Senin, 19 Mei 2008

Ketika Uang Menjadi Tuhan


Sarapan bersama di selasa pagi terisi oleh perbincangan mengenai perguruan tinggi.

Obrolan yang wajar mengemuka mengingat adikku yang paling kecil--Ardhi--sedang mengurus pendaftaran ke PTN-PTN pilihannya. Ternyata zaman sekarang, mendaftar ke PTN tidak semudah dan sesederhana dulu. Dengan dikuranginya bantuan dari pemerintah, PTN-PTN yang ada harus bisa lebih mandiri. Celakanya, hal ini diwujudkan dengan pemungutan uang besar-besaran dari calon mahasiswa.

Adikku mengincar FEUI. Sayangnya, seperti hampir semua PTN ternama lainnya, UI memperkecil jalan masuk melalui SPMB. Hanya 20% kursi yang tersedia untuk jalur SPMB. 10% untuk jalur PMDK. Sisanya? Ya harus lewat ujian mandiri yang diadakan oleh UI sendiri. Repotnya, calon mahasiswa yang mendaftar melalui ujian mandiri itu wajib memberikan sumbangan minimal belasan sampai puluhan juta, tergantung program studi yang diincar. Kalau demikian caranya, maka pendidikan di Indonesia hanya berpihak pada the haves, orang-orang berduit. Orang-orang have-nots alias yang kurang punya duit akan semakin kesulitan mengandalkan mobilitas sosial melalui jalur pendidikan. Bayangkan, padahal angka kemiskinan di negara ini sampai 80%. Dan sistem-sistem yang ada, termasuk sistem pendidikan, telah memperkecil celah bagi mereka untuk melakukan mobilitas sosial alias mengubah nasib.

Di antara PTN-PTN ternama itu, ternyata yang paling mahal adalah UNPAD. Demikian kata adikku. Aku menghela nafas, malu sekali. Bayangkan. Konon Fakultas Kedokteran UNPAD meminta bayaran minimal 180 juta rupiah untuk biaya masuk. Padahal Fakultas Kedokteran UI yang katanya lebih baik saja "hanya" meminta 25 juta rupiah.

Bapakku mengolok, "Siapa yang mau masuk FK UNPAD?"

Adikku menjawab. "Jangan salah. Yang ngantri udah banyak banget."

Aku hanya geleng-geleng kepala.

Adikku menambahkan. "180 juta itu minimal. Nanti yang diterima ya yang nyumbangnya paling tinggi."

Aku berpikir: mau jadi apa bangsa ini? Pendidikan sebagai akar terdalam kemajuan bangsa sudah dicemari juga oleh kapitalisme. Pendidikan tidak lagi melihat prestasi, tapi melihat siapa yang mampu bayar mahal. Tentu saja jelas; yang mampu bayar ya orang-orang yang punya duit. Tentu saja orang-orang berduit rela membayar mahal demi mendapatkan duit lebih banyak. Akibatnya, bisa dibayangkan: di masa depan, kita akan sangat kesulitan menemukan orang-orang yang bekerja secara sukarela, atau orang-orang yang mengabdi untuk keilmuan atau kemanusiaan, dan kita akan menemukan orang-orang yang mengabdi untuk uang di mana-mana. Dunia pendidikan sekarang mengajarkan bahwa uang adalah hal terpenting dalam hidup, yang memungkinkan kita meraih SEGALANYA; dan dengan nilai itulah bangsa ini akan hidup di masa depan. Dokter tidak akan banyak berpikir mengenai kesejahteraan pasiennya, yang penting ia dapat duit banyak. Pengacara tidak lagi mau membela yang lemah, karena yang lemah tidak bisa bayar mahal. Pejabat akan memenangkan hak-hak orang berduit dan menindas orang-orang yang sudah tertindas. Delapan puluh persen orang di negara ini akan makin tertindas, dan jumlahnya pasti akan naik. Karena hanya yang punya duit yang bisa bertahan; jalur lain telah tertutup.

