Sabtu, 24 Mei 2008

Melepaskan


Let it go
Let it roll right off your shoulder
Don’t you know
The hardest part is over
Let it in
Let your clarity define you
In the end
We will only just remember how it feels

Sudah sering aku menerima orang yang curhat mengenai kisah cinta mereka. Belajar bersama mereka makna dari cinta, hubungan, kehilangan, dan kekecewaan. Namun baru kali ini aku bisa melihat sebuah potret yang utuh. Sang pria, sahabatku, percaya aku bisa mencerna keluhan-keluhannya menjadi solusi konkrit. Sang wanita, pasangannya, percaya aku sebagai orang psikologi mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya mengenai manusia. Mereka berdua insan yang saling mencintai. Namun mereka saling kehilangan dan sama-sama menderita. Dan mereka datang padaku.

Bagi sang pria, wanita yang disayanginya memberinya kenyamanan dan kedamaian. Bersamanyalah sahabatku itu membayangkan keluarga yang harmonis di masa depan. Istri yang menyambutnya di rumah ketika ia pulang. Tempatnya bermanja-manja dan melepas lelah setelah seharian bekerja di luar sana. Sosok yang menjadi pendampingnya menjalani hidup yang panjang hingga akhir hayat. Namun kemudian perhatian sang wanita membuatnya bosan. Ia pernah mengenal wanita yang justru memberinya tantangan untuk selalu berkarya, dan ia merindukan wanita seperti itu. Wanita yang tak pernah membuatnya bosan, meskipun tidak bisa memberikan kenyamanan. Sahabatku itu merindukan wanita seperti itu, tapi juga menginginkan kenyamanan. Ia menginginkan keduanya. Ia menginginkan wanita yang bisa memberinya kenyamanan sekaligus tantangan. Andai wanita yang bersamanya sekarang bisa memuaskan semua keinginannya itu...

Dan sang wanita. Sosok yang dulu sangat mandiri hingga sahabatku itu mendekatinya, memanjakannya. Ia terlena. Ia mencurahkan seluruh perasaan dan perhatiannya untuk sahabatku itu, tapi kemudian sahabatku itu menjadi bosan. Betapa tidak adil! Saat ia sudah sangat terbiasa dengan perlakuan istimewa, pacarnya mengatakan bosan dan ingin pergi dulu. Betapa tidak adil! Andai pria itu bisa lebih memahaminya. Andai pria itu bisa lebih bertanggung jawab, dan menyayanginya seperti dulu, seperti ia masih menyayanginya hingga sekarang...

Dan aku. Aku menjadi penonton melalui layar laptopku. Menyaksikan mereka yang masih saling menyayangi dan saling membutuhkan. Namun saling kehilangan dan sama-sama terluka.

Tidakkah menakjubkan bagaimana sepasang manusia yang saling menyayangi akhirnya dapat saling mengikat, saling menjajah, dan akhirnya saling melukai? Tidak ada kebahagiaan yang tersisa dalam hubungan mereka sekarang. Dulu mereka adalah pasangan yang berbahagia, yang menikmati setiap waktu yang mereka lalui bersama. Ke manakah kebahagiaan itu pergi? Mereka berharap bisa kembali pada masa-masa indah itu lagi, masa-masa indah yang mereka jalani bersama. Namun tentu saja dunia telah berubah, dan akan selalu berubah. Hingga mereka saling kehilangan. Saling mempertanyakan. Saling berharap, dan saling menuntut. Namun masa lalu takkan pernah kembali. Kenangan hadir hanya untuk dihargai keindahannya, tapi bukan untuk diulang. Kenangan akan selamanya menjadi bagian dari diri mereka; tapi mereka berdua harus menciptakan masa-masa indah yang baru. Karena dunia terus berubah, mereka juga terus berubah, dan masa-masa yang harus mereka lalui bersama pun terus berubah.

Sang wanita berkata padaku, ia sudah tidak bisa mengenali dirinya sendiri lagi. Ia tak tahu lagi apa yang diinginkannya. Namun aku tahu, jauh dalam hatinya, ia berharap semuanya bisa menjadi seperti sediakala. Sementara sahabatku, terdera rasa bersalah, memutuskan untuk berusaha lebih keras mempertahankan hubungan. Selama ini keadaannya memang tidak adil. Sang wanita sudah berusaha sangat keras, dan sahabatku itu terlalu cepat menyerah. Sudah saatnya ia berkorban lebih banyak. Namun, cinta tidak datang dari pengorbanan. Saat mereka saling jatuh cinta dulu, mereka tidak saling berkorban; mereka saling berkelimpahan dan mereka saling berbagi.

