibukan-kesibukan dari luar sana, hingga kita tak punya waktu lagi untuk mendengarkan perasaan kita--mendengarkan kejujuran yang diungkapkan oleh hati kita? Salahkah memiliki perasaan, salahkah mendengarkan hati? Apakah perasaan akan kaugolongkan menjadi "hal kecil"?

Namun hati adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita. Ia yang menjadikan kita seorang manusia. Tapi entah kenapa, seolah kita memusuhinya dengan sebutan "hal kecil". Padahal ia tak pernah berbohong, ia selalu jujur; dan kita hanya menipu diri kita sendiri!

Kita sadar, karena hati-lah kita masih menjadi seorang manusia.
Namun kita terlalu angkuh, atau takut, mendengarkan suaranya. Kita mengharapkan kebaikan, dan tak sepenuhnya siap menghadapi kejujuran. Oh, ya, kita berusaha mendengarkannya dengan seksama saat ia menyanyikan kebahagiaan dan sukacita. Namun ketika ia menceritakan rasa sakit, dukacita, atau penderitaan, kita menutup telinga kita. Ah, tapi suaranya masih juga terdengar! Jadi kita pun menenggelamkan diri kita dalam riuh kesibukan-kesibukan--pendengaran kita pun sesak oleh kegaduhan hal-hal besar! Kita pun tak lagi mendengarkan cerita duka dari hati. Betapa hal-hal besar merupakan candu yang menyenangkan. Seperti morfin yang menghilangkan rasa sakit, kesibukan-kesibukan besar membuat kita tak perlu lagi mendengar kesedihan yang diucapkan oleh hati. Namun morfin tidaklah menyembuhkan, dan hati hanya membicarakan kejujuran. Kita kemudian mendapati bahwa kita tidak hanya kehilangan kesedihan dan dukacita, kita juga kehilangan kebahagiaan dan sukacita. Kita tak lagi dapat mendengarkan sabda hati, karena candu membuat kita mati rasa. Kita menjadi hampa. Seperti robot. Kita berusaha terus meningkatkan dosis candunya untuk menyingkirkan kehampaan itu, tapi seiring dengan hal itu, semakin tumpul pula perasaan kita.

Aku sadar, karena hati-lah aku masih menjadi seorang manusia.
Maka, alih-alih membungkam suaranya, aku mencoba berdamai dengannya. Aku tahu jalanku masih panjang, tapi inilah keputusanku: aku takkan lagi membodohi diriku sendiri. Hati selalu jujur, dan aku akan menjadi pendengar setianya. Aku akan menerima semua yang dikatakannya: sakit, dukacita, derita, bosan, marah, sedih, berharap, cinta, bahagia, sukacita, dan banyak lagi. Bahkan ketika aku berjalan melalui kesibukan, aku masih akan setia mendengarkan suaranya. Sesekali. Aku akan berdamai dengannya. Karena ia adalah bagian hidup yang tak terpisahkan.

Maka Puteriku,
Aku mempunyai kesibukan, aku memiliki sejumlah aktifitas. Aku mengejar kehendak dan cita-citaku sendiri.
Namun bahkan melalui semua itu, aku akan tetap menyayangimu--dan merindukanmu selalu.
Selama itulah yang dikatakan oleh hatiku, ia yang menjadikanku seorang manusia.

Bandung, 12 Februari 2008,



- Rizal

Tidak ada komentar: