Kamis, 22 Mei 2008

Curhatan Seorang Calon Enumerator


Enumerator. Itu posisi kedua yang ditawarkan IMPACT padaku. Sebelumnya lembaga itu pernah menawariku posisi untuk data entry. Aku tidak suka bekerja semata-mata menginput data, jadi akhirnya aku menolak. Lain dengan enumerator. Tugasnya adalah turun ke lapangan mewawancarai para pengguna narkoba. Aku sangat tertarik. Aku ingin menjajal kemampuanku melakukan interview. Aku ingin menempa kemampuanku menghadapi orang-orang yang bermasalah. Tanpa pikir panjang aku segera menelepon koneksiku di IMPACT, "gwa daftar jadi enumerator!"

Dan terdaftarlah namaku dalam daftar calon enumerator.



***

Hari Rabu. Para calon enumerator berkumpul di markas IMPACT di Hasan Sadikin. Kami mendapatkan pelatihan selama dua hari berturut-turut. Hari pertama itu aku mengetahui bahwa kepala proyeknya adalah seorang dokter, dan calon-calon kolegaku adalah orang-orang dari Psikologi UNPAD dan Kedokteran UNPAD. Setelah penjelasan singkat mengenai penelitian dan pembekalan mengenai jenis-jenis narkotika, Dr. Shelly--sang kepala proyek--membagikan kami sebuah dokumen tipis. Aku melihat halaman demi halaman. Semacam kuesioner survey. Pada bagian depannya aku melihat judulnya. ASI-X. Dan di sampingnya... aku membelalak.

"Jadi ini ya panduan wawancaranya. Semua pertanyaannya harus ditanyakan..."

Formulir Wawancara. Aku tidak percaya ada panduan wawancara setebal itu. Aku teringat kuesioner-kuesioner rekan-rekanku yang sedang mengerjakan skripsi. Aku ingat protes karena kuesioner yang mereka buat tidak bersahabat dengan responden. Bahasanya kerap terlalu rumit untuk dipahami manusia normal. Atau yang lebih bikin senewen, kuesioner yang jumlah itemnya sampai ratusan, dengan beberapa item diulang-ulang, untuk mendapatkan validitas yang mengagumkan. Aku mengomel. Mahasiswa psikologi yang katanya mempelajari manusia, ternyata lebih tertarik dengan validitas alat ukur ketimbang dengan manusianya itu sendiri. Mahasiswa psikologi terlalu sibuk menentukan presisi hingga lupa untuk berempati.

Sulit dipercaya, aku menemukan masalah yang sama di lembaga multinasional sekelas IMPACT.

Dr. Shelly menjelaskan pada kami caranya menggunakan panduan tersebut. Jawaban hasil wawancara diskor secara numerik. Aku teringat panduan observasi seorang rekanku di Psikologi. Aku ingat rekanku itu menjelaskan, data hasil observasi dicantumkan dalam bentuk turus. Panduan tersebut mengundang banyak pertanyaan dari para calon observer. Aku ingat aku menyarankan, lebih baik pengisian diganti dengan kalimat deskriptif, alias data kualitatif. Data kualitatif bisa mencakup banyak hal situasional. Data kualitatif bisa dikonversi ke dalam bentuk numerik belakangan. Data kuantitatif alias numerik, di sisi lain, akan menghilangkan banyak data situasional. Ia pun tidak betul-betul bisa dikonversi kembali ke data kualitatif...

Sayangnya aku hanya bisa teringat. ASI-X adalah alat ukur yang dikembangkan oleh sejumlah orang jenius di Amerika. Validitas dan reliabilitasnya sangat bagus. Alat ini sudah diadaptasi dan digunakan di puluhan negara. Tidak ada bagian yang boleh diubah atau dimodifikasi karena bisa merusak validitas dan reliabilitasnya.

Secara keseluruhan, pengisian ASI-X membutuhkan waktu sekitar satu jam.