Aku berkata, “Lepasin aja, Bro.”

Sahabatku itu membalas. “Lepasin?”

“Lepasin. Nggak usah berusaha apa-apa. Karena dulu saat pertama kali jatuh cinta, lu nggak berusaha jatuh cinta sama dia. Saat dulu lu berbahagia dengan dia pun, lu nggak berusaha untuk berbahagia, atau berusaha mengulang masa indah apa-apa. Semuanya dateng gitu aja.”

“Tapi bukannya kita harus berusaha?”

“Dulu kalian berbahagia karena saling menemukan dan menjalani semuanya dengan alami. Tanpa rencana dan tanpa harapan apa-apa. Sekarang kalian terpaku pada kebahagiaan yang sudah berlalu. Sekarang kalian saling tergantung, saling mengikat, dan saling menyakiti. Kalian berencana dan berharap bisa mendapatkan lagi kebahagiaan. Tapi untuk bisa berbahagia seperti dulu, kalian harus saling menemukan lagi. Dan untuk saling menemukan lagi, kalian harus saling melepaskan dulu. Kalian harus bebas lagi, sebebas dulu saat kalian saling jatuh cinta pertama kali. Kalian harus berusaha, tapi bukan berusaha untuk menjaga hubungan; kalian harus berusaha untuk saling melepaskan dan saling membebaskan diri.”

“Tapi gua gak mau kehilangan dia.”

“Jangan khawatir. Kalau dia emang yang terbaik buat lu, kalian pasti akan saling menemukan lagi. Dan kalian pasti bisa berbahagia bersama-sama lagi, dan lu pasti bersyukur. Tapi kalo kalian nggak saling menemukan lagi, lu bakal saling menemukan dengan yang terbaik. Dan saat itu, lu juga pasti bersyukur.”

Agak lama sahabatku itu terdiam. “Ah, itu bikin lega. Thanks a lot, Bro.”

Entah apa dia benar-benar mengerti maksudku atau tidak. Aku tersenyum menatap pesannya di layar laptop. Tersenyum getir.


***


Tersenyum getir, karena saat aku menceramahinya, aku menampar diriku sendiri. Melalui mereka aku bercermin dan melihat bayangan buruk rupa: bayanganku sendiri. Entah apa yang orang-orang lihat dariku hingga mereka percaya padaku. Tapi aku sendiri bukan orang yang terbilang berhasil dalam percintaan. Bukan hanya karena sampai sekarang aku masih menjomblo. Satu setengah tahun, aku selalu membela diri dengan kedok “kesetiaan”. Namun aku tahu, jauh di baliknya, aku hanyalah orang yang belum sanggup melepaskan.

Satu setengah tahun yang lalu, aku mengalami masa-masa yang amat menyenangkan dengan Sang Puteri. Aku terlena. Lalu aku pergi diklat... dan mendapati dirinya sudah menghilang saat aku pulang. Aku merindukan masa-masa itu, masa-masa indah bersamanya sebelum aku pergi diklat. Kerinduan tumbuh menjadi harapan, harapan tumbuh, mengembang, membesar, dan menghimpitku. Menyesakkan. Dan kemudian ia mengatakan padaku, aku tidak pernah kehilangan apa-apa, karena sejak awal aku tidak memiliki apa-apa. Cintanya hanyalah bayangan semu; cintaku padanya bertepuk sebelah tangan.

Apakah yang harus kulakukan agar aku bisa kaucintai, Puteri?

Satu setengah tahun. Naik dan turun. Masa-masa menyenangkan bercampur-baur dengan kekecewaan yang mendalam serta perselisihan yang keras. Aku ingin memenangkan hatinya. Aku ingin membuatnya juga menginginkanku sebanyak aku menginginkannya. Namun semua itu tak pernah menjadi lebih dari sekadar angan-angan. Aku tak pernah bergerak ke mana-mana. Satu setengah tahun aku berlari di tempat. Aku tak bisa meraihnya, mendapatkannya, dan menjadi lebih dekat dengannya. Namun aku juga tak bisa melupakannya, karena ia juga tak pernah benar-benar pergi jauh.