Inilah negara paling kapitalis sedunia. Amerika Serikat yang disebut-sebut sebagai biang kapitalisme saja tidak melulu uang. Bill Gates, Warren Buffet, Oprah, dan banyak lagi orang kaya Amerika memperoleh kekayaan dengan menjual komoditi dagang; tapi mereka justru mendonasikan sejumlah besar uang untuk pendidikan murah. Di sini? Orang-orang malah meraup uang dari dunia pendidikan, menjadikannya bisnis. Di Indonesia, kemanusiaan telah dilupakan, dan uang telah menjadi tuhan. Disembah lebih dari segalanya. Dan orang-orang yang memiliki uang mampu memiliki segalanya. Uang menjadi segalanya.

Aku jadi ingat. Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengirimi saya sebuah e-mail. Isinya adalah ajakan untuk bergabung dengan sebuah program, di mana pesertanya akan dibayar beberapa sen jika mengklik sesuatu di internet dan memperkenalkannya pada orang lain. Teman saya itu membujuk, "ikut ya?"

"Sorry. I wouldn't participate in such a thing." Dan saat itu juga aku merasa kecewa, dan merasa tak ingin lagi bicara dengannya.

Aku jengah.

Mengapakah orang rela melakukan apa saja demi uang? Mana yang kita sebut sebagai Tuhan yang kita sembah? Aku jengah, aku lelah. Demi uang manusia melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Dan entah kenapa, semakin lama semakin banyak sistem yang mendukung orang-orang berduit. Semua hal dinilai dengan uang. Menimbulkan persaingan hukum rimba yang pastinya akan semakin menghancurkan kemanusiaan. Di sini uang menjadi lebih penting daripada manusia, hingga akhirnya uang dikejar-kejar lebih dari segalanya. Mengapa seolah hanya aku yang melihat ini semua, mengapa seolah semua orang hanyut dalam sistem kapitalisme itu? Tentu ada banyak temanku yang bilang, bagaimanapun kita butuh duit, dan kalau kita punya duit kita bisa melakukan perubahan. Aku tidak menyangkal aku butuh duit, tapi aku tidak setuju kita harus berduit dulu untuk bisa melakukan perubahan. Bagaimana mungkin kita melakukan perubahan kalau sejak awal kita sudah membiarkan diri kita terbelenggu oleh sistem itu? Aku butuh duit, tapi aku menolak mengakuinya sebagai kebutuhan tertinggi.

Aku jengah, aku lelah.

Semoga saat menjadi dosen nanti, aku bisa mendidik mahasiswa-mahasiswaku, agar mereka tidak menuhankan uang.

Dan semoga aku bisa tetap konsisten untuk tidak menuhankan uang. Aku butuh uang, tapi aku tidak akan menjadikannya tujuan hidup.

Semoga.

2 komentar:

Vuterlanik mengatakan...

Amin.amin.amin. Tenang teman, jangan jengah dan lelah dulu. InsyaAllah masih ada orang2 bernurani yg sepemahaman, kalo ga bisa dibilang masih banyak.
Dulu,saya pengen banget jadi orang kaya karna orang kaya bisa leluasa bantuin dan berbagi manfaat buat orang lain. Sampe ada temen yang nunjukin kalo keinginan saya mesti direvisi, buat jadi orang yang bermanfaat ga perlu nunggu punya banyak uang. Dia ngoptimalin potensi yang dia punya buat benerin lingkungan sekitarnya yang memang bukan komunitas the-haves. Dia sendiri hidupnya sederhana bgt tp alhamdulillah bisa kuliah dgn beasiswa. Dia suka ngajar,trus dia bikin sekolah2an buat anak2 di sekitar rumahnya,gratis. Dan satu waktu,dalam kondisi dia lagi kesulitan nyari uang buat bayaran kuliah yg udh mw deadline,dia masih nyempetin diri memastikan keberlangsungan sekolah yg dia rintis,saya sampe merinding liat semangatnya buat berbagi dengan sukarela.. Tanpa uang juga dia bisa optimal berkarya.. Banyak uang memang bikin kita lebih leluasa buat berbagi manfaat, tp ga berarti harus nunggu banyak uang dulu baru bisa bantuin orang.. Dan terus saya jadi semakin nyadar kalo uang sama sekali bukan segalanya,horee!! :D
Hm..insyaAllah indonesia akan jadi negara yang maju makmur sejahtera di tangan generasi penerus seperti kita2 yg tida matre,hihi. Amin2..

Rizal Affif mengatakan...

Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnnnnnnn...

<=D