Aku menghela nafas. Ternyata bagi masyarakat ilmiah umum, yang terpenting adalah validitas dan reliabilitas alat ukur. Masalah beban bagi responden, atau keberadaan data-data situasional... semua harus tunduk di bawah validitas dan reliabilitas alat ukur. Inilah pola pikir masyarakat yang disebut ilmiah dan profesional. Pola pikir yang sangat bertentangan denganku, yang jauh mengagungkan manusia, dan segala keunikannya, jauh di atas validitas dan reliabilitas alat ukur. Ingin rasanya aku berontak dan mempermak formulir ASI-X itu. Seperti aku mempermak kuesioner-kuesioner rekan-rekanku di fakultas. Aku ingin menjadikannya jauh lebih manusiawi. Sayang, hal itu tidak dimungkinkan karena validitas dan reliabilitasnya bisa rusak. Validitas dan reliabilitasnya bisa rusak. Ya, karena validitas dan reliabilitas itu yang paling penting... aku jadi sinis.

Ah, mungkin aku saja yang cara berpikirnya tidak normal. Mungkin aku saja yang terlalu banyak terpengaruh oleh aliran kualitatif dan paham eksistensial.

Aku hanya menghela nafas, pasrah.



***



Hari Kamis. Para calon enumerator kembali berkumpul di markas IMPACT di Hasan Sadikin. Pada pelatihan hari dua, kami mewawancara pecandu narkoba secara berpasangan. Tujuh orang junkie datang menjelang coffee break. Aku dan rekanku Andi memilih junkie yang tampaknya paling parah. Wawancara itu bermula dengan obrolan-obrolan santai. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ASI-X mulai menampakkan kekuatannya. Aku dan Andi kelelahan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang begitu banyak, dan seolah berulang-ulang. Junkie yang kami wawancarai pun mulai tampak tertekan oleh pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan. Semua terasa kaku dan serba terkendali. Untunglah wawancara itu segera berakhir. Satu jam lebih beberapa menit. Aku mencairkan suasana dengan kembali mengajaknya mengobrol secara santai. Dan kami berhasil.

Ternyata aku justru yang paling beruntung. Dalam sesi sharing, junkie yang kuwawancara memuji aku dan Andi karena aktif dan punya rasa ingin tahu yang besar. Katanya, kami calon psikolog yang baik. Sayangnya tidak demikian dengan yang lain. Hampir semua junkie mengeluh. Ada yang mengeluh, pewawancaranya tidak siap, masih canggung. Ada yang mengeluh, pewawancaranya belum menguasai materi. Ada yang mengeluh, pewawancaranya bersikap seperti polisi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan pendek dan meminta jawaban-jawaban pendek. Para junkie bosan dengan pertanyaan yang melulu mengenai kondisi mereka 30 hari terakhir. Mereka mengeluh pertanyaan-pertanyaannya hanya mengenai apa yang sudah berlalu; padahal mereka menginginkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berkaitan dengan rencana mereka ke depannya.

Untuk beberapa keluhan, Dr. Shelly menyalahkan kami para calon enumerator. Manurutnya, kami belum sepenuhnya menguasai materi. Kami juga lupa mengungkapkan tujuan penelitian di bagian awal. Jelas itu memang salah kami. Namun untuk keluhan-keluhan lainnya, terutama yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pertanyaannya, Dr. Shelly tidak lantas menyalahkan ASI-X-nya. Dr. Shelly justru membelanya. Beliau menyatakan bahwa panduan tersebut dikembangkan di Amerika dan sudah digunakan di puluhan negara; dan panduan tersebut tidak boleh diubah. Pertanyaan-pertanyaannya, dengan demikian, adalah harga mati.

Bisa kulihat wajah-wajah para junkie yang tidak puas dengan hal itu.

Aku juga tidak puas. Aku bisa memahami ketidakpuasan mereka. Aku memahami keinginan mereka. Mereka ingin didengarkan. Mereka menginginkan obrolan yang santai dan mengalir tanpa beban. Mereka menginginkan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam, yang memungkinkan mereka bercerita banyak mengenai pengalaman-pengalaman mereka. Atau cerita mengenai rencana-rencana mereka ke depannya. Jelas mereka kecewa ketika ternyata mereka lebih banyak diperlakukan sebagai mesin penjawab pertanyaan. Ketika mereka malah mendapatkan sesi yang mirip sesi interogasi. Ketika mereka mendapatkan begitu banyak pertanyaan yang berulang-ulang dan memaksa mereka hanya menjawab singkat. Yang hanya mengungkit-ungkit kejadian 30 hari terakhir.