Satu setengah tahun aku terjebak dalam lingkaran setan, berputar-putar tanpa arah. Tidak pernah ada kebahagiaan yang nyata, karena setiap rasa senang hampir pasti akan diikuti oleh kekecewaan, dan kekecewaan menyebabkan tuntutan, dan tuntutan menyebabkan perselisihan, dan dalam perselisihan kami saling melukai, kami saling menyakiti. Ke manakah kebahagiaan yang dulu pernah kurasakan itu? Aku masih menyayanginya, aku tak ingin menyakitinya. Aku ingin berhenti. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, sebelum aku pergi diklat. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya membebaskan diri dari lingkaran setan itu. Aku tak tahu bagaimana caranya meraih kembali kebahagiaan itu.


***


Beberapa hari belakangan ini, aku sedang sangat menikmati masa-masaku dengan Sang Puteri. Menjalani momen-momen bersama dengan penuh sukacita. Berputar-putar di kota mencari bioskop yang masih memutar Iron Man, atau menyelesaikan berbagai macam urusan di banyak tempat. Menunggunya lama di tempat janjian, lalu melihatnya datang dengan pakaian berwarna mentereng. Memilih dan mengomentari barang-barang mewah yang terpajang di etalase-etalase mall. Lepas kendali di taman bermain, mengumpulkan sebanyak mungkin poin untuk ditukarkan dengan cinderamata. Makan malam dan saling mencoba menu yang dipesan. Melihatnya berdiri menunggu di tepi jalan. Mengantarnya pulang meskipun hanya sampai ke depan gang. Menghabiskan waktu bersama mengantri BBM jam tujuh malam... sungguh bukan hal-hal besar, hanya hal-hal kecil biasa. Namun setiap detiknya, setiap detiknya penuh oleh kebahagiaan.

Sebesar kebahagiaanku satu setengah tahun yang lalu, sebelum aku pergi diklat.

Aku tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Apakah akhirnya ia kembali menjadi seperti dulu, sebelum aku menghilang dua minggu dalam diklat? Apakah akhirnya ia mencintaiku juga? Semuanya masih menjadi misteri. Tapi satu hal yang pasti: semuanya terjadi begitu saja. Spontan. Tanpa perencanaan apa-apa, tanpa pengharapan apa-apa, tanpa usaha apa-apa.

Aku menemukan kembali kebahagiaan itu, kebahagiaan yang telah lama kucari-cari.

Justru ketika akhinya aku mulai menyerah, ketika aku mulai melepaskan segala upaya, segala sesuatunya berubah menjadi alamiah, menjadi luwes, mengalir, senantiasa berubah, dan karenanya senantiasa menjadi baru. Tiba-tiba saja, cintaku menjadi semurni saat aku jatuh cinta padanya pertama kali, satu setengah tahun yang silam. Demikian pula momen-momen yang kulalui bersamanya; semua terasa begitu menyegarkan, seolah aku baru saja mengalami semuanya untuk yang pertama kali.

Sesungguhnya kebahagiaan selalu hadir bersama sesuatu yang baru. Dan karena dunia senantiasa berubah, segala sesuatunya selalu menjadi baru, dan kebahagiaan pun tak pernah ke mana-mana. Ia selalu hadir dalam setiap detik yang aku lalui. Namun untuk meraihnya, aku harus membebaskan diriku dulu. Melepaskan semua ikatan, seindah apa pun itu. Hanya dengan meninggalkan sangkar emas aku dapat terbang bebas, merasakan kebahagiaan hidup bersama alam raya.

Aku tersenyum. Bahkan pengalaman beberapa hari belakangan ini pun telah berlalu. Ia menjadi kenangan yang hadir untuk dihargai keindahannya. Namun tak ada yang perlu diulangi. Karena dunia terus berubah, kami juga senantiasa berubah, dan masa-masa yang harus kami lalui bersama pun selamanya berubah. Tidak ada gunanya mengikatkan diri pada kenangan, atau pada harapan, atau pada status dan perjanjian apa pun... karena hanya dengan membebaskan dirinya manusia dapat merasakan kebahagiaan hidup, dan mensyukurinya.

Ditemani lagu Little Wonders dari Rob Thomas, aku berbaring di kasur. Memandangi langit-langit kamar yang remang-remang. Sudah kupegang salah satu kunci kebahagiaan hakiki. Semoga aku tak lupa lagi cara menggunakannya. Lepaskan segala keterikatan, bebaskan diri sendiri, dan aku akan menemukannya, menemukan kebahagiaan itu, dalam banyak hal yang aku alami. Aku tersenyum lebar.

Our lives are made
In these small hours
These little wonders
These twists and turns of fate
Time falls away
But these small hours
These small hours
Still remain

16 komentar:

Vuterlanik mengatakan...

"Sudah kupegang salah satu kunci kebahagiaan hakiki. Semoga aku tak lupa lagi cara menggunakannya. Lepaskan segala keterikatan, bebaskan diri sendiri, dan aku akan menemukannya, menemukan kebahagiaan itu, dalam banyak hal yang aku alami."

Ih, kaya yang di quantum ikhlas. Katanya kebahagiaan itu 'software bawaan' yang sudah terinstall di diri masing2 manusia. N u don't have to go anywhere to find it, just look into urself. Waah, ternyata dia begitu dekat! Asal tau aja cara mengaktifkannya, hmm.. mungkin salah satunya dengan membebaskan diri dari segala perasaan negatif yang timbul dari keterikatan ini ya

Rizal Affif mengatakan...

Quantum Ikhlas? Seseorang pernah merekomendasikannya, tapi aku ga baca, karena sudah muak dengan buku how-to. Sebenernya konsep ikhlas itu sederhana, tapi pelaksanaannya... sulit bukan main. Kayak belajar nyetir; practice is the key :D

Sebenernya bukan membebaskan diri dari perasaan negatif, tapi membebaskan diri dari keterikatan. Karena keterikatan menimbulkan kebergantungan pada kekuatan-kekuatan eksternal; saat kita tidak berdaya di hadapan kekuatan eksternal kita memiliki perasaan negatif. Melepaskan keterikatan membuat orang terfokus pada kekuatan internal, menjadikannya tuan atas dirinya sendiri, bukan budak atas kekuatan-kekuatan eksternal.

Yah, teorinya kira-kira begitu... kalo prakteknya... hehehehehe :D

Astrid mengatakan...

ketidakterikatan atau keterlepasan? sama g?
hiks...entah kenapa jadi sedih:(

-kenalin,temennya uti..heu-

Anonim mengatakan...

They say "to fly away is to give freedom"..

Rizal Affif mengatakan...

@ Acied: Hi, salam kenal juga :) ketidakterikatan atau keterlepasan, sama ato ga? Wah kayanya tergantung apa definisinya ni :p pokonya kalo saya pribadi si, lebih pilih kata aktif daripada kata pasif. Kata "keterlepasan" atau "ketidakterikatan" bersifat pasif, artinya kita menjadi korban, alias tidak berdaya atau terpaksa mengalami kondisi itu. Beda dengan kata "melepaskan" yang bersifat aktif, artinya kita jadi tuan atas pilihan dan tindakan kita sendiri, kita mengalami kondisi tersebut karena kita memilih demikian :)

@ Windrong :D : Halo, lama tak bersua! Punya blog juga rupanya :) "To fly away is to give freedom"... what a quote. I'll keep it. Thx :)

Astrid mengatakan...

baiklah..melepaskan,ato tidak mengikat sama ga? ini kata aktif kan?hehe..

aduh, maap lagi buru2..nanti klo ga jelas disambung lagi:D

Rizal Affif mengatakan...

Seem the same to me. Sama-sama membebaskan, kan?

Astrid mengatakan...

mm..ga tau ya..tapi menurut saya sih beda, pak..

kalo melepaskan itu..artinya membiarkan pergi,,pergi..berarti kita sendirian
klo tidak mengikat.. mungkin aja 'sesuatu' itu ada disekitar kita,,hanya saja kita tidak mengekangnya.
Jadi,,bedanya di ke'sendiri'annya:D *hehe..maksa*

ah, tapi..acit emg ga stuju klo kebahagiaan itu berarti melepaskan sesuatu yg berharga:(
sesuatu yang spontan itu -yg membawa kebahagiaan-..mungkin artinya adalah tulus..yang berarti juga menghilangkan 'ego kepemilikan'..tapi bukan berarti tidak usah memiliki harapan kn? harapan dan realita tentang dua orang manusia adalah sesuatu yang bisa dibicarakan.. klo ketika harapan ga bisa berjalan dan mengalami rasa sakit.. itu hanya mengajarkan kita tentang ego kita -terhadap harapan- yang mungkin harus diperbaiki,,

eu..gitu deh kurang lebih.. dpt dmngerti tak?xP
ini juga karna acit baca post anda yang isinya 'knp harus menikah' itu lho.. tp sulit y klo mo debat (ato diskusi) di comment..heuheu,,

Rizal Affif mengatakan...

