Sabtu, 10 Mei 2008

One Nite Stand


"Mim, liat ikan yang itu deh."

"Ikan yang mana?"

"Yang itu tuh... itu..." Aku menempelkan telunjukku ke permukaan kaca.

"Iya, yang itu, kenapa Jal?"

"Itu, lagi boker tu... item-item panjang gitu."

Kami tertawa. Sebuah cuplikan pada malam minggu di Braga Citywalk. Bersama temanku, kalau tidak bisa dibilang sahabatku, Mimim. Sebenarnya kami datang untuk nonton Tarix Jabrix. Namun kami tiba pukul tujuh malam, padahal film yang dimaksud mulai pukul delapan malam. Jadilah kami menghabiskan waktu satu jam yang tersisa berputar-putar tanpa arah. Mengomentari ikan-ikan dalam akuarium. Berdebat mengenai perasaan ikan yang berenang-renang di dalamnya. Menapaki jalan Braga dari ujung ke ujung, sambil mengomentari setiap bar dan rumah makan yang kami lewati. Menonton pertunjukan musik tradisional sambil menyambung cerita. Duduk-duduk di depan bioskop 21 sambil berdebat mengenai pentingnya pegangan tangan bagi orang yang pacaran.

Malam minggu yang menjadi momen yang menyenangkan, mengalir lepas tanpa beban; tanpa ekspektasi apa-apa.

Bukankah demikian sejatinya menjadi manusia itu? Menjadi manusia yang bisa berbahagia bersama orang lain, atau bersama seseorang yang istimewa, tapi tetap menjadi individu yang bebas-independen. Tidak mengikatkan diri pada status, atau memenjara diri sendiri dengan harapan dan tuntutan yang berlebihan. Malam itu kami tertawa bersama saat menonton. Menikmati keramaian malam minggu sepanjang jalan Dago, dan sesekali mengambil jalan memutar untuk menghindari pengamen-pengamen keroyokan. Mengantarnya pulang sampai ke pintu pagar kosan. Membukakan pintu dan mengucapkan selamat malam. Hal-hal kecil yang sudah kurindukan sejak lama. Luar biasa kini aku bisa melakukannya dan merasakan kebahagiaan darinya; dan tidak ada ketakutan yang mengikutinya.

Aku menjadi manusia bebas yang bisa menikmati waktu bersamanya apa adanya. Tanpa berharap banyak untuk mengulanginya. Tanpa ketakutan bahwa aku akan kehilangan dia, atau dia akan meninggalkanku untuk pria lain. Aku bisa pulang dan berkonsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang tertinggal, yang memang harus kuselesaikan.

Aku jadi bertanya-tanya--kenapa orang berpacaran? Bukankah seharusnya manusia mampu menikmati setiap momen dalam hidupnya, tanpa mengikatkan diri pada ekspektasi apa pun? Sejatinya, manusia mampu menjadi makhluk yang bebas, selama ia tidak mengikatkan diri pada sesuatu.

Dengan alasan yang sama... kenapakah manusia harus menikah?

Entah kenapa manusia terlalu banyak menghitung untung dan rugi, dan terobsesi dengan keinginan untuk memiliki. Seharusnya kehidupan dibiarkan mengalir seperti nafas. Seperti pengalamanku dengan Mimim. Pengalaman ada untuk dialami, seperti tarikan nafas, tapi bukan untuk dimiliki; karena kelak kita harus menghembuskannya dan membiarkan pengalaman lain masuk dalam hidup kita.

Aku akan menjadi orang yang mampu menghargai kehidupan seperti tarikan nafas.

4 komentar:

infi mengatakan...

Keterikatan dengan orang lain itu fitrah dari-Nya untuk hamba-Nya. Tapi sekali lagi, itu pilihan. Apakah kita akan menggunakannya atau tidak. It depends on your need, or maybe your passion..
^-^

She Neno mengatakan...

Akhirnya gw liat lu di blog lagi.. Wah, asik kan jalan sama mimim? hehe, maksudnya, itulah enaknya.. bisa jalan-jalan di malam minggu, berbahagia, tanpa beban..

mungkin suasana seperti ini yang lu cari selama ini. mungkin gw juga nyari suasana yang seperti itu. mungkin yang lain juga?

btw, karena udah ga ujan, tambah makan es krim enak juga jigana =D


keep this smile
=)

Anonim mengatakan...

Zal.. perdebatan mengenai pentingnya pegangan tangan untuk orang pacaran apa hasilnya????

Rizal Affif mengatakan...

@ Rizky: Keterikatan itu bencana. Saling mencintai itu fitrah. Beda lho, hohoho. Saling mencintai membuat hidup tetap mengalir, tapi keterikatan membuat manusia jadi statis. Jadi... HIDUP SAMEN LEVEN! Nyehhehhehhehhehh... yah passion mah pengennya saling mencintai, tapi apalah daya saya dapet anugrah hanya untuk mencintai saja :D

@ Neno: Sudah mengalami juga kan? Iya, itu suasana yang gua cari. Ga mungkin terjadi kalo orang masih menyimpan ketakutan2 tertentu. Tidak menyangka, bisa juga gua mengalaminya dengan nyaman bersama lo :p

@ Lulus: Ga ada hasilnya Bro, da debat kusir, filmnya keburu mule. Kata Mimim, pegangan tangan simbol penjajahan cowo ada cewe, atau karena cowo cari-cari kesempatan. Kalo kata gua, itu artinya masing-masing udah bisa membuka diri satu sama lain dan mengurangi ruang pribadi untuk menjadi bersama :D silakan dipilih dipilih... :p