Dr. Shelly juga memahami kekecewaan itu. Tapi baginya, ASI-X adalah harga mati.

Ingin rasanya aku angkat bicara. Ingin pula aku berkata lantang, mari kita buang saja ASI-X itu! Mari kita gunakan teknik wawancara terbuka. Atau mari kita ringkas menjadi panduan mini yang lebih tepat guna. Mari kita catat informasi dari pasien secara deskriptif berdasarkan pengalaman-pengalaman konkrit mereka. Baru mari kita konversi menjadi skor numerik belakangan. Tapi aku tahu, mungkin hanya aku yang berpikir seperti itu. Mungkin aku satu-satunya orang yang berpikir seperti itu.

Memang mungkin hanya aku saja yang cara berpikirnya tidak normal. Mungkin aku saja yang terlalu banyak terpengaruh oleh aliran kualitatif dan paham eksistensial.

Aku hanya menghela nafas, pasrah.



***

Mengapakah banyak orang mengagungkan validitas dan reliabilitas di atas segala-galanya--di atas manusia itu sendiri?

Dr. Shelly bilang, tujuan penelitian yang aku ikuti ini adalah untuk mendapatkan gambaran umum pengguna narkoba suntik dari berbagai aspek. Aspek kesehatan. Aspek keuangan. Aspek alkohol/narkoba. Aspek hukum. Aspek lingkungan sosial. Dan aspek psikologis. Dr. Shelly berharap nantinya IMPACT bisa mendapatkan data mengenai aspek mana yang menjadi masalah utama bagi para pengguna narkoba suntik. Data tersebut akan dijadikan acuan untuk merancang program terapi yang lebih baik untuk mereka.

Namun apa yang sesungguhnya kita butuhkan untuk merancang program terapi yang lebih baik? Alat ukur yang sangat termasyhurkah? Atau pemahaman atas diri mereka secara alamiah dan mendalam? Bagaimana mungkin kita bisa memahami mereka dengan baik apabila kita hanya memperlakukan mereka sebagai obyek, sebagai "karung informasi"? Bagaimana mungkin kita bisa memahami mereka jika kita menomorsekiankan empati, jika kita lebih mengagungkan kemasyhuran alat ukur? Bagaimana kita bisa memahami mereka lebih baik jika kita lebih percaya pada alat ukur ketimbang pada para junkie itu sendiri? Bagaimana mungkin kita bisa memahami masalah-masalah utama mereka jika kita hanya peduli pada jawaban normatif, jika kita hanya peduli pada angka-angka 0-9? Yang paling sederhana saja: bagaimana bisa kita memahami mereka jika kita tidak peduli dengan keinginan mereka untuk didengarkan; jika kita lebih peduli dengan terisinya panduan wawancara hingga penuh?

Aku ingin berkata lantang, mari kita buang saja ASI-X itu! Mari kita gunakan teknik wawancara terbuka. Mari kita himpun data yang jauh lebih kaya dan mendalam daripada data dari ASI-X yang arogan itu, yang masyhur karena buatan Amerika dan digunakan di puluhan negara! Mari kita membuat sesuatu yang lebih baik! Mari kita biarkan cemoohan dunia ilmiah. Mari kita berfokus pada upaya untuk merancang program terapi yang jauh lebih tepat sasaran meskipun dicemooh para otoritas ilmiah!