Hehe, senangnya ada pendebat :D

Sebenarnya sama. Intinya, membebaskan. Membebaskan, artinya memberikan kebebasan bagi yang bersangkutan untuk pergi atau untuk tetap ada untuk kita. Bukankah itu yang indah... kalau ternyata, ia tetap ada untuk kita, bukan karena kita ikat, melainkan karena ia memilih demikian?

Mungkin perlu dibedakan antara harapan (hope) dan pengharapan (expectation). Hope memberikan manusia kekuatan untuk bertahan dalam segala kondisi kehidupan. Pengharapan, di sisi lain, membuat manusia tidak bisa menikmati atau mensyukuri kondisi nyata yang dimilikinya.

Beberapa literatur postmodern dalam sosiologi juga memandang pernikahan sebagai tools untuk melegalisasi kepemilikan. Saya sih ga peduli. Yang saya pentingin, kalau memang mau menikah, seseorang harus bisa melepaskan dulu. Saya tidak menentang pernikahan dan saya ingin menikah. Tapi pernikahan yang baik bukanlah pernikahan dua orang yang saling bergantung dan saling takut kehilangan, dan akhirnya saling mengikat dan menjajah; melainkan pernikahan dua orang yang saling berkelimpahan dan saling memberi. Dan untuk bisa saling memberi, mereka harus bisa saling melepaskan.

Karena mengikat dan memiliki adalah ciri orang yang kekurangan. Bagaimana orang bisa memberi (cinta dan kebahagiaan) kalau dirinya sendiri kekurangan? Orang yang berkecukupan, di sisi lain, tidak perlu mengikat apa-apa dan dengan sendirinya bisa melepaskan, bahkan memberi.

Astrid mengatakan...

huwahahaa..

sebenernya kemaren pas nulis comment, asa sedikit was-was juga, karna 'melawan' orang yg lebih jago berfilosofi..heu.
Ternyata bener aja..jawabannya mantap x)

nah..klo sekarang saya lebih mengerti pola pikir anda, pak.. daan stuju!!^^
yaitu poin:
seseorang ada bukan karena terikat tapi karena pilihan..
dan
menikah itu bukan karena butuh (saling terikat), tapi karena memang udah mencukupi dirinya namun berkenan untuk saling melimpahi..

heuheu..makasih:P

Rizal Affif mengatakan...

Berbeda itu wajar. Keberanian untuk mengutarakan pendapat itu harus dipertahankan. Bagus!

p.s. Jangan panggil Pak dong. Brasa tua banget :p

sama-sama, makasih sudah mampir n ngasi komen :D

Anonim mengatakan...

dalem ya klo filsuf bicaranya *hikhik*

sedang gw cuman mau nulis apa yg ada dipikiran gw aj, klo sedih pengen nonjok org rasanya

*kekekeke*

visit my blog to see 10-Ways to get rid him out of my mind :-)

Anonim mengatakan...

nice story, kinda happened to me now.. thanks for the light.

Anonim mengatakan...

menarik cara nulisinnya, tapi panjang banget dan kecil banget, hehe. Anyway anyhow...blog saya yang psikologi, juga berlatar hitam dengan tulisan kecil berwarna perak, hahahahah, kok iso yo sami...

Rizal Affif mengatakan...

@ Stylissim0: Welcome! Keinginan nonjok orang itu memang reaksi yang sangat jujur =p ya, saya lebih filosofis, ente lebih praktis... kita bisa saling mengisi kan =D

@ Frah: Welcome Kang! Itu memang pengalaman yang sangat awam. Semoga bisa cepat melampauinya ya. It took me one and half a year, hopefully u should not experience it as long as I had :)

@ Dian Ibung: Welcome :) minta alamat blognya juga dooonnnggg :)

Anonim mengatakan...

mas, blog aku di http://tulisandian.blogspot.com/
pilih aja yng psikologi.
or just klik my name above.....dian ibung