***

Lalu aku melihat. Aku duduk di bangku belakang, bukan di depan sana.
Dr. Shelly yang duduk di depan, karena ia pimpinan penelitiannya.
Aku, aku hanya seorang enumerator.
Salah, aku malah baru calon enumerator.
Karena katanya, setelah ini, kami akan diseleksi lagi.
Entah itu hanya rumor atau memang benar, karena yang kutahu bahkan Dr. Shelly menarik beberapa orang staff IMPACT untuk menjadi enumerator juga.
Meskipun Dr. Shelly juga pernah menolak pendaftar yang telat, karena katanya kursi untuk enumerator sudah lebih dari cukup.
Ah, masa bodoh lah.
Mungkin memang aku harus mulai dari sini. Dari posisi di mana aku tidak bisa komplain apa-apa. Dari posisi yang hanya melaksanakan perintah atasan.
Mungkin cara berpikirku memang tidak normal.
Mungkin aku terlalu banyak terpengaruh oleh aliran kualitatif dan paham eksistensial.
Dan aku berharap, itu sebuah penyakit. Sebuah PENYAKIT MENULAR.
Dan aku mengutuk dunia ilmiah ilmu medis dan sosial: semoga mereka semua tertular olehku kelak.
Agar mereka lebih menjunjung tinggi kemanusiaan di atas kekakuan validitas dan reliabilitas alat ukur...



***

Sekali lagi aku melihat.
Aku hanya seorang calon enumerator.
Jadi saat ini, aku hanya bisa curhat ;p

11 komentar:

Anonim mengatakan...

jalsky, selamat mencoba bergaul dengan orang2 itu langsung!! seru kok. gudlak ;)

Rizal Affif mengatakan...

Nyahhahhahhahhahh... thx Git :D

....WasiL.... mengatakan...

so ??
jadi join zal ???
siapin ruang sabar yg lebih berarti ya ??? =D

Rizal Affif mengatakan...

Jadi dong. Siapin ruang sabar lebih? Yah memang ASI-X-nya menyebalkan, tapi beneran, gua akan nikmatin pengalaman itu. Pengalaman berbincang langsung dengan para pecandu :D

....WasiL.... mengatakan...

ngom2 soal pecandu, gw butuh data ttg efek pemakaian obat tertentu dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun dunk...
bisa ga tanya2 ma dokter sana gitu ??? lebih baik lagi ke psikiaternya siy...

caki mengatakan...

Salut! Cuma satu kata yang mw gw bilang sama orang-orang yang fanatik sama alat ukur .... TOLOL!! Kayanya mereka lupa kalo alat tes hanyalah alat, ga lebih... ngutip omongan dosen gw, yang penting bukan angka skor yang kita dapat, tapi dinamika apa yang ada di belakangnya..... percaya deh bakal ada waktunya bagi kita buat benerin itu semua....

-Caki-(temen lama lo... kalo masih inget... hehe)

Rizal Affif mengatakan...

@ The Zahir: Ntar suatu kali lu boleh ikut ke Puskesmas Salam... tapi lu kan dah gawe di Kalimantan???

@ Caki: Halo Cak! How did u find me??? Yah, kenyataannya memang lebih banyak yang gandrung alat ukur daripada gandrung sama manusia itu sendiri. Gua ampe hopeless ni cari profesor, setelah nyari2 gua curiga ntar S2 gua malah mendarat di pangkuan seorang profesor filsafat! Habis profesor psikologi terlalu ribet dengan pengukuran. Gua mau ralat, yang penting bukan skor yang kita dapat, yang penting bukan dinamika apa di dalamnya, tapi... yang penting adalah seberapa besar kepedulian kita pada manusia itu, dan seberapa besar kemauan kita untuk memahaminya ketimbang menjelaskannya dengan teori & dinamika :D

....WasiL.... mengatakan...

sompral lu..
kata sape gw kerja di kaltim ??
kantor gw jkt bos (a.k.a head office).
cuma site-nya emang di kaltim.. ;)

Anonim mengatakan...

saya belum paham ttg validitas dan reliabilitas untuk pengukuran penyakit menular maupun non menular...
hee maklum baru masuk kul..
^_^

Anonim mengatakan...

saya belum paham ttg validitas dan reliabilitas untuk pengukuran penyakit menular maupun non menular...
hee maklum baru masuk kul..
^_^

Anonim mengatakan...

slmat siang Mas
mau nanya nih,,, soal wawancarnya kira2 sperti yang diatas,, nah utk tes komputernya apa saja yang diujikan??? krena kebtulan tgl 19 bula ini ada jadwal wawancara dan tes komputer utk seleksi enumurator,,, trma kasih mbak sblumnya ni
nmer wa saya : 082